Depok dan Sukabumi misalnya yang dalam perjalanan waktu banyak dari generasi penerus yang kelimpungan dalam perkembangan ekonomi dan ujung-ujungnya rumah tua warisan ortunya dijual kepada orang lain yang banyak diantaranya tak terlalu perduli apakah itu legacy tempo doeloe yang sangat berharga dalam arti kepariwisataan atau tidak.Â
Penghuni anyar yang berdoku tebal langsung merobohkannya dan membangun yang baru sesuai kehendaknya. Tak heran kita jadi kehilangan jejak bangunan tua yang ditilik dari sejarah kota sangatlah berharga, baik dari zamannya maupun gaya arsitekturnya.
Saya pikir bilangan Diponegoro yang dalam arsitektur kota termasuk dalam bouwplan pertama pengembangan kota Malang pada zaman Belanda patut dijadikan percontohan untuk kota Malang dan kota-kota lain di Indonesia pada umumnya.
Bagi pemilik baru, yang perlu sekarang "fasad" (dari bahasa Perancis facade) atau eksterior bangunan ntah itu bagian muka atau belakang atau samping harus dikompromikan antara kepentingan ekonomis owner baru dengan kepentingan heritage dan sejarah arsitektur kota.Â
Pemilik baru bisa saja membangun kembali bangunan tua itu menjadi serba baru, tapi tentu dengan desain yang senada dengan fasad.
Untuk memastikan kompromi dimaksud bisa menjadi kenyataan, Pemkot Malang sudah saatnya mengeluarkan katakanlah instruksi Walikota - kalau Perda tentang cagar budaya sudah ada - yang menegaskan agar bangunan-bangunan tua itu diberi label dari kuningan atau timah atau apapun itu yang anti karat yang mencantumkan tahun pendirian bangunan tsb sesuai arsip sejarah kota. Dan jangan sampai lupa desainnya harus senada dengan fasad.
Bangunan peninggalan Belanda cukup banyak di Kota Malang. Dengan berpatokan pada titik zero di Tugu Malang, bangunan-bangunan tua dimaksud ada pada jari-jari hingga 5-6 Km.Â
Salah satu yang terdekat dengan titik zero yi Bella Vista yang terletak di Jalan Gajahmada. Rumah tua ini adalah bangunan percontohan rumah-rumah Belanda tempo doeloe di kota Malang.