Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jelajah Alam Bromo Tengger Bersama Sobat Jadul di Penghujung Februari 2023

2 Maret 2023   17:23 Diperbarui: 2 Maret 2023   19:21 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cafe sederhana di ujung jalan akses Gubug Klakah setelah Kantor Desa Ngadas. Foto : Parlin Pakpahan.

Juga terlihat kearifan lokal, dimana tak ada drainase seperti di kota. Warga membenamkan limbah rumahtangga mereka, termasuk limbah buang hajat, langsung ke tanah dengan kedalaman khusus tertentu. Kalau di Kendal, Jateng, dulu ketika KKN, disebut drainase "plung lap", yi limbah nyemplung ke tanah dan langsung ngelelep jadi tanah beberapa waktu kemudian.

Komoditas lama yang juga sedang dikembangkan disini adalah "Terong Belanda", yi sejenis Markisa yang bibitnya dulu dibawa Belanda, termasuk Apel Malang yang banyak ditanam di Batu. Yang terbaru dari pengamatan jelajah alam ini masyarakat Tengger juga sudah mulai menanam kopi. Mereka menanamnya di bawah naungan pinus Bromo, persis seperti di Ermera dan Liquica Timor timur, dimana orang Portugis mengajarkan cara menanam kopi di bawah naungan Eucalyptus Alba. Hasilnya pasti maksimal dalam arti mutu.

2,4 Km setelah Ngadas Centre kami pun sampai di Pos Jemplang. Eco sistemnya langsung berubah total. Yang terlihat disini adalah padang savana baik yang datar maupun yang undak-undak-an. Sejauh mata memandang, yang terlihat adalah padang rumput yang megah kehijauan. Musim hujan sekarang warna hijau rerumputan sangat dominan. Sebaliknya di musim kemarau nanti, pastilah  semua rerumputan itu meranggas kecoklatan. Turis nusantara menamainya Padang Teletubbies. Aku sih nggak mau ikutan. Enakan Padang Savana Bromo Tengger. Eco sistem vulkanik seperti ini dapat dilihat di keempat sisi, yi sisi Malang, sisi Pasuruan, sisi Probolinggo dan sisi Lumajang. Jelajah alam Bromo yang kami lalui adalah sisi Malang hingga ke Watu Gede, Lembah Bantengan.

Padang savana nan hijau di perbukitan Bromo. Foto : befreetour.com 
Padang savana nan hijau di perbukitan Bromo. Foto : befreetour.com 

Kami berhenti di Watu Gede. Abah, Umi, Anwar dan Adhi bergegas turun seakan takut kehilangan cahaya untuk spot foto di sekitar padang savana itu. Nah,lo mereka sudah jeprat-jepret. Abah sudah bersiap dengan tentengan kamera Sony-nya. Aku yang praktis aja, cukup kamera smartphone dengan settingan pro. Berkabut seperti ini ya disetting dengan iso tinggi dan exposure digedein, sambil intip-intip di view kamera, settingan seperti apa yang match dengan suasana berkabut di padang savana Bromo pada Pk 17.15 ketika itu.

Kami ketawa-ketiwi enjoy dengan perjalanan di tengah kabut tebal Bromo. Syukurlah Abah dan Umi ternyata menikmati perjalanan itu meski berkabut. Kl Pk 17.40, belum maksimal sesi jeprat-jepret di spot padang savana itu, hujan mulai turun. Tak deras sih, dan Adhi mengarahkan kendaraan jelajah ke jalanan berumput yang tak dikasi barrier atau rintangan oleh pihak Taman Nasional, kami akan menuju lautan pasir yang berjarak kl 15 menit perjalanan lagi atau kl 8,6 Km.

Jeep Bromo dilautan pasir Bromo. Foto : befreetour.com
Jeep Bromo dilautan pasir Bromo. Foto : befreetour.com

Mengapa selambat itu? Medan latihan kenderaan off-road banyak yang sudah ditutup pihak Taman Nasional. Adhi tentu harus memilih jalan alternatif tak ber-barrier. Pendeknya Watu Gede ke lautan pasir Bromo jangan sampai menerobos barrier. Kami harus melalui jalan alternatif dari naluri dan pengalaman jelajah Bromo seorang Adhi.

Ketika Adhi memajumundurkan kenderaan untuk go ke lautan pasir Bromo, persis dari titik pos Watu Gede, sobatku Abah menyetopnya. "Ayo kita balik saja. Sudah maksimal. Lihat, di samping gerimis, kabut pun semakin menebal. Sebentar lagi gelap. Sebaiknya kita istirahat dan ngopi di Bromo Hillside ujung Jalan akses Gubug Klakah setelah kantor desa Ngadas sebelumnya. Saya lihat, disitu banyak cafe. Kita stop istirahat disitu," demikian Abah.

"Lho mengapa bro, kan tinggal 8 Km-an lagi. Kata Adhi dari titik Watu Gede ini kl 15 menit perjalanan lagi ke lautan pasir Bromo. Adhi akan menjalankan Jeep macho-nya dengan mengikuti pengalaman dan naluri jelajah Bromo-nya," kataku mempersoalkan. "Ini sudah maksimal bro. Lihat kabut semakin menebal, dan jalanan ke sana belum tentu semulus yang kita harapkan. Tuh lihat jejak kenderaan off-road yang morat-marit dan sudah dibarrier taman nasional, ok," demikian tegasnya.

"Kalau sudah optimal menurutmu, aku sih oke-oke saja," sahutku singkat seraya menoleh Umi yang menganggukkan kepalanya pertanda oke juga. Adhi pun membalikkan kenderaan menuju Bromo Hillside, kl 2,3 Km (kl 10 menit perjalanan)  dari Watu Gede. Ternyata cafe yang lumayan keren itu tutup. Kami kemudian beralih ke cafe lain yang cukup banyak disitu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun