Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Pengembangan Kota Malang Ke Timur Dong Jangan ke Barat Mulu

3 Januari 2023   09:07 Diperbarui: 3 Januari 2023   09:15 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mulia dan Kenia di roof top Ascent Premiere Hotel. Foto : Kenia Pakpahan.

Melepas tahun 2022 menuju 2023 di kota tua Malang hanya sekelebatan saja, tapi pijakan saya ketika itu membuat saya berpikir ah nggak salah pilihan my daughter Kenia and my son Mulia untuk melepas tahun 2022 dan menyongsong tahun baru 2023 di Ascent Premiere Hotel.

Bukannya mau menginap di hotel, lha wong omahku di sebelah baratnya koq, yi Joyogrand, Merjosari, Lowokwaru, tak jauh dari Unibraw, UIN, ITN Pasca Sarjana di Siguragura dan Uniga, bahkan Unmuh dan Unisma.

Sekarang Jalan Raya Joyosuko ke atas setelah menurun dari jalan kembar menuju pintu utama atau pintu masuk Joyogrand, sudah menjadi jalan alternatif ke Batu untuk mengatasi kemacetan di Jln. MT Haryono (sisi utara Unibraw) dan Jalan Raya Batu setelah Unmuh.

Setelah lama meninggalkan kota Malang, salah satu perubahan penting selain pengembangan wisata history di Kajoetangan Heritages, maka Ascent Hotel yang menjulang tinggi 9 lantai persis di sebelah setasiun kota lama, saya pikir adalah semacam "pesan kelelahan" untuk selanjutnya kota Malang mulai dipikirkanlah pengembangannya ke arah timur, sebab ke arah barat dengan magnitudo Batu, terkesan kuat sudah mulai jenuh, dan kalau tak diatur mulai sekarang, jangan-jangan ke Batu ke depan ini menjadi bermasalah seperti Puncak di Kabupaten Bogor, Jabar.

Ascent Premiere, hotel berbintang 4 itu terletak di Jln. Kolonel Soegiono No. 6, Ciptomulyo, Sukun, bersebelahan dengan setasiun kota lama legacy Belanda, tak jauh dari Pasar Comboran, Kampung Warna-Warni, kl 2 km dari Museum Malang Tempo Doeloe, Museum Militer Brawijaya, kl 1,5 km dari Kajoetangan Heritages dan kl 2 km dari setasiun Malang Kota Baru dan kl 3 km ke titik zero di Tugu Malang, kl 7,5 km dari Joyogrand dst.

Saya dan keluarga ketika itu di roof top Ascent Hotel lantai 9. Roof top tsb mempunyai view yang chantique ke arah timur dan barat. Kedua belah tangan kita bisa berpegangan pada kaca tebal transparan yang juga dapat menyangga tubuh kita ketika memandang seantero kota Malang dari sisi barat maupun sisi timur.

Angin berkesiur cukup kencang dari arah barat beberapa saat jelang lepas tahun. Prediksi BMKG mengatakan kita harus waspada karena angin yang membawa uap basah dari utara Laut Jawa bertemu dengan angin barat dari arah Sumatera, yang katanya akan melanda Jabodetabek.

Malang yang diprediksi bakal hujan saat itu tanpa adanya warning bakal ada angin kencang, ternyata tak hujan, tapi angin yang menyapu Malang dari arah barat cukup kencang, sepertinya badan saya agak terdorong oleh angin ajaib itu. Saya kira angin itu dari Jabodetabek. Karena kelebihan daya, maka menghambur jauh sampai ke Malang. Kalau lebih gede lagi, saya pasti terhempas. Oalah.

Saya kemudian dipanggil pasukan agar merapat ke meja kami sekeluarga di bagian tengah resto yang hangat dan bebas angin ribut. Di resto roof top Ascent Hotel itulah kami gathering beberapa saat jelang buka tahun 2023, Saya baca tempat yang bling-bling itu, oya namanya Napa Eatery and Bar atau Restoran dan Bar Napa.

"Napa iki opo nduk?" Tanya saya kepada host disitu. " Napa kui jeneng e sebuah kota di Amrik, karena the owner adalah orang Amerika." Lha? Ini pastinya arek Malang yang lama di Amrik dan saiki wong e nge-Hotel nang Malang. Ojo jaim toh nduk. He .. He .."

Mulia dan Kenia di roof top Ascent Premiere Hotel. Foto : Kenia Pakpahan.
Mulia dan Kenia di roof top Ascent Premiere Hotel. Foto : Kenia Pakpahan.

Sembari meneguk rib Heineken, saya sontak tak mau tahu dengan referensi apapun tentang masa depan Malang, sebab saya tahu persis pesan pengembangan kota Malang seperti apa dan bagaimana. Bayangkan GOR Ken Arok yang kl 5 Km lagi dari Ascent Hotel ke timur, sampai sekarang tetap sepi. 

Sejumlah residensi yang dibangun sebelumnya disana juga sepi. Itu artinya pengembangan kota Malang ke arah timur tetap stagnan. Sebaliknya perkembangan ke sebelah barat hingga ke Batu terkesan kuat semakin menjadi-jadi. Tak heran Joyosuko dekat Joyogrand menjadi jalan alternatif ke Batu. 

Tak heran pula pertemuan jalan raya Batu di pertigaan setelah tapal batas kota Batu dengan barisan kenderaan yang muncul dari arah Surabaya lewat ring road yang berbelok tajam di pinggir kota Malang yang dimulai dari Bentoel, Karanglo, Karangploso dst. Arus kenderaan dari Jln Raya Batu dan dari ring road tsb ya macet begitu tiba di pertigaan Batu pada peak season kepariwisataan.

Maklumlah daya pikat Jatim Park 1, 2 dan 3, termasuk Baloga dan wisata belanja di alun-alun kota bagi keluarga, sungguh luarbiasa. Belum lagi segala macam infrastruktur pendukung wisata alam yang dibangun, ntah itu paralayang, wisata agro, jelajah alam seperti arung jeram dll yang keseluruhannya disangga fasilitas akomodasi ntah itu yang bergaya nomad alias tenda wisata berpindah-pindah atau akomodasi permanen. Itu semua sudah sampai pada titik kulminasi.

Sekaranglah saatnya kota lama Malang di sisi timur yang juga legacy Belanda ini ditata sesuai dengan RTRW kota Malang. Di sisi pertama bagian barat kan sudah dimulai pengembangan stopover wisata kota di Kajoetangan Heritages yang sudah menyelesaikan tahap 1 dan 2 hingga ke depan Toko Oen dekat masjid Jami, GPIB dan alun-alun kota. Tahap 3 dan 4 yang akan menyusul selanjutnya adalah penataan titik zero tugu hingga gereja katholik Bunda Hati Kudus, lanjut ke alun-alun kota dan finishingnya berakhir di Pecinan hingga ke tepian yang ada Kelenteng Kuno Eng An Kiong, Jln. Martadinata, Kedungkandang, kota lama.

Kalau Ascent Hotel. Sudahlah, kita berterimakasih sekali karena hotel itu sudah cukup lama eksis di kota tua, yi sejak awal 2000-an. Tamu hotel lumayan meningkat dari tahun ke tahun. Itu semua karena efek dongkrak meningkatnya kunjungan wisata ke Batu sejak boomingnya destinasi wisata Batu 2 dekade terakhir ini sepeninggal saya dari Malang.

Sayang, pengembangan kota di bagian timur stagnan begitu meski salah satu legacy Belanda, yi setasiun kota lama sudah dipermanis tanpa mengubah bentuk aslinya. Ascent Hotel yang chantique dengan roof top yang ciamik untuk memandang kota Malang dengan alam pegunungan di sekitarnya seakan teronggok tolol, meski jaringan Ascent tak setolol itu dalam menjual kl 120 kamar di hotel berbintang 4 tsb.

Di bagian timur cukup banyak yang menarik untuk digali dan dipoleskembangkan. Mulai dari Pasar Comboran misalnya. Pasar yang terletak di sebelah selatan Pasar Besar Malang, tepatnya di Jalan Moh. Yamin, Jalan Irian Jaya, Jalan Halmahera hingga Jalan Besi ini awalnya bukan didesain sebagai pasar.

Awalnya kawasan yang saat ini menjadi Pasar Comboran, merupakan Stasiun Induk untuk Trem atau transportasi Kereta Api Jarak Pendek antar wilayah Malang. Trem yang memiliki Rute Malang-Singosari dan Malang-Pakis-Tumpang tsb, mempunyai nama Stasiun Trem Jagalan yang ada sejak tahun 1900-an awal hingga 1950-an.

Pada 1900-an dengan adanya Trem, tentu ada juga transportasi lain, yi armada dokar bertenaga kuda dan bukan kuda-kudaan. Dari situlah nama "Comboran" muncul. Jadi di samping ada Trem, juga ada parkiran atau tempat ngetemnya Dokar. Para kusir dokar  menunggu penumpang turun untuk diantarkan ke lokasi tujuannya masing-masing.

View kota Malang dari roof top Ascent Premiere Hotel di Malang. Foto : id.trip.com
View kota Malang dari roof top Ascent Premiere Hotel di Malang. Foto : id.trip.com

Comboran semula muncul di sisi timur lokasi parkiran Dokar, yang digunakan sebagai tempat istirahat Kuda untuk sekedar diberi makan dan  minum. Istilah Jawanya, yakni "Nyombor". Lama-kelamaan Nyombor jadi Comboran.

Perdagangan pun muncul di kawasan tsb. Lahirlah pasar yang memperjual belikan dagangan hasil pertanian masyarakat.

Di masa Jepang, orang-orang Belanda yang telah lama tinggal di kota Malang ditangkap dan dibawa ke Surabaya hingga Cimahi. Di masa itulah pergeseran peran Pasar Comboran dari perdagangan hasil pertanian beralih ke Pasar Loak atau barang bekas. Pasar loak terbesar di Jatim itu masih berlangsung hingga sekarang.

Mengapa Comboran yang relatif luas itu tidak dikembalikan ke suasana jadul dengan polesan modern, karena limpahan hasil industri agro di Batu, Tumpang, Dampit dll kan bisa digelar dengan gaya pasar wisata keluarga yang serba fun bahkan heboh soal belanjaan agro.

Seyogyanya tukang loak yang meluber reseh nggak keruan disini bisa di relokasi ke titik-titik niaga yang perlu dikembangkan di bagian timur, tentu di titik-titik strategis kecamatan Sukun, atau di area GOR Ken Arok di Buring, Kedungkandang, yang digigit sepi selama ini, hingga ke Gadang dekat Pabrik Gula Jadul yang masih hidup hingga sekarang yi PG Kebon Agung.

Diubahnya Comboran tentu dengan menghidupkan kembali trem jadul dalam nuansa wisata gembira di seputar Comboran saja plus dokar-dokar wisatanya.

Seniman-seniman kota Malang juga perlu diberi fasilitas gallery khusus. Mereka pasti dapat dirangsang lebih jauh untuk berkreasi dalam kesenimanannya di sejumlah galery di Kedungkandang, kemudian karya kreatif mereka dijadikan komoditas berharga yang dapat dijual di Pasar Seni Malang yang dikembangkan secara berimbang baik di sisi timur maupun barat. Ini tentu akan diminati para pelancong yang stop over di kota Malang.

Di sisi utara terdekat juga ada yang kosong seperti situs Singosari di Singosari atau yang terjauh yi Lawang tempat Ucok AKA Rock Band berasal. Jangan hanya hotel tempo doeloe seperti Niagara saja yang ditonjol-tonjolkan sebagai hotel mistis disana, tapi juga poles lagi villa-villa legacy Belanda di Lawang, dan akhirnya taruh beberapa galery dan pasar seni disitu. Arus pelancong keluar-masuk Malang dari Surabaya kan dapat dapat dicegat di titik terjauh batas utara kota Malang ini.

Wadouh, pikiran ke depan untuk kota Malang akan semakin jauh melayang ke Panderman, Bromo, Semeru, Arjuno, Dieng dst. 3 menit lagi jelang Pk. 00.00. Saya pun berpelukan sekeluarga menyambut tahun 2023 yang dalam doa kami kukuhkan sebagai Tahun Kasih.

Riuh rendah mercon yang melesat ke angkasa Malang baik di sisi utara maupun di sisi timur hanya sekelebatan saja, tapi cukup mengesankan, karena nggak malu-maluin kata anak saya. O iya neber. Iki Malang cak. Singo uedan!

At the end, mari kita tapaki tahun 2023 ini sebagai Tahun Kasih. Ciao!

Joyogrand, Malang, Jan', Tue' 03, 2023.

Ascent Premiere Hotel. Foto : booking.com
Ascent Premiere Hotel. Foto : booking.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun