Tak lama kemudian mesin boat berkekuatan 10.000 tenaga kuda yang disetel khusus menyalak kuat membuat air menyembur ketika memasuki tikungan pertama dengan jejak semburan putih yang megah di belakangnya.
Pastinya F1H20 race sangat menarik apalagi balapan yang semula di laut ini sudah berkembang hingga ke sungai dan yang terkini adalah di danau vulkanik Toba di ketinggian hampir 1000 mdpl. Indonesia adalah negara pertama yang melaksanakan powerboat di ketinggian itu. Ini tentu masukan terbaru bagi teknisi dan para pembalap.
Soal respon masyarakat. Harus diakui di internal Toba masih ada sedikit friksi seperti YPDT (Yayasan Pencinta Danau Toba) misalnya yang mengritik bahwa balapan seperti itu belum perlu, karena yang perlu bagi Toba dalam pengembangan pariwisatanya adalah kearifan lokal, seperti lomba solu bolon atau perahu besar yang dikayuh belasan orang per solu.Â
Kapal motor yang diperlombakan sekarang dikhawatirkan akan mencemari Danau Toba, demikian YPDT. Tak lupa kritik warga pada umumnya selalu mengatakan agar event semacam ini berlanjut, bukan hanya sesaat lalu ekonominya dingin lagi. Pendeknya kritik-kritik minor masih saja ada. Itulah penyakit di internal Toba yang harus segera diobati. Mengapa? Di balik kritik itu pasti ada masalah.
Mengkhusus pada tanah adat dan kepercayaan mitis seputar Toba. Saya pikir sudah saatnya bagi Pemda setempat dengan bantuan pusat untuk mengorganisir bagaimana cara termudah tapi tak asal-asalan untuk mengubah mindset masyarakat, termasuk mengeliminir secara perlahan cara berpikir mitis yang di era sekarang sudah tidak lagi pada tempatnya.
Kita ambil contoh kota Tarutung. Mengapa kota ini sulit sekali berkembang, sampai sekolah tinggi Kristen pun harus didirikan di pelosok Sipoholon sana dan bukannya di downtown Tarutung.Â
Sampai sekarang kota Tarutung belum punya gedung seni dan budaya yang representatif, semuanya dipusatkan di sopo partukkoan. Betapa sulitnya membebaskan tanah di kota Tarutung, dan celakanya sejauh ini belum ada solusinya.
Contoh konkret di atas adalah masalah pelepasan tanah legacy atau tanah adat. Tak heran, sampai sekarang masih saja terjadi tabrakan antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi, karena masih sulit bagi pewaris - ntah itu rumah, atau tanah adat - untuk melepasnya.Â
Masalah serupa muncul di Balige saat warga asli Muliaraja Napitupulu terpaksa direlokasi dari kawasan pelabuhan tradisional  Muliaraja Napitupulu ke pasar Inpres, karena kepentingan umum yi pembuatan venue F1H20 dan sarana pendukung di sekitarnya. Itu pun masih menggantung, karena warga dmaksud masih bersungut-sungut pertanda ketidakpastian masa depan mereka.