Melestarikan Rumah Tua Dan Pohon Tua Dalam Kepariwisataan Kita
Traveling atau melakukan perjalanan ke obyek-obyek wisata tertentu di masa kini boleh dikata sudah merupakan kebutuhan yang sangat wajar bagi siapapun.Â
Kalau Maslow mengatakan ada kebutuhan primer, sekunder, tersier dan ditambahi lagi kekinian yi kuarter, maka kebutuhan untuk melepas penat atau rasa jenuh dan ingin pengalaman baru yang membawa kita berfantasi ria. Untuk mudahnya itu kita sebut saja sebagai kebutuhan sekunder manusia.
Tapi dalam kepariwisataan ada sebuah garis panjang yang dihubungkan oleh titik-titik kepariwisataan. Itu artinya jarak. Kalau berwisata jaraknya hanya sepelemparan batu, mungkin tak jadi masalah.Â
Tapi kalau titik dimana kita tinggal dihubungkan dengan titik kepariwisataan di seberang benua atau katakanlah di seberang pulau dari titik dimana kita tinggal. Ini tentu masalah, karena itu urusannya kocek.Â
Terjangkau atau tak terjangkau oleh kocek kitorang. Semakin jauh dan wah. Itu bukan lagi kebutuhan sekunder, melainkan kebutuhan tersier (mewah) dan kuarter (super mewah).Â
Kan tak ada lagi yang gratis di portibi atau dunia ini, kecuali sinar mentari, udara, hujan dan burung-burung yang beterbangan di angkasa kita.
Karenanya pemerintah dangan segala visi dan impian yang konon diijir dari rakyat secara bertahap mencoba menggebrak dengan upaya pemberdayaan ekonomi, ntah itu dimulai dari infrastruktur fisik dan mengajarkan masyarakat agar bisa menapaki hidup secara efisien.Â
Untuk mudahnya berdayakan dirimu dengan fasilitas yang dibangunkembangkan pemerintah dan ajari pelanjutmu agar berilmu dan berketrampilan untuk dan dalam rangka kemandiriannya ke depan.
Kita patut bersyukur bahwasanya kita sudah modern sekarang dengan contoh nyata dunia perkeretaapian kita sekarang selaku moda transportasi massal. Jabodetabek, khususnya Jakarta, boleh dibilang adalah contoh modernisasi terdepan negeri ini.Â
Kita berharap subway yang tadinya jauh dari impian kita akan segera menjadi kenyataan, begitu juga LRT yang meluncur di jalan layang, termasuk ke depannya bus-bus listrik yang bakal mengisi armada Transjakarta ke depan ini.
Demikian pula halnya kesadaran wisata kita yang semakin tinggi sekarang ini sebagaimana dicontohkan kota tua Batavia yang sudah rapi dan terpelihara dengan baik demi dan untuk kelestariannya berabad-abad ke depan.
Kesadaran wisata sejarah ini juga sudah menggembirakan di sejumlah daerah seperti Jawa timur. Legacy Belanda cukup banyak di daerah ini, ntah itu di Surabaya, Jember, Madiun, Blitar, Malang dst.
Di kota Malang misalnya yang pemkotnya sudah mengembangkan Kajoetangan Heritages di downtown Malang.Â
Kini Kajoetangan Heritages selaku wisata kota tergres yang mulai ramai itu telah menginspirasi warga bahwa legacy Belanda dalam lintasan sejarah kota Malang perlu memang dilestarikan.Â
Sampai-sampai terpikirkan bahwa pohon-pohon tua legacy Belanda pun, ntah itu pohon Trembesi, Kenari dan Beringin yang umurnya di atas 100 tahun, juga perlu dilestarikan sejauh para akhli dapat memikirkan bagaimana teknik pelestariannya.
Di perkotaan di mana pun itu, kita akan melihat bahwa di downtown atau pusat kota dengan jari-jari 1-3 Km pastilah banyak bangunan-bangunan tua legacy Belanda, kecuali legacy yang jauh sebelum itu.
Entah itu legacy Kanjuruhan di kota Malang yang sudah tertimbun oleh perjalanan waktu atau legacy Majapahit di Mojokerto yang sampai sekarang para arkeolog masih pusing menggali dan mereka-rekanya sesuai metoda potassium karbon dalam arkeologi ragawi apakah masih termasuk era Majapahit atau bukan.
Kalaulah legacy pra Belanda itu utuh tergali dan dirapikan seperti legacy Romawi di Italia sana, tentu obyek wisata sejarah tsb semakin bermagnitudo kuat ibarat kereta maglev zaman now.Â
Turis asing kategori tersier dan kuarter pasti akan berbondong-bondong datang untuk berwisata ke tempat bersejarah dimaksud.
Kalau seminggu di kota Malang setelah kemarin-kemarin traveling ke Jakarta dan sempat ke Kepulauan Seribu untuk mengunjungi Pulau Onrust dan Pulau Kelor yang punya jejak bagus yi Benteng Martello.
Sayapun delak-delok atau mencoba mengamati dan menelisik lebih jauh legacy Belanda di bilangan Diponegoro. Itu saya lakukan sehabis menikmati kuliner Cui Mie, kuliner khas Malang, semacam Mie Ayam Kering tanpa kuah yang nyuss banget.Â
Letaknya di pertengahan Jln Diponegoro tak jauh dari Kolese Cor Jesu yang terkenal di Jln Jakgung Suprapto yang juga adalah legacy Belanda.
Kalau Tugu Malang dimana Balaikota, Gedung DPRD dan Splendid Inn berada yang disebut-sebut sebagai titik zero di kota Malang, maka Jln Diponegoro yang saya delak-delok ini ada pada kisaran jari-jari Km 2. Ini tentu masih termasuk bouwplan 1 atau bagian dari pengembangan kota Malang yang pertamakali di zaman Belanda.
Bangunan legacy Belanda disini sepertinya sudah jelas penghuninya yi orang baru yang mampu merawat dan melestarikannya. Terbukti bangunan tua itu rapi terpelihara.Â
Dari sekian banyak legacy Belanda di Jln Diponegoro, hanya beberapa yang tak kuat lagi memeliharanya dan sepertinya para pemilik sudah memasang plang di depan rumahnya bahwa rumah tua itu akan dijual.
Dinamika zaman memang seperti itu. Tak ada yang abadi sejauh kepemilikan. Perkembangan ekonomi dimana warga connected di situ, akan menentukan apakah para pemilik rumah-rumah tua ini mampu beradaptasi dengan zaman. Tak heran kepemilikan rumah tua pun silih berganti.
Depok dan Sukabumi misalnya yang dalam perjalanan waktu banyak dari generasi penerus yang kelimpungan dalam perkembangan ekonomi dan ujung-ujungnya rumah tua warisan ortunya dijual kepada orang lain yang banyak diantaranya tak terlalu perduli apakah itu legacy tempo doeloe yang sangat berharga dalam arti kepariwisataan atau tidak.Â
Penghuni anyar yang berdoku tebal langsung merobohkannya dan membangun yang baru sesuai kehendaknya. Tak heran kita jadi kehilangan jejak bangunan tua yang ditilik dari sejarah kota sangatlah berharga, baik dari zamannya maupun gaya arsitekturnya.
Saya pikir bilangan Diponegoro yang dalam arsitektur kota termasuk dalam bouwplan pertama pengembangan kota Malang pada zaman Belanda patut dijadikan percontohan untuk kota Malang dan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya.
Bagi pemilik baru, yang perlu sekarang "fasad" (dari bahasa Perancis facade) atau eksterior bangunan ntah itu bagian muka atau belakang atau samping harus dikompromikan antara kepentingan ekonomis owner baru dengan kepentingan heritage dan sejarah arsitektur kota.Â
Pemilik baru bisa saja membangun kembali bangunan tua itu menjadi serba baru, tapi tentu dengan desain yang senada dengan fasad.
Untuk memastikan kompromi dimaksud bisa menjadi kenyataan, Pemkot Malang sudah saatnya mengeluarkan katakanlah instruksi Walikota - kalau Perda tentang cagar budaya sudah ada - yang menegaskan agar bangunan-bangunan tua itu diberi label dari kuningan atau timah atau apapun itu yang anti karat yang mencantumkan tahun pendirian bangunan tsb sesuai arsip sejarah kota. Dan jangan sampai lupa desainnya harus senada dengan fasad.
Bangunan peninggalan Belanda cukup banyak di Kota Malang. Dengan berpatokan pada titik zero di Tugu Malang, bangunan-bangunan tua dimaksud ada pada jari-jari hingga 5-6 Km.Â
Salah satu yang terdekat dengan titik zero yi Bella Vista yang terletak di Jalan Gajahmada. Rumah tua ini adalah bangunan percontohan rumah-rumah Belanda tempo doeloe di kota Malang.
Bella Vista dibangun Belanda pada 1920-1925. Bangunan bergaya arsitektur Belanda ini sudah ada sebelum Balai Kota Malang dan Tugu Kota Malang dibangun. Bella Vista juga pernah menjadi rumah singgah Bung Karno ketika meresmikan Tugu Kota Malang.
Bella Vista dibangun tepat menghadap Sungai Brantas. Rumah ini sengaja dibangun untuk rumah peristirahatan atau rumah villa yang ditinggali keluarga Belanda.Â
Bella Vista dipilih sebagai bouwplan 1 atau bangunan percontohan atau model untuk membangun kompleks Belanda di kota Malang. Adapun bouwplan 1 mencakup wilayah yang saat ini ada di Jln Diponegoro, Jln Kartini, Jln Hasanudin hingga Jln dr. Soetomo.
Kalau bangunan publik seperti kolese Cor Jesu atau Frateran di bilangan Jakgung Suprapto, atau Gereja Katholik Bunda Hati Kudus, atau GPIB dan Masjid Agung di bilangan Kajoetangan Heritages, atau Gereja Katedral di bilangan Ijen.Â
Itu tak jadi masalah, karena dengan sedikit kordinasi saja dengan Pemkot Malang, bangunan publik yang sudah tua itu aman-aman saja, tanpa perlu khawatir akan dirobohkan dan diganti dengan bangunan dengan gaya arsitektur yang sama sekali baru.
Lain halnya dengan bangunan-bangunan tua non-publik. Itu sangatlah rentan dalam perjalanan waktu sebagaimana telah disinggung di muka bahwa perkembangan ekonomi sangat mempengaruhi dinamika warga setempat, bahkan cenderung struggle for the fittest, siapa yang kuat itulah yang dapat bertahan dalam turbulensi zaman.Â
Di bagian inilah Pemerintah setempat perlu mewaspadainya. Dengan regulasi yang match dengan pendekatan eco wisata zaman now, saya kira obyek wisata sejarah legacy Belanda itu akan dapat terjaga dan terawat demi dan untuk kelestariannya berabad-abad ke depan.
Demikian juga halnya dengan pelestarian pohon-pohon tua yang sudah berusia lebih dari 100 tahun. Kota Malang sepertinya tak kalah dengan kota Bogor kalau soal pohon-pohon tua.Â
Bedanya Bogor memiliki Kebun Raya, Malang hanya memiliki pohon-pohon tua yang rapi berbaris di sepanjang Jln Jakgung Suprapto, di sepanjang Ijen Boulevard, di sepanjang Jln Veteran, di sepanjang Jln Soekarno-Hatta, di sepanjang Jln Diponegoro, di sepanjang Jln. Kartini, Hasanuddin dan dr Soetomo dan di lingkar Tugu Kota Malang. Berkat pohon-pohon tua itu, Malang menjadi teduh dan nyaman di siang hari.
Manusia sekali lagi adalah makhluk yang terdinamis di portibi atau dunia ini. Dia akan selalu merindukan masa lalu, ketika masa depan sudah melelahkan syaraf-syaraf kreatifnya. Dia suka hanyut dalam sejarah mengenang kebesaran orang-orang tempo doeloe dengan segala kisah sejarah di dalamnya.
Tak heran menuju Natal 2022 ini saya baru saja mendengarkan senandung Carpenters dalam I'll Be Home For Chrismast. Ada kerinduan masa lalu disitu.Â
Saya petik bait ketiga : "Christmas Eve will find me, Where the love light gleams, I'll be home for Christmas, If only in my dreams".Â
Ya, Malam Natal akan menjelang tak lama lagi, Dimana cahaya cinta akan bersinar, Aku akan pulang kampung demi dan untuk Natal, sekalipun hanya dalam mimpi.
Yang pasti kali ini saya dan doi pulang kampung beneran lo, bukan dalam mimpi. Ciaoo ..
Joyogrand, Malang, Fri', Dec' 09, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H