Sembari meneguk rib Heineken, saya sontak tak mau tahu dengan referensi apapun tentang masa depan Malang, sebab saya tahu persis pesan pengembangan kota Malang seperti apa dan bagaimana. Bayangkan GOR Ken Arok yang kl 5 Km lagi dari Ascent Hotel ke timur, sampai sekarang tetap sepi.Â
Sejumlah residensi yang dibangun sebelumnya disana juga sepi. Itu artinya pengembangan kota Malang ke arah timur tetap stagnan. Sebaliknya perkembangan ke sebelah barat hingga ke Batu terkesan kuat semakin menjadi-jadi. Tak heran Joyosuko dekat Joyogrand menjadi jalan alternatif ke Batu.Â
Tak heran pula pertemuan jalan raya Batu di pertigaan setelah tapal batas kota Batu dengan barisan kenderaan yang muncul dari arah Surabaya lewat ring road yang berbelok tajam di pinggir kota Malang yang dimulai dari Bentoel, Karanglo, Karangploso dst. Arus kenderaan dari Jln Raya Batu dan dari ring road tsb ya macet begitu tiba di pertigaan Batu pada peak season kepariwisataan.
Maklumlah daya pikat Jatim Park 1, 2 dan 3, termasuk Baloga dan wisata belanja di alun-alun kota bagi keluarga, sungguh luarbiasa. Belum lagi segala macam infrastruktur pendukung wisata alam yang dibangun, ntah itu paralayang, wisata agro, jelajah alam seperti arung jeram dll yang keseluruhannya disangga fasilitas akomodasi ntah itu yang bergaya nomad alias tenda wisata berpindah-pindah atau akomodasi permanen. Itu semua sudah sampai pada titik kulminasi.
Sekaranglah saatnya kota lama Malang di sisi timur yang juga legacy Belanda ini ditata sesuai dengan RTRW kota Malang. Di sisi pertama bagian barat kan sudah dimulai pengembangan stopover wisata kota di Kajoetangan Heritages yang sudah menyelesaikan tahap 1 dan 2 hingga ke depan Toko Oen dekat masjid Jami, GPIB dan alun-alun kota. Tahap 3 dan 4 yang akan menyusul selanjutnya adalah penataan titik zero tugu hingga gereja katholik Bunda Hati Kudus, lanjut ke alun-alun kota dan finishingnya berakhir di Pecinan hingga ke tepian yang ada Kelenteng Kuno Eng An Kiong, Jln. Martadinata, Kedungkandang, kota lama.
Kalau Ascent Hotel. Sudahlah, kita berterimakasih sekali karena hotel itu sudah cukup lama eksis di kota tua, yi sejak awal 2000-an. Tamu hotel lumayan meningkat dari tahun ke tahun. Itu semua karena efek dongkrak meningkatnya kunjungan wisata ke Batu sejak boomingnya destinasi wisata Batu 2 dekade terakhir ini sepeninggal saya dari Malang.
Sayang, pengembangan kota di bagian timur stagnan begitu meski salah satu legacy Belanda, yi setasiun kota lama sudah dipermanis tanpa mengubah bentuk aslinya. Ascent Hotel yang chantique dengan roof top yang ciamik untuk memandang kota Malang dengan alam pegunungan di sekitarnya seakan teronggok tolol, meski jaringan Ascent tak setolol itu dalam menjual kl 120 kamar di hotel berbintang 4 tsb.
Di bagian timur cukup banyak yang menarik untuk digali dan dipoleskembangkan. Mulai dari Pasar Comboran misalnya. Pasar yang terletak di sebelah selatan Pasar Besar Malang, tepatnya di Jalan Moh. Yamin, Jalan Irian Jaya, Jalan Halmahera hingga Jalan Besi ini awalnya bukan didesain sebagai pasar.
Awalnya kawasan yang saat ini menjadi Pasar Comboran, merupakan Stasiun Induk untuk Trem atau transportasi Kereta Api Jarak Pendek antar wilayah Malang. Trem yang memiliki Rute Malang-Singosari dan Malang-Pakis-Tumpang tsb, mempunyai nama Stasiun Trem Jagalan yang ada sejak tahun 1900-an awal hingga 1950-an.
Pada 1900-an dengan adanya Trem, tentu ada juga transportasi lain, yi armada dokar bertenaga kuda dan bukan kuda-kudaan. Dari situlah nama "Comboran" muncul. Jadi di samping ada Trem, juga ada parkiran atau tempat ngetemnya Dokar. Para kusir dokar  menunggu penumpang turun untuk diantarkan ke lokasi tujuannya masing-masing.