Masalah penting lainnya adalah cara berpikir mitis. Cara berpikir seperti ini tidak dominan memang, tapi masih kuat pengaruhnya terhadap masyarakat. Saya pikir cara berpikir mitis ini sudah saatnya dieliminir secara perlahan tapi pasti. Misalnya kepercayaan hembusan angin yang cukup kencang kemarin dalam balapan disebut sebagian warga sebagai hembusan "Angin Lubis" yang berpenunggu.Â
Kaum mitis ini beranggapan karena ritual adat belum dijalankan untuk meminta izin penunggu Danau Toba, maka terjadilah angin kencang itu kemarin. Padahal jauh sebelumnya sudah diadakan doa lintas agama untuk kesuksesan penyelenggaraan F1H20. Cara berpikir mitis seperti ini sudah tak relevan lagi dengan cara berpikir untuk mengembangkan kepariwisataan Danau Toba dengan magnitudo khusus seperti event F1H20 dan sebangsanya.
Semuanya itu adalah PR bersama warga Toba dan Pemerintah. Cobalah teknik berkomunikasi yang paling sederhana seperti batu adalah batu, atau merah adalah merah.Â
Komunikasi sederhana tak bertakik-takik seperti itu untuk warga yang juga sederhana, haqul yaqien akan dapat mengubah semua mindset tak perlu itu demi dan untuk pengembangan kepariwisataaan Toba, termasuk juga mengubah mindset para pelaku UMKM yang gampang putus asa, seperti memvonis habis pasca F1H20 dipastikan Tao Toba akan sepi lagi. Bukan begitu atau bukan seperti meniup lampu Aladin, puah langsung ada makanan enak, ada mobil mewah, ada pizza hut yang nyus dst. At now, ajaklah mereka untuk terus kompak dengan siapapun di sekitarnya untuk terus bekerja dan bekerja hingga gempor dan berhasil.
Talcot Parsons mengatakan bangkitkan etos kerja masyarakat dengan pijakan moral yang ada dalam keyakinan mereka. Apa itu? Bukankah bekerja keras itu mulia sebagaimana tersurat dan tersirat dalam kitab suci mereka. Sedangkan "mangorong-orong" atau berkeluh-kesah adalah implikasi dari keyakinan Sipelebegu mereka yang seharusnya sudah kedaluwarsa sejak lama.
Akhirnya yang terpenting bagi kita sekarang adalah merawat apa yang sudah ada dan mengembangkannya sesuai prediksi ke depan. Ajang F1H20 kemarin tak boleh teronggok tolol, tapi harus segera dimanfaatkan untuk racing lokal maupun nasional sepanjang 2023 ini.
Pada tahun 2025 yad siapa tahu Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah lagi. Demikian pula halnya dengan sirkit Mandalika di Lombok dan sirkit Ancol di Jakarta. Sami mawon. Semuanya harus dikembangkan sesuai harapan kita bersama yi Indonesia yang mendunia kepariwisataannya dan Indonesia yang ramah dan dinamis perekonomiannya.