Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Memformalkan Pekerja Marginal Serabutan ke Dalam Dunia Kerja yang Manusiawi

12 Desember 2022   10:28 Diperbarui: 12 Desember 2022   11:08 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memformalkan Pekerja Marginal Serabutan Kedalam Dunia Kerja Yang Manusiawi

Kapan pun dan dimana pun, kita dapat melihat para pemulung dengan pakaian lusuh dengan alat penjepit di tangannya bergerak cepat lincah langsung ke kantong-kantong sampah rumah-rumah warga di sebuah residensi dan kalau ada TPS di pojok tertentu dari residensi itu, mereka pun akan memainkan alat penjepitnya untuk memulung sampah plastik seperti gelas dan botolan besar Aqua, termasuk aneka karton seperti buangan kemasan TV yang berukuran sedang atau kulkas yang berukuran besar.

Para pemulung tsb sama halnya dengan pekerja-pekerja marginal serabutan lainnya yang nekad dengan setengah keakhlian bahkan seperempat keakhlian atau si nakal kurang ajar yang hanya bersecuil keakhlian. Si nakal dari dunia pertukangan serabutan ini biasa diundang acak oleh warga yang memerlukannya seperti perbaikan atap bocor, leiding yang macet tak semestinya atau perbaikan sekadar kamar mandi atau sekadar tambah kamar anak sehingga perlu bobok sana bobok sini dan kemudian menukanginya, bahkan ada juga yang memborong bangun rumah tipe medium bawah sampai tipe sederhana, termasuk disini para penjaja kuliner kaki lima atau penjaja kuliner keliling seperti bakso, ketoprak, kue-kue rumahan dst.

Tenaga kerja marginal serabutan ini terus mengalami penambahan seiring dengan pandemi Covid-19 yang sudah berjalan 3 tahun. Sampai dengan tahun 2022 jumlah pekerja di Indonesia mencapai 135,61 juta. Jumlah pekerja formal 57,79 juta, sedangkan pekerja informal serabutan 75,5 juta. Lalu yang formal menurun menjadi 54,28 juta, sedangkan yang informal melaju menjadi 81,3 juta. Dilihat dari perkembangan sejak pandemi awal 2020, diawali angka 56,64% kemudian berkembang menjadi 59,97%, maka boleh dikata jumlah pekerja informal dan/atau serabutan naik menjadi 15,6%, sedangkan yang formal mengalami kontraksi sebesar -6% (lih news.ddtc https://tinyurl.com/2opll2pg).

Dalam konteks inilah para pekerja marginal serabutan di negeri ini perlu diformalkan dalam rangka mewujudkan humanitas terkini dari rasa kemanusiaan kita di alam merdeka. Para pekerja marginal serabutan ini sudah cukup lama dipikirkan tapi tak tersolusikan secara tuntas. Kini sudah saatnya mereka dipikirkan secara silang sesuai fakta atau kenyataan nasional yang ada.

Fakta miring, banyak di antara mereka yang brengsek, meski tak ada rekam statistiknya secara formal, tapi sangat terasa bahwa mereka ada di sekeliling kita. Dikatakan baik juga ada, tapi tak pasti. Yang pasti mereka menjadi sangat mengganggu ketika ketahuan atap bocor tak juga membaik, malah atap tambah rusak. Ketika ketahuan ada jemuran yang hilang bahkan sepatu bagus yang parkir di depan rumah raib tak berbekas. Ulah para pemulung yang tak terorganisirr tentu. Ketika makan di kaki lima, besoknya kita mencret nggak keruan sampai harus menelan Imodium segala tuk mengusir bakteri makanan yang tertelan sejak kemarin ketika menyantap penganan kaki lima itu.

Sejak masa Orba dan berlanjut hingga masa Jokowi sekarang, kita sudah membenahinya, tapi tak pernah sampai memformalkannya. Kalaupun ada BLK atau Balai Latihan Kerja di kota-kota besar dan medium itu hanya sekadar pelepas dahaga lapangan kerja sebelum lahir Poltek zaman now. Tapi BLK itu pun tak mencukupi seiring pertumbuhan penduduk baik alami maupun lantaran urbanisasi yang kian lama kian pesat melesat ibarat anak panah yang dilepas Arjuna dan Robin Hood. Apalagi tak terpikirkan rumpun pekerjaan ini semakin bercabang-cabang seperti mekanik payung, tukang las keliling dst.

Kita belum bisa menyeimbangkan pertumbuhan penduduk dengan lapangan kerja dan pendidikan serta kesehatan masyarakat. Para birokrat nakal yang cukup banyak bertualang di pemerintahan lebih suka berleha-leha sejauh pelayanan publik tak berkonotasi duit, tapi akan serius sejauh punya proyek yang dapat direkayasa untuk keuntungan sendiri dan kelompok. Para birokrat nakal ini merasa nyaman menunggangi birokrasi untuk berbuat ow ow dan bukannya memikirkan geliat kaum informal di lapis bawah dan terbawah masyarakat. Tak heran yang namanya cross-check dalam arti pekerjaan lintas sektor tak pernah beres. Aparat kita selalu terbatas untuk itu, sekalipun setiap tahun selalu ada rekrutmen PNS.

Meski sekarang ujung tombak layanan publik seperti TPU (Tempat Pemakaman Umum) dan sebangsanya di UPT-kan, bahkan satuan-satuan kerja BPJS yang ditempatkan di setiap Puskesmas dan RS baik RS pusat maupun RS daerah, yang pastinya adalah semacam UPT juga, tapi hasilnya tetap minim, kecuali keluhan masyarakat yang kurang inilah itulah onolah dst.

Penjaja kopi informal dan penjaja es kelapa di kaki lima, Malang. Foto : Parlin Pakpahan.
Penjaja kopi informal dan penjaja es kelapa di kaki lima, Malang. Foto : Parlin Pakpahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun