Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Kemiskinan Eksistensial dalam Ritual dan Liturgi Kapitalisme Global

4 Maret 2023   15:28 Diperbarui: 4 Maret 2023   15:32 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Manusia kelelahan yang menjadi histeris. Foto: Morgan Basham, namibiansun.com

Kemiskinan Eksistensial Dalam Ritual dan Liturgi Kapitalisme Global

Baru saja kita mendengar kabar buruk bahwa seorang anak pejabat pajak terlibat kekerasan, dan ini kemudian menjadi viral setelah diketahui bahwa ortu anak itu ternyata milyarder atau Mr puluhan milyar di Depkeu, sementara ybs adalah PNS berjabatan rendah. Koq bisa. Itu bukan persoalan. Lihat oknum serupa, yi Gayus Tambunan tempo doeloe.

Tak kalah viral, yi Bunda Corla yang kata Nikita Mirzani adalah LGBT. Keduanya sebagaimana diketahui adalah makhluk hedon yang gemar olahraga panjat sosial. Masih banyak lagi viral-viril yang tak terkatakan disini, termasuk Anies berhutang puluhan milyar kepada Bohir (dari kata Belanda bouwheer yang artinya kontraktor atau bandar) atas nama Sandi. Koq bisa. Lagi-lagi, jangan dipersoalkan. Bandar dalam perpolitikan kita lagi ngetrend sekarang ini.

Dalam bahasa filosofi, itulah kemiskinan eksistensial sejati manusia Indonesia zaman now. Keriuhan seperti dicontohkan di atas sangat banyak. Implikasinya, kita kini kehilangan kekuatan untuk merayakan sesuatu (sesuai keyakinan) dalam kemeriahan dan kegembiraan tiada tara berjumpa langsung dengan Ymk yang kita yakini dalam liturgi kita masing-masing. Apa yang kita lihat, kita jalankan seakan kesukariaan, hanyalah pseudo-liturgi semata.

Dalam sistem kapitalisme yang mendominasi kehidupan kita sekarang, meski telah dilengkapi berbagai instrumen penjinak, kapitalisme bukannya semakin jinak. Ia telah menjadi agama yang dihasilkan oleh serangkaian hal tak biasa. Lihatlah dalam liturgi umum atau negara maupun liturgi khusus menurut keyakinan kita masing-masing.

Kita tidak hanya tak tahu apa itu perayaan dalam keyakinan kita, tetapi liturgi yang kita bangun dalam keyakinan khusus (agama) dan umum (negara) sesungguhnya adalah festival semu yang murah, "ritual palsu" yang terkontaminasi oleh komersialisme atau diinformasikan oleh orang-orang yang terkubur oleh keinginan untuk melakukan kekerasan atau untuk pasifikasi hedonik. Ritual komunal semacam ini, tanpa obyek pemujaan otentik, mewajibkan ketimbang membebaskan jiwa dan imajinasi kita dari terjangan sang Dionysus yang super serakah.

Liburan buatan diciptakan oleh penjual budaya dan diumpankan ke publik melalui simbol-simbol yang tidak lagi membawa muatan simbolis yang berarti. Dengan tergesa-gesa dengan kejenuhan layar kaca dan keintiman dunia maya, kita telah sampai pada realisme kapitalis dimana keyakinan telah runtuh pada tingkat elaborasi ritual atau simbolis, dan yang tersisa hanyalah penonton-konsumen berjalan dengan susah-payah, melalui reruntuhan dan relik atau benda-benda penting keyakinan kita di masa lalu.

Kapitalisme masa kini telah menjadi agama yang dihasilkan oleh serangkaian hal tak biasa dan mencakup semua liturgi umum atau apa yang kita lakukan bagi publik dan apa yang telah tergeneralisasi dalam publik.

Semuanya itu kini dienkapsulasi atau dirangkum dengan satu istilah yi "neoliberalisme", liturgi kapitalisme modern yang adalah tampilan baru dari devosi (semangat keagamaan atau kesalehan lama). Kesetiaan direkapitulasi untuk mammon (dunia materi) dan kita seakan nyaman, tapi letih-lesu, karena makan lotus atau penganan hedonik yang sesungguhnya tak bergizi.

Kisah Anies berhutang puluhan milyar demi dan atas nama politik, David anak petinggi terbawah pajak di Depkeu yang gemar pamer otot dan kekayaan hedon, Mirzani dan Corla yang tengah berpacu sengit memanjat tebing sosial. Itu semua adalah "tragikomik" (memanifestasikan aspek tragis dan komikal).

Tak pandang bulu, dunia pada umumnya telah cukup lama terkontaminasi sistem kapitalis, tak terkecuali China dan Rusia, meski tak sedahsyat negara-negara yang terintegrasi dalam sistem kapitalisme global. Begitulah dengan budaya politik kita yang kini sudah terbakar habis. Yang tersisa sekarang adalah permainan Bohir dan permainan keyakinan yang diinstrumenkan dalam tatanan politik kita.

Tuntutan yang rakus dan tak terpuaskan dari sistem ekonomi global sangat melelahkan orang-orang yang seharusnya dilayani oleh sistem tsb. Agama dan spritualitas yang menyinari mereka selama ini telah dievaluasi oleh kelompok sosial yang aneh dan membiarkan mereka begitu saja menjadi komunitas yang terpecah-belah, kekanak-kanakan dan impoten, orang-orang sinis yang kelelahan dan rapuh.

Inilah melting pot atau kuali adukan kita sekarang. Yang telah keluar dari adonan ini hanya pandemi global Covid-19. Tapi itupun masih disoal kalau kita berada di setasiun KA atau bandara. Imam besar kapitalis tak sudi pandemi berlalu begitu saja. Ada bohir obat-obatan disitu.

Filsuf Jerman asal Korea Byung-Chul Han dalam "The Burnout Society" (Masyarakat Kelelahan) menuding kerugian yang ditimbulkan oleh budaya prestasi dan pencapaian. Itu sangat kompetitif pada kita semua. Kita berutang terhadap prestasi budaya dalam masalah kemanusiaan. Tapi utang itu sulit dibayar, karena kita kelelahan tak punya waktu. Kalaupun ada yang seakan punya waktu. Itu semu. Mereka bukan penyintas, tapi mengambil jalan pintas, lalu muncul heboh dilayar kaca yang juga sibuk beriklan dipacu cost tetap dan variabel. So, bagaimana kita berpikir filosofis untuk kontemplasi yang mendalam disini.

Berkontemplasi dalam filosofi ritual, perayaan, dan budaya apapun. Itu sangatlah perlu agar kita tidak didaulat habis oleh pencapaian kita  Perayaan apapun dalam tradisi kita tidak dapat dibayangkan tanpa elemen kontemplasi. Kontemplasi dalam  liturgi umum dan khusus yang disengaja, akan keluar spontan sebagai tanda pengakuan, hubungan yang benar dan pujian.

Boleh jadi liturgi kapitalisme termodern kini dan neoleberalisme membuat sebagian kecil kita menjadi kaya dan mahir secara teknologi, dan ini adalah dunia yang tampaknya disukai banyak orang, tetapi ini semua menutupi rasa disorientasi secara umum dan harus dibayar mahal.

Kini segala sesuatunya berada di bawah hukum kompetisi dan "survival of the fittest" (yang terbaik/terkuat, itulah yang bertahan), dimana yang terkuat memberi makan yang tak berdaya. Dan banyak orang diperlakukan sebagai barang konsumsi sekali pakai dan kemudian dibuang.

Skenario ini tampaknya dapat diterima umum, sampai kesadaran datang bahwa dia terperangkap dalam matriks yang menyedihkan dan menjadi korban dengan cara yang halus dan seringkali tidak dapat dipahami.

Kerugian yang ditimbulkan oleh budaya pencapaian kompetitif pada kita, misalnya dalam "multi-tasking" (ketrampilan dalam mengerjakan beberapa aktivitas atau pekerjaan sekaligus dalam waktu yang bersamaan atau disingkat sebagai tugas ganda), budaya teknologi seperti yang kita miliki sekarang, tujuan kenyamanan dan kebebasan dengan cepat tergelincir oleh alat yang kita ciptakan untuk mencapainya. Bukan hanya multi-tasking, tetapi aktivitas seperti video game menghasilkan perhatian yang luas, tetapi dengan "mode" layar, mirip kewaspadaan terhadap binatang liar.

Salah satu produk sampingan dari hidup dalam budaya pencapaian berteknologi tinggi adalah jenis pemisahan yang hampir ironis dari komunitas dan solidaritas. Masyarakat kelelahan terjadi ketika ego terlalu panas, yang mengikuti terlalu banyak hal yang sama. Itu tak ubahnya membunuh jiwa di zona "underbelly" (daerah yang rentan atau bagian yang rusak atau kotor). Manusia diusir dari rumahnya sendiri kedalam hiruk-pikuk pekerjaan dan tak ada yang lainnya, kedalam thread yang melelahkan dengan merangkai frase yang canggih menjadi hiburan yang tak henti-hentinya oleh stimulan kosong tak bermakna.

Kita terlempar ke tanah kosong tak berpenghuni yang mungkin saja berperlengkapan cukup nyaman, tetapi tidak memiliki tempat untuk ketenangan beraktivitas yang bermakna secara intrinsik, untuk berkontemplasi dan tentu saja berpesta otentik sesuai keyakinan kita masing-masing.

Sadarlah untuk segera menghentakkan diri dari pseudo-kehidupan seperti ini. Kembalilah ke dunia otentik kita di kefanaan. Dengarlah cericit burung di pagi hari, nikmati breakfastmu, nikmati kebersamaanmu kemarin dengan doi dan anak-anak, nikmati keindahan hidup dalam ulah, keceriaan alami dan desah nafasnya. Tak perlu heboh ketika pemanjat sosial dan selebriti politik dan selebriti agama bikin heboh seakan berpesta alami. Sadarlah, mereka sedang berkompetisi sengit dengan iringan neoliberalisme yang tak perlu lagi kita amini.

Joyogrand, Malang, Sat', March 04, 2023

Cover buku laris The Burnout Society, karya Byung-Chul Han. Foto: sup.org
Cover buku laris The Burnout Society, karya Byung-Chul Han. Foto: sup.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun