PDIPlah satu-satunya Parpol yang lolos dari presidential threshold, maka bisa menentukan capres dan cawapresnya sendiri tanpa harus kesana kemari repot cari rekan koalisi dalam pilpres.Â
Golkar selaku nomor urut 2 dan Gerindra nomor urut 3 masih harus kesana-kemari cari rekan koalisi dalam pilpres. Apalagilah parpol yang ngepas suaranya bahkan sudah anjlok di lapis terbawah parliamentary threshold seperti Nasdem, Demokrat, PPP dan PAN.Â
Jangan-jangan dalam pemilu legislatif yang sudah semakin mendekat ini, mereka akan terdepak oleh partai-partai baru seperti Gelora yang kini digawangi Anis Matta dan Fachri Hamzah, PSI yang tetap mengintai untuk masuk parlemen, PBB, Garuda dll.
Singkatnya dalam pemilu serentak 2024, tercatat ada 17 parpol yang dinyatakan telah memenuhi syarat sebagai peserta pemilu yi PAN, PBB, Partai Buruh, PDIP, Partai Demokrat, Partai Garuda, Partai Gelora, Gerindra, Golkar, Hanura, PKS, PKB, PKN, Nasdem, Perindo, PPP dan PSI. Bisa tidaknya lolos ke parlemen bergantung manuver politik masing-masing dan bagaimana kedewasaan voter di negeri ini dalam menentukan pilihannya.
PDIP di bawah Mega sejauh ini telah berhasil membangunkembangkan PDIP sebagai partai kader. Boleh jadi parpol-parpol lain juga begitu. Tapi yang terbukti dalam kepemimpinan nasional maupun daerah selama ini adalah kader-kader PDIP. Dalam percaturan politik dimanapun, bisa saja ada kata yang menohok bahwa yang bobrok juga cukup banyak di PDIP. Pastilah, mana ada yang sempurna, maka belajarlah jadi Naturalis bahwa alam akan menseleksinya. Yang kemarin berpolitik identitas seperti Wowok dan Anies. Kini keduanya malah dicitrakan sebagai nasonalis sejati yang religius. Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh dan Andi Mallarangeng yang dulu paling suci, sekarang penuh doa di balik terali besi, dibalik remisi hukum dst. Bisakah mereka ke pentas politik lagi nanti. Wallahualam.
Pasca Orba Soeharto, bangsa ini sudah melewati segalanya. Khusus percaturan politik, sudah dilahirkan 4 presiden, bahkan yang menggenapi tuah Bung Karno bahwa bangsa ini harus berbhinneka tunggal ika sudah digenapi alm Gus Dur selaku presiden pertama pasca orba Soeharto. Di Jatim Park 3 terlihat replika Gus Dur dengan segala kebhinnekaannya yang unik tapi mengharukan. Meski hantu ciptaan itu masih berkesiur di langit Indonesia, katakanlah nanti akan muncul lagi dalam kontestasi 2024, tapi ini akan lebih mudah direspon ketimbang merespon hantu serupa di masa pilpres 2019 misalnya dan pilkada Jakarta sebelumnya. MBS di Arab Saudi sana bisa cergas atau cerdas dan lugas dalam merespon hantu seperti itu, mengapa kita tidak.
Megawati Soekarnoputri yang sekarang sudah berusia 76 tahun tentu sudah menyiapkan segalanya buat PDIP. Boleh dikata dialah tokoh perempuan satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia yang terlama dalam menjabat ketua umum partai sejak 1993 hingga kini. Kl 30 tahun. Pengalaman tersakiti terus-menerus adalah guru terbaik Mega disini.
Soekarno sang ayah, tercatat sebagai pendiri PNI di Bandung pada 4 Juli 1927 sekaligus menjadi pemimpin partai itu hingga 1931 dengan menjalani masa sulit tak terkatakan dalam melawan pemerintah kolonial Belanda.
Sementara Megawati memimpin PDI, partai yang dibentuk oleh rezim Orba di Jakarta pada 10 Januari 1973 berdasarkan fusi lima parpol ketika itu yakni PNI, Partai Katolik, Partai Murba, Parkindo, dan Partai IPKI, dan sejak 1993 sebagai hasil dari Kongres Luar Biasa di Surabaya pada 2 Desember 1993.
Megawati dibesarkan oleh rezim Orba Soeharto yang menekan dia habis-habisan. PDI ketika itu dicreate regime sebagai partai kisruh yang gonta-ganti pimpinan, mulai dari Sanusi Hardjadinata produk kongres I di Jakarta pada 1976, menyusul Sunawar Sukowati hasil kongres II di Jakarta pada 1981, Soerjadi hasil kongres III di Jakarta pada 1986, dan terpilih kembali dalam kongres IV di Medan pada 1993 meski tak diakui pemerintah, lalu disusul Kongres Luarbiasa di Surabaya pada Desember 1993.
Disinilah momentum itu. Suara-suara daerah semuanya tertuju ke Mega, calon yang diusung pemerintah pada kabur minta bantuan pemerintah. Beberapa menit menjelang batas akhir waktu izin penyelenggaraan KLB, Megawati menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara "de facto". Setelah waktu penyelenggaraan KLB habis, mereka pun pulang dan polisi membubarkan acara itu.