Inilah PR yang harus segera dibereskan terlebih dahulu. Ruwatan atau pembenahan pertama tentu membangun dulu satu badan untuk layanan terpadu dari semua hal pada layanan bawah secara lintas sektor. Kementerian Tenaga Kerja berperan strategis disini. Dengan garis lini ke daerah-daerah, lalu membangun semacam UPT dan zonasi untuk kaki-kaki pelayanan yang mudah dikendalikan dengan menyempit pada lingkar kelurahan-kelurahan yang ada. Itu semua terkordinasi dengan Pemda setempat. Terakhir ya menyiapkan sdm dan instrumen yang dibutuhkan untuk merapikan lingkungan kerja mereka masing-masing.
Kalau PR ini bisa dituntaskan, ada tenaga instruktur dan tenaga pengawas yang massif dan mumpuni seperti di BLK niscaya dunia pekerja maginal serabutan ini dapat dikendalikan dengan baik. Yang perlu dikordinasikan dengan Pemda setempat adalah pendataan para pekerja marginal serabutan ini. Apa dan bagaimana pekerjaan mereka sehari-hari. Kalaupun mereka migran, fleksibilitas pelayanan diperlukan disini. Kordinasi yang baik dengan Pemda setempat setidaknya akan melahirkan sebuah kebijakan bahwa para migran dimaksud adalah warga tak tetap yang sedang memperbaiki hidup keluarganya dan karenanya perlu dibantu.
Apabila kaki-kaki pelayanan ini sudah berfungsi optimal, maka atap kita tentu takkan bocor lagi, sepatu kita nggak raib lagi, Kesehatan kita via BPJS akan pulih kembali seperti sediakala. BPJS bukan swasta murni memang, tapi sepak terjang BPJS di lapangan perlu dipantau oleh kaki-kaki pelayanan ini di tingkat Kecamatan dan Kabupaten/Kota. Jangan sampai terjadi orang keburu mati sebelum sempat dilayani RS karena panjangnya birokrasi Kesehatan. Dan itu semua takkan lagi terjadi sejauh kaum marginal di sektor informal marginal serabutan ini semua, termasuk aparatur pelaksana BPJS, telah diperiksa kapasitasnya, kemudian diberdayakan, atau ditangkap lalu dipenjarakan kalau terbukti nakal dan kurang ajar. Dengan kata lain yang Ok diformalkan setelah diregistrasi terlebih dahulu, lalu diberi seragam percontohan sebagai tanda pengenal profesi.
Mereka yang tadinya pekerja marginal serabutan dalam sistem kini telah berkeakhlian dan berintegritas cukup, sehingga kita benar-benar bisa menghormati mereka karena layanan publiknya membuat masyarakat benar-benar nyaman tenteram bak bersantai di Pulau Mariska di Pacific sana.
Bagian terakhir adalah solusi formalisasi, dimana hak-hak mereka sebagai pekerja diakui. Itu tidak sekadar formalitas administrasi, juga para pekerja informal marginal serabutan ini harus diberi status hukum dan pengakuan untuk memastikan bahwa hak dan kebutuhan mereka terpenuhi. Pada saat yang sama formalisasi akan memungkinkan mereka terintegrasi dengan sistem ketenagakerjaan yang membawa dampak positif terhadap kualitas angkatan kerja nasional.
Memformalkan para pekerja marginal serabutan ini dengan memberi mereka seragam dan memperoleh pendapatan yang adil berdasarkan kinerja mereka yang telah diupgrade. Ini boleh dikata batu loncatan untuk penghidupan dan pengakuan sosial yang lebih baik, so penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk menyepakati sebuah definisi yang sama tentang apa artinya memformalkan para pekerja marginal serabutan dan apa yang diperlukan untuk itu.
Formalisasi pekerja marginal serabutan dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan.
Pertama mereka terdata di kelurahan setempat dan terangkum dalam data induk di pemda setempat. Kordinator lapangan tentu di tingkat Kecamatan dan Kabupaten/Kota.
Kedua, Kemendagri menginstruksikan pemda setempat agar pendataan para pekerja marginal serabutan di kelurahan disertai pengajuan NPWP dan jaminan Kesehatan BPJS. Mereka dipastikan tidak akan dikenakan pajak penghasilan, karena penghasilan harian mereka yang belum stabil akan menempatkan mereka jauh di bawah ambang batas penghasilan kena pajak. Membayar iuran BPJS dari pendapatan mereka juga dipastikan hanya akan menambah beban keuangan mereka. Seyogyanya pemda setempat memberikan subsidi kesehatan, meski dengan skala terbatas, kepada para pekerja marginal serabutan ini.
Ketiga, bermacam varian pekerja marginal serabutan, ntah itu pemulung, Â pertukangan besi, kayu, rumah dll diarahkan untuk membentuk koperasi. Asosiasi seperti IPI (Ikatan Pemulung Indonesia) telah mengambil pendekatan ini. Mereka membangun koperasi sendiri melalui program pemulung kawasan industri dan program pemulung kawasan usaha. Dan hebatnya karena IPI-lah data para pemulung ini relatif lengkap yi 3,7 juta orang (lih jakpost https://tinyurl.com/yhoqacw3). Sedangkan puluhan juta lainnya perlu dibenahi lebih lanjut oleh kaki-kaki pelayanan Kemenaker di daerah.