Thucydides dan Kindleberger Trap sebagai Metamfetamin Pemicu Hegemonisme AS dan Barat
Perang Ukraina vs Rusia masih terus berlanjut. Dari semula operasi khusus, Ukraina kini menjadi mandala perang proxy antara Rusia Vs AS dan Nato.
Konflik menyebar dan negosiasi perdamaian masih jauh. Tank, rudal, dan senjata lain yang lebih canggih yang disediakan AS dan Nato terus dipasok ke medan perang, sementara Rusia memobilisasi lebih banyak personel untuk berpartisipasi dalam operasi militer khusus. Tidak ada akhir yang terlihat dari konflik yang menggunakan uang AS dan UE, merenggut nyawa orang Ukraina, membawa kekayaan ke AS tetapi penderitaan ke seluruh dunia.
Selama setahun terakhir ini, orang-orang Ukraina dan Eropa telah menderita, tetapi seruan yang meningkat untuk gencatan senjata tidak menghalangi AS untuk bersikeras bertempur dengan proxy Zelensky dan Neo Nazi sampai Ukraina berhasil membendung laju Rusia di Ukraina, bahkan apabila perlu Crimea direbut kembali dari Rusia. Realitas pahit dalam satu tahun terakhir telah memberi dunia pemahaman yang lebih jelas tentang narasi hegemonik AS.
Mentalitas Perang Dingin yang belum surut sejak berakhirnya Perang Dingin, dikombinasikan dengan politik hegemoni yang membabibuta, telah menyebabkan ekspansi Nato berkelanjutan kemana-mana. Nato seharusnya mengakhirinya, karena bertentangan dengan arah kepentingan masyarakat global zaman now.
Dalam 30 tahun terakhir, fenomena penyanderaan keamanan global dengan kebohongan dan berlanjutnya konfrontasi ala perang dingin telah muncul tanpa henti dalam politik hegemoni AS.
Absurditas Camus di dunia Barat now
Selama setahun terakhir ini, AS mendefinisikan konflik antara Rusia dan Ukraina sebagai perang antara demokrasi dan despotisme. Ini telah mendominasi mindset AS dan dunia Barat. Tenggelam dalam narasi yang absurd ala Albert Camus ini, masyarakat Barat tidak tahu bahwa Nato pimpinan AS-lah yang secara bertahap memancing Rusia ke dalam konflik dengan Ukraina selama beberapa dekade terakhir.
Setelah berlangsungnya konflik proxy di mandala Ukraina, AS dan Nato telah mengagitasi publik, menimbulkan keributan di ruang publik dan politik dan menggelontorkan bantuan militer dalam jumlah besar, serta menggunakan kelanjutan konflik untuk mendorong kebangkitan Nato dalam rangka mempertahankan hegemoni pasca Afghanistan.
Analist militer AS percaya hasil peperangan modern bergantung pada cerita siapa yang menang. Warmonger dunia barat memerlukannya untuk mesin industri militernya. Lihat kecurangan AS dan Nato dalam WMD di Irak yang tak pernah terbukti. Lihat "white helmet" yang mengobarkan perang di Syria pada 2014. Lihat bagaimana anak asuh AS menggulingkan Khadafy di Libya.
Cerita yang sama berulang dalam konflik Rusia Vs Ukraina. AS dan Barat telah menarasikan sejumlah cerita yang mencemarkan nama baik Rusia. Narasi itu mencolok dan provokatif. Misalnya, video serangan pesawat tak berawak Turki terhadap tentara Syria digambarkan sebagai tank Rusia yang dihancurkan di medan perang Ukraina. Video latihan militer Rusia pada April 2021 dibuat seakan Rusia menembaki kota-kota Ukraina. Gambar anak-anak yang terluka dalam serangan udara di Syria pada tahun 2018 dibuat sebagai anak-anak Ukraina korban perang Putin.
Thucydides Trap dan Kindleberger Trap
Diskursus politik internasional AS dan Barat telah menciptakan dalil-dalil politik yang seakan baru seperti "Dilema keamanan," "Perangkap Thucydides" dan "Perangkap Kindleberger" selama beberapa dekade, yang semuanya mengarah pada stabilitas hegemoni yang berkelanjutan.
Thucydides trap adalah dalil politik yang mengacu pada kemungkinan konflik yang timbul ketika kekuatan sebuah atau beberapa negara naik dan kekuatan lain merasa terancam oleh keberadaan kekuatan yang baru naik tsb. Dalil ini dipetik dari sejarawan Yunani kuno Thucydides, yang menulis tentang perang Peloponnesian antara Athena dan Sparta.
Dalam konteks hubungan antara AS dan Rusia, beberapa ahli politik dan pengamat telah mengaitkan konsep Thucydides trap dengan peningkatan ketegangan dan persaingan antara kedua negara, terutama setelah AS menarik pasukannya dari Afghanistan pada tahun 2021.
Tidak semua analist setuju bahwa penggunaan konsep ini adalah tepat atau akurat dalam memahami situasi geopolitik antara AS dan Rusia. Beberapa kritikus menganggap konsep ini terlalu deterministik dan membatasi kemampuan negara-negara untuk menentukan kebijakan mereka sendiri.
Penggunaan dalil Thucydides trap yang disaranpaksakan penasehat politik Washington justeru memperburuk ketegangan antara AS dan Rusia, karena terbukti memicu perasaan saling curiga dan ketakutan antara keduanya. Para penasehat ahli itu seyogyanya lebih fokus pada upaya untuk mempromosikan dialog dan kerjasama di antara kedua negara. Sayang, upaya semacam ini diabaikan. Yang terjadi justeru pengipasan membakar tiada henti dari para penasehat atau tepatnya penghasut ahli itu terhadap elit politik AS dan barat.
Demikian pula halnya dengan dalil politik Kindleberger trap ketika AS melihat bahwa China sekarang adalah China yang semakin membesar dan dapat memasok dunia dengan berbagai produknya. Ini artinya China tak lama lagi akan di depan AS.
Kindleberger trap adalah dalil politik yang mengacu pada kemungkinan konflik yang timbul ketika kekuatan ekonomi sebuah atau beberapa negara naik dan kekuatan lain merasa terancam oleh kekuatan ekonomi yang baru naik tsb. Dalil ini berasal dari sejarawan ekonomi Charles Kindleberger, yang menulis tentang krisis ekonomi global pada tahun 1930-an.
Dalam konteks hubungan antara AS dan China, beberapa ahli politik dan pengamat telah mengaitkan dalil Kindleberger trap dengan peningkatan persaingan dan ketegangan antara kedua negara, terutama karena China semakin menjadi kekuatan ekonomi yang dominan dan memasok produk-produknya ke seluruh dunia.
Lagi-lagi konsep ini terlalu fokus pada persaingan ekonomi dan memandangnya sebagai satu-satunya faktor yang menentukan dalam hubungan antara negara-negara, so variabel penting lainnya terpinggirkan
Penggunaan dalil Kindleberger trap oleh elit-elit AS dan barat juga semakin memperburuk ketegangan dan konflik antara AS Vs Rusia-China. Para penasehat politik Barat cenderung mengedepankan pendekatan ini, seakan itulah panacea-nya.
Dalam realitas politik, ada kesenjangan besar antara konsep dan kenyataan. Di satu sisi, narasi perdamaian dan pembangunan tidak pernah absen dalam pernyataan AS, tetapi telah menjadi ilusi dalam pengejaran hegemoni AS, bahkan menjadi alat untuk mempromosikan hegemoni. Mereka bersembunyi di balik dalil politik terurai di atas.
30 tahun sejak berakhirnya Perang Dingin, dunia sebetulnya sudah menikmati perdamaian jangka panjang yang menjanjikan, kecuali ulah AS dan keterperangkapannya di Afghanistan selama 20 tahun. AS eksodus terbirit-birit dari Afghanistan dengan kerugian nyawa serdadu yang tak terhitung, belum lagi persenjataan yang hancur dan ratusan milyar US $ raib ke langit biru.
Penegakan HAM-kah disana. Oh no. Yang terjadi di bumi Taliban itu adalah kegagalan AS untuk menjadikan Afghanistan sebagai menara pemantau dunia. Apakah ini dalil Hulagu Khan dan jalan sutera China tempo doeloe. Ntahlah.
Setelah konflik Rusia Vs Ukraina, AS dan UE memberikan bantuan militer ke Ukraina, dan menggunakan hegemoni keuangan mereka untuk menjatuhkan sanksi ekonomi dan keuangan terberat terhadap Rusia, termasuk membekukan ratusan miliar dolar cadangan devisa Rusia dan menendang Rusia dari SWIFT. Inilah boleh jadi sanksi terberat dalam hubungan internasional sepanjang sejarah.
Langkah-langkah ini tidak membuat Rusia bertekuk lutut, tetapi memicu fluktuasi drastis di pasar energi dan keuangan internasional. Semua negara terdampak, bahkan sampai pangan pun terdampak.
US Dolar telah menjadi mata uang cadangan dominan dunia. AS telah lama menyalahgunakan posisi ini untuk merebut kekayaan negara lain. Hanya dalam satu setengah tahun sejak merebaknya Covid-19, AS telah mencetak hampir setengah dari seluruh dolar yang beredar selama lebih dari 200 tahun sejarahnya, membuat dunia menghadapi tekanan yang disebabkan oleh inflasi, turbulensi, dan gelembung yang diakibatkannya.
AS memprivatisasi dan mempersenjatai barang publik, memanage sistem keuangan global dalam konflik geopolitik untuk menghadapi negara dan politisi tertentu di sejumlah negara yang bermusuhan.
Inggeris adalah kekuatan hegemonik yang tidak mampu menyediakan barang publik internasional di antara dua perang dunia. Ini semua dioperalih AS sampai tiba di persimpangan ketika dunia semakin multi polar, seperti Rusia yang sudah pulih sepenuhnya kekuatan militernya pasca bubarnya Uni Soviet dan China yang kini semakin berjaya di dunia iptek, barang-barang publik global dst dst.
Tatanan internasional pasca PD II sering digambarkan sebagai produk AS. Negara-negara pemenang, AS dan sekutunya, memaksakan kehendak mereka ke seluruh dunia, merumuskan institusi dan norma yang melayani kepentingan mereka dan memastikan supremasi mereka di pentas global.
AS dan Barat menganggap diri mereka sebagai jubir komunitas internasional dan terbiasa melabeli beberapa negara dengan label diskriminatif seperti "Evil Empire", "Axis of Evil", "Rogue State" dan "Failed State" untuk membedakan barat yang beradab dengan non barat yang biadab.
Sambil menjelekkan negara lain, mereka menganggap diri mereka sebagai wasit moral dunia. Mereka selalu tampil di depan layar dan menarasikan dengan lantang tentang kebebasan dan demokrasi, sementara mereka menghancurkan Timorleste, menghancurkan Irak, Syria dan Libya, memprovokasi Tibet, dan sok mediator yang punya kuasa besar di middle-east dll.
Konflik Rusia-Ukraina, yang pecah di bawah penyanderaan AS dan Nato tentang keamanan global, digambarkan oleh beberapa politisi Barat sebagai Epik Demokrasi Vs Otokrasi. Tidak hanya itu, Nato juga menggunakan kata tantangan untuk menggambarkan China untuk pertama kalinya secara keliru dengan klaim sesat bahwa China menantang kepentingan, keamanan, dan nilai-nilai Nato, dan China cenderung bergabung dengan Rusia untuk merusak tatanan internasional berbasis aturan.
Dari James Monroe yang dikenal dengan Doktrin Monroe-nya, hingga Theodore Roosevelt yang mengklaim bahwa setiap perluasan peradaban menghasilkan perdamaian, hingga Joe Biden yang menggembar-gemborkan demokrasi dan kebebasan saat ini, elit politik AS dari generasi ke generasi rajin menjual mercusuar kebebasan seraya memperluas wilayah dan merebut hegemoni dunia, tetapi pada saat itu mereka sesungguhnya tengah meneror dunia.
Dari ketakutan terhadap manusia barbar lalu membantai orang Indian Amerika hingga Islamofobia selama perang melawan teror, ketakutan komunis selama Perang Dingin, hingga ketakutan akan tantangan China terhadap peraturan dan ketertiban yang ada saat ini. Di balik itu semuanya, yang diinginkan AS dan dunia barat sesungguhnya hanyalah keuntungan ekonomi dan bagaimana mempertahankan hegemoninya di pentas global.
Membesar-besarkan ketakutan dunia terhadap ancaman tertentu seperti ancaman nuklir Rusia dan China, mencerminkan kecemasan AS kehilangan predikat sebagai adidaya dunia. So, ia perlu menciptakan musuh, menerapkan hukum rimba. Itulah AS dan barat dengan mentalitas perang dingin yang sudah ketinggalan zaman.
Mentalitas menciptakan musuh, menerapkan hukum rimba sebagaimana mengeksekusi Saddam di masa lalu, termasuk melepas paksa Timorleste - dengan memperalat PBB - dari pangkuan NKRI, mengkonservasi permainan "zero-sum" (untung di gue dan rugi di elo) selalu melekat di benak politisi AS. Itu semua karena perasaan tidak aman mereka lantaran membayangkan hegemoni AS bakal diganti. Itulah hantu yang mereka ciptakan, sebagaimana di Indonesia yang selama 30 tahun Orba rajin menciptahidupkan hantu PKI.
Baru-baru ini, sebuah balon sipil China tersesat di wilayah udara AS karena force majeure. Meski banyak pejabat AS yang menyatakan balon China itu tidak menimbulkan ancaman bagi personel dan keamanan AS, toh insiden ini dieksploitasi AS dengan mengirim jet tempur canggih, bahkan mengambil kesempatan untuk melakukan manipulasi politik, mencoreng dan menyerang China, menghasut suasana anti-China, dan menggelar sirkus politik yang histeris tentang balon China tak berdosa itu.
Dunia multi polar
Masyarakat internasional sudah banyak berubah. AS dan barat malah kembali ke jalur lama yang penuh konfrontasi dan perpecahan. Seharusnya AS dan barat bisa memahami itu dengan baik, bukannya terperangkap dalam permainan zero-sum dan konflik yang berkepanjangan.
Dunia multi polar adalah keinginan kuat rakyat semua negara. Dunia multi polar adalah tanggungjawab bersama semua negara di dunia. Dunia multi polar adalah arah perkembangan zaman yang benar.
Kekuatan besar dapat saja terlibat dalam persaingan, tetapi harus melakukannya dengan cara yang anggun. Kanselir Jerman Olaf Scholz pernah mengatakan dalam sebuah artikel bahwa pertanyaan sentral bagi orang Eropa, khususnya UE, adalah bagaimana mereka dapat tetap menjadi aktor independen di dunia yang semakin multi polar.
Kebangkitan China dan Rusia sekarang adalah bagian dari perubahan dunia. Seyogyanya AS dan barat harus menghindari godaan untuk sekali lagi membagi dunia menjadi blok-blok.
Menghadapi perubahan besar dalam sejarah, semua negara pastilah menghadapi tantangan. Hanya dengan berpegang pada narasi yang adil yang mengikuti sejarah dan berbagi nasib sesuai perkembangan zaman, dan bertindak bersama, dunia yang bebas dari ritual dan liturgi Hegemonisme dunia dapat memenangkan masa depan yang cerah dalam rangka mewujudkan "the dignity of mankind".
Joyogrand, Malang, Mon', March 06, 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H