Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kekuatan Mimetik dalam Everyday Life

4 Februari 2023   16:15 Diperbarui: 4 Februari 2023   16:16 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dunia medsos kita now, semua telah menjadi tetangga eksistensial satu sama lain dan lebih bertetangga dari sebelumnya, namun semua berusaha mati-matian untuk menemukan cara untuk membedakan diri mereka sendiri dalam kabut yang menutupinya.

Situasi mimesis ini selalu atau hampir tak terelakkan, mengarah pada konflik dan kekerasan. Kambing hitam dibuat, orang-orang dicancel dari pertemanan atau diblokir, bahkan diremove, dan disitu ada lebih banyak lapisan bernuansa perbedaan pendapat sampai semua perbedaan menjadi perbedaan tentang perbedaan, dan tidak ada satu pun yang dapat mengingat apa yang tadi dibahas dalam thread fesbuker yang diherokan itu.

Membayangkan Dante dalam "The Divine Comedy", salah satu tingkatan neraka yang paling dalam akan seperti gambaran tadi. Itu akan menjadi ranah perbedaan abadi, dimana "eternal quarrelers" (sebuah interaksi dimana pihak-pihak yang terlibat mengungkapkan ketidaksetujuan dengan marah satu sama lain) selalu kembali ke titik dimana mereka mengawali, dan menganggap diri mereka lebih bijaksana.

Dunia baru ini tidak muncul dalam semalam. TV yang menayangkan realitas meletakkan katakanlah telur "hate-watching" (kegiatan menonton acara TV untuk kesenangan yang diperoleh dari mengejeknya dan mengritiknya) untuk menonton kebencian. Medsos menetas dari telur itu.

Lihat aneka talkshow politik misalnya. Ada narasi yang dibangunkembangkan untuk ketokohan seseorang yang telah dikultuskan publik. Garis pertempuran tergambar dalam acara itu. Sebuah prestise apabila si A tokoh yang dijurubicarai si Anu dikatakan merakyat dan gila kerja. Ketika ini disoal negatif oleh si Ono dan si Ene yang menokohkan si B. Adu mulut pun terjadi dengan melemparkan kesalahan kepada orang lain. Saat talkshow selesai, moderator seakan hakim yang adil dengan melihat sisi positif dari tokoh yang diperbincangkan tanpa sisi negatif. Dan ini semua akan dikukuhkan keesokan harinya oleh orator-orator yang bergerilya di medsos.

Persepsi si A sebagai model mimesis semakin kuat setiap kali ada yang mengunggahnya di medsos. Tak heran masing-masing tokoh punya follower yang memujanya. Krisis mimesis hanya bisa diselesaikan olehnya dan bukan oleh orang lain.

Scapegoat

Di Israel kuno. Setahun sekali, dua ekor kambing dibawa ke Bait Suci Yerusalem. Undian diambil untuk menentukan kambing mana yang akan dikorbankan untuk Tuhan dan mana yang akan dikirim kepada roh jahat atau iblis yang diyakini tinggal di daerah terpencil di gurun. Imam besar meletakkan tangannya di atas kepala kambing yang akan dikirim ke gurun. Saat dia melakukannya, Imam ybs mengakui semua dosa orang Israel, dan secara simbolis memindahkannya kepada hewan itu. Setelah sang Imam mengucapkan doa, orang-orang pun segera mengusir kambing itu ke padang gurun, maka terhapus sudah dosa-dosa mereka bersama kepergian kambing itu. Kambing korban itu kemudian disebut, dalam bahasa Inggeris, "scapegoat" atau kambing hitam.

Apakah mengkambinghitamkan seseorang atau sekelompok orang, bahkan mengkambinghitamkan sebuah bangsa mana pun, itu masih merupakan solusi efektif untuk dosa kolektif medsos kita, dan untuk segala kecemburuan kita?

Inti permasalahannya, kita mencoba mendiagnosis apa yang salah dengan medsos sambil menutup mata terhadap apa yang salah dengan diri kita sendiri, yi kecenderungan hasrat atau keinginan kuat kita untuk mengikuti "wordly models" atau berurusan dengan hanya kata-kata saja. Kita menginginkan apa yang dimiliki orang lain, atau apa yang diinginkan orang lain, dan percaya itu akan membuat kita bahagia "if only" bla bla bla syaratnya terpenuhi. Dan ini membuat kita percaya orang lain adalah masalahnya, dan bukan dosa, bukan impuls atau dorongan mimesis kita sendiri, bukan ambisi dari ilusi kita sendiri.

Orang-orang kaya? Mereka mendapatkan kekayaan fantastis yang tidak proporsional. Orang-orang cantik? Dangkal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun