Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekuatan Mimetik dalam Everyday Life

4 Februari 2023   16:15 Diperbarui: 4 Februari 2023   16:16 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mediator keinginan kita dalam sketsa. Foto : psyche.co

Kekuatan Mimetik Dalam Everyday Life

"Envy" atau rasa tidak puas atau rasa ingin memiliki atau cemburu atas keberuntungan orang lain adalah kesalahan yang paling sedikit diakui, namun itulah item terburuk yang ada dalam diri kita. Ini sangat penting artinya dalam kondisi manusia dimana "covetousness" atau keinginan yang berlebihan, terutama untuk kekayaan dan harta benda. Itu semua mendorong kita menjadi tamak.

Tetangga dan sesama dalam komunitas di sekitar kita. Itu penting. Kita mungkin akan lebih memperhatikan kehidupan dan kekayaan tetangga terdekat kita. Disitulah letak bahayanya.

Siapa yang akan dicemburui? Erick Thohir-kah, Hotman Paris-kah atau pesohor seperti Nikita Mirzani yang hanya modal sekadar talking tapi koq bisa kaya begitu. Atau orang yang bekerja di bidang pekerjaan yang sama dengan kita, atau berlatar belakang yang sama dengan kita, tapi wow tambahan pendapatannya sekitar 100 jutaan sebulannya, karena tampaknya selalu menikmati liburan yang lebih baik.

Kita belum memahami sepenuhnya implikasi medsos atau media sosial sebagai mesin keinginan -- terutama kecemburuan -- dengan cara seperti ini. Medsos kini telah menempatkan kita semua dalam posisi tidak biasa yang tiba-tiba menjadi tetangga bagi hampir semua orang di dunia.

Kekuatan medsos sangatlah menggoda. Ia mendapatkan "dopamine" dari notifikasi medsos itu sendiri. Dopamine adalah salah satu  "neurotransmitter". Tubuh yang membuatnya, dan sistem syaraf kita menggunakannya untuk mengirim pesan di antara sel-sel syaraf. Sering disebut sebagai pesan kimia. Dopamine berperan mengaduk-aduk bagaimana kita merasakan kesenangan.

Keinginan mimetik ini kuat karena dipengaruhi rasa iri, penuh nafsu. Begitu di luar rumah, tak ada orang yang tak terpengaruh olehnya.

Masalah Mimetik

Mimesis adalah imitasi, ilusi. Kata asal Yunani ini berarti imitasi atau menyalin atau meng-copy. Plato dan Aristoteles menggunakan istilah mimesis sebagai representasi ulang alam.

Penemu mimesis dalam kehidupan masa kini adalah Rene Girard, seorang filsuf asal Perancis sekaligus Antropolog (yang banyak menyoroti Polymath), pakar Renesans, Historian dll. Keinginan mimesis, menurut Girard, adalah sebuah gagasan bahwa manusia adalah makhluk paling sosial dan dengan demikian adalah makhluk imitatif yang menyalin atau mengikuti model atau contoh yang sudah ada sebelumnya di dunia. Manusia tidak menginginkan sesuatu secara mandiri, tetapi cenderung meniru keinginan orang lain. Seseorang meniru orang lain, nyata ataupun fiksi, yang bertindak sebagai (biasanya di bawah sadar) model keinginan.

Kita semua berpikir keinginan kita adalah produk dari "kekaisaran kita", yi "autonomous selves" atau otonomi individual  Otonomi individu adalah suatu gagasan yang secara umum dipahami sebagai kemampuan untuk menjadi diri sendiri, untuk menjalani hidup sesuai dengan alasan dan motif yang dianggap sebagai miliknya dan bukan produk dari kekuatan eksternal yang manipulatif atau mendistorsi, untuk eksis atau berada dalam keadaan tertentu. Namun itu sesungguhnya adalah kebohongan besar.

Keinginan kita dihasilkan dan dibentuk dalam dan melalui hubungan kita dengan orang lain, dan dengan keyakinan kita. Ketika datang ke sesama manusia, fenomena keinginan mimesis menciptakan kecenderungan kuat terhadap persaingan, karena orang-orang yang kita ambil (tanpa sadar) sebagai model keinginan kita secara bersamaan adalah orang-orang yang kita idolakan dan kita benci pada saat yang sama. Mereka tidak menjadi model keinginan bagi kita jika kita tidak berpikir bahwa mereka memiliki kualitas keberadaan yang tidak kita miliki. Namun itu adalah sesuatu yang mengagetkan atau immoral bagi kita, karena merekalah yang menghalangi usaha kita untuk mencapainya.

Mereka adalah siapa mereka, kita adalah siapa kita. Tetapi kebanyakan dari kita hidup dalam delusi yang menakutkan bahwa kebahagiaan kita dapat ditemukan dalam beberapa obyek keinginan yang peraihannya dihalangi oleh tetangga kita. Delusi dari kata Inggeris delusion adalah keyakinan atau kesan istimewa yang dipertahankan dengan kuat meski ditentang oleh apa yang secara umum diterima sebagai kenyataan atau argumen rasional, biasanya merupakan gejala gangguan mental. Dan itulah mengapa kita iri.

Akar dari iri adalah "invidere", atau melihat dengan kebencian. Mengutip Luke Burgis dalam "Wanting", yang sering dikaitkan dengan iri adalah tatapan agresif atau "mata yang menggigit", karena melihat terlalu dekat.

Dalam kepercayaan kuno rasa iri sering disebut berasal dari mata. Mengapa diri ini, meski mengaku mencintai, peduli, lebih suka damai daripada perang, lalu keadaan damai harmonis menjadi perselisihan, hidup untuk kematian; mengharapkan diri yang lain baik, tidak sakit, faktanya diam-diam menikmati perang dan rumor perang, berita kecelakaan pesawat, pembunuhan massal, obituarium atau pemberitahuan kematian seseorang yang biasanya dengan biografi singkat, belum lagi berita lokal tentang kenalan dekat yang meninggal di jalan, gosip tentang tetangga yang berkelahi dan terdeteksi skandal mesum, "embezzlements" atau penggelapan uang, dan aib lainnya.

Girard dalam Mimesis dan Theory membuat poin yang jauh lebih ringkas. Dikatakannya semakin banyak individualisme modern yang menyangkal fakta tentang keadaan yang buruk, melalui keinginan mimesis, masing-masing dari kita berusaha memaksakan kehendaknya pada sesamanya, yi mereka yang tadinya diklaim untuk dicintai tetapi lebih sering dibenci.

Masalah yang perlu kita cermati sekarang adalah kepribadian medsos yang kita ikuti yang sebagiannya menarik, dan sebagiannya lagi bak empedu nan pahit. Ada hubungan subyek-model atau hubungan model-model antara semua orang di medos entah itu facebook, twitter, telegram dll.

Tidak selalu jelas hubungan macam apa yang kita jalani disitu. Siapa yang pertama mengikuti siapa. Siapa yang lebih memperhatikan yang lain. Siapa yang lebih terpengaruh oleh penghinaan dan/atau postingan yang merujuk ke pengguna tertentu tanpa menyebutkannya secara langsung, biasanya sebagai bentuk ejekan atau kritik terselubung dan balasan yang tidak menyenangkan.

Ibu dari semua permainan kekuatan mimesis dalam medsos adalah memblokir seseorang dan bersamaan dengan itu memperkuat status pemblokir sebagai model dan yang lainnya sebagai pengikut yang tidak layak yang kemudian di-unfollow. Si pemblokir kemudian memperkuar status "in-group" (mengacu pada grup tempat kita berada dan mengidentifikasi saat grup kita berinteraksi dengan grup lain). Singkatnya ada "outsider" atau orang luar dan ada "insider" atau orang dalam disitu.

Rekan saya si Anu yang cukup ngetop dalam dunia facebook dan twitter. Dia punya ribuan pengikut yang mengkultuskannya sebagai hero dan siap mendukung apapun yang terjadi. Tapi belum lama ini lamannya ricuh berat, karena ada sejumlah pengikut yang menjelekkan dengan bahasa fauna yang vulgar seorang tokoh yang beberapa waktu lalu lengser dari kekuasaan. Pemblokiran dan unfollow, bahkan remove pun terjadi. Pengikut yang diremove itu langsung menyeberang ke laman facebook tokoh yang dikultuskannya seraya mengkambinghitamkan laman facebook sebelumnya. Itulah dinamika mimesis media sosial. Semua orang mengkultuskan dan meniru orang lain, namun tidak ada yang benar-benar yakin siapa model dan siapa peniru, dan semua orang tampaknya mencari potongan kecil penegasan untuk membuktikan mereka nyata.

Setidaknya begitu mendapat sinyal diblokir, anda mungkin penting atau nyata, itu sudah cukup sebagai tanda diperhatikan.

Di dunia medsos kita now, semua telah menjadi tetangga eksistensial satu sama lain dan lebih bertetangga dari sebelumnya, namun semua berusaha mati-matian untuk menemukan cara untuk membedakan diri mereka sendiri dalam kabut yang menutupinya.

Situasi mimesis ini selalu atau hampir tak terelakkan, mengarah pada konflik dan kekerasan. Kambing hitam dibuat, orang-orang dicancel dari pertemanan atau diblokir, bahkan diremove, dan disitu ada lebih banyak lapisan bernuansa perbedaan pendapat sampai semua perbedaan menjadi perbedaan tentang perbedaan, dan tidak ada satu pun yang dapat mengingat apa yang tadi dibahas dalam thread fesbuker yang diherokan itu.

Membayangkan Dante dalam "The Divine Comedy", salah satu tingkatan neraka yang paling dalam akan seperti gambaran tadi. Itu akan menjadi ranah perbedaan abadi, dimana "eternal quarrelers" (sebuah interaksi dimana pihak-pihak yang terlibat mengungkapkan ketidaksetujuan dengan marah satu sama lain) selalu kembali ke titik dimana mereka mengawali, dan menganggap diri mereka lebih bijaksana.

Dunia baru ini tidak muncul dalam semalam. TV yang menayangkan realitas meletakkan katakanlah telur "hate-watching" (kegiatan menonton acara TV untuk kesenangan yang diperoleh dari mengejeknya dan mengritiknya) untuk menonton kebencian. Medsos menetas dari telur itu.

Lihat aneka talkshow politik misalnya. Ada narasi yang dibangunkembangkan untuk ketokohan seseorang yang telah dikultuskan publik. Garis pertempuran tergambar dalam acara itu. Sebuah prestise apabila si A tokoh yang dijurubicarai si Anu dikatakan merakyat dan gila kerja. Ketika ini disoal negatif oleh si Ono dan si Ene yang menokohkan si B. Adu mulut pun terjadi dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain. Saat talkshow selesai, moderator seakan hakim yang adil dengan melihat sisi positif dari tokoh yang diperbincangkan tanpa sisi negatif. Dan ini semua akan dikukuhkan keesokan harinya oleh orator-orator yang bergerilya di medsos.

Persepsi si A sebagai model mimesis semakin kuat setiap kali ada yang mengunggahnya di medsos. Tak heran masing-masing tokoh punya follower yang memujanya. Krisis mimesis hanya bisa diselesaikan olehnya dan bukan oleh orang lain.

Scapegoat

Di Israel kuno. Setahun sekali, dua ekor kambing dibawa ke Bait Suci Yerusalem. Undian diambil untuk menentukan kambing mana yang akan dikorbankan untuk Tuhan dan mana yang akan dikirim kepada roh jahat atau iblis yang diyakini tinggal di daerah terpencil di gurun. Imam besar meletakkan tangannya di atas kepala kambing yang akan dikirim ke gurun. Saat dia melakukannya, Imam ybs mengakui semua dosa orang Israel, dan secara simbolis memindahkannya kepada hewan itu. Setelah sang Imam mengucapkan doa, orang-orang pun segera mengusir kambing itu ke padang gurun, maka terhapus sudah dosa-dosa mereka bersama kepergian kambing itu. Kambing korban itu kemudian disebut, dalam bahasa Inggeris, "scapegoat" atau kambing hitam.

Apakah mengkambinghitamkan seseorang atau sekelompok orang, bahkan mengkambinghitamkan sebuah bangsa mana pun, itu masih merupakan solusi efektif untuk dosa kolektif medsos kita, dan untuk segala kecemburuan kita?

Inti permasalahannya, kita mencoba mendiagnosis apa yang salah dengan medsos sambil menutup mata terhadap apa yang salah dengan diri kita sendiri, yi kecenderungan hasrat atau keinginan kuat kita untuk mengikuti "wordly models" atau berurusan dengan hanya kata-kata saja. Kita menginginkan apa yang dimiliki orang lain, atau apa yang diinginkan orang lain, dan percaya itu akan membuat kita bahagia "if only" bla bla bla syaratnya terpenuhi. Dan ini membuat kita percaya orang lain adalah masalahnya, dan bukan dosa, bukan impuls atau dorongan mimesis kita sendiri, bukan ambisi dari ilusi kita sendiri.

Orang-orang kaya? Mereka mendapatkan kekayaan fantastis yang tidak proporsional. Orang-orang cantik? Dangkal.

Orang-orang "vitriolic" atau yang penuh dengan kritik atau kebencian mencekam dan orang-orang bodoh atau idiot, itu semuanya menyemburkan kebencian di medsos? Segala sesuatu yang ada di negara ini adalah salah bagi mereka. Orang-orang semacam ini hanya terlihat oleh kita, karena mereka adalah model, dan kita memiliki akses dan minat yang sangat besar terhadap mereka ketimbang masa sebelumnya berkat "mesin mimetik" yang ada di kantong kita masing-masing.

Refleksi

Saya percaya ada cara yang lebih baik. Hasrat mimesis pada akhirnya adalah tentang cinta, bukan hatred tak berkeputusan..

Pertanyaannya adalah model apa yang anda tiru. Wordly model-kah atau Jokowi-kah, Inul-kah atau Ridwan Kamil-kah atau jangan-jangan Narcissly Model, mentang-mentang baru dapat lotere kemarin.

Joyogrand, Malang, Sat', Febr' 04, 2023.

Kesuksesan menurut ukuran orang luar dan diri sendiri. Foto : insandout.org.
Kesuksesan menurut ukuran orang luar dan diri sendiri. Foto : insandout.org.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun