Menilik-Menimbang Medsos Kita Kini
Memposting sesuatu apapun di medsos begitu mudahnya seakan membalik telapak tangan. Tanpa pikir panjang, apalagi ditimbang-timbang, semua tinggal dipungut di jalanan medsos ntah itu dari Youtube, dari aneka blogging dan dari medsos bermodal dan beriklan seperti aneka macam media berita, media selebriti dll.Â
Lalu hasil pungutan itu diforward semau gue sampai-sampai ada yang nggak sadar bahwa yang ditautkannya baru saja di media pribadinya ntah itu facebook atau twitter sesungguhnya adalah Orangutan atau Homang dan bukan Herek atau Kera atau Monyet.
Apalagi soal Bentuk dan Materi dalam filsafat. Pokoknya dilihat dan dirasa sama ntah apapun itu. Padahal kerangka berfikir filosofis tak bisa dicampurbaurkan begitu saja. Atau teori relativitas Einstein. Jangan-jangan sandal jepit swallow nanti akan dinyatakan sebagai masker anti covid. Itu hukum relativitas Einstein katanya yang dihoohin seorang pendeta gadungan yang baru belajar ngotbah.
Medsos telah secara drastis merestrukturisasi cara kita berkomunikasi dalam waktu yang sangat singkat. Kita setiap saat dapat menemukan tanda like atau suka pada postingan seseorang dan langsung meng-kliknya, dan berbagi informasi lebih cepat dari sebelumnya, dipandu algoritma yang kebanyakan dari kita belum memahaminya.
Facebook boleh dibilang pionir dunia permedsos-an, sampai sang pendiri Mark Zueckerberg pernah difilmkan karena penemuannya yang disebut facebook itu. Mark ketika itu masih di kampus. Ia kemudian sukses mengembangkan facebook untuk publik luas, sementara pendidikannya di PT tak pernah selesai. Meski demikian, Mark kini tercatat sebagai salah satu crazy rich dunia.
Dalam perkembangannya till now, jejaring facebook kini masuk ke ruang kita dengan segala macam iklan musik. Segala macam tontonan pun bergelontoran, yang adu banteng-lah, yang lagi ngerock-lah Queen, yang Rocky Gerung tengah mendungudungukan oranglah, yang Luna Maya katanya mau married-lah dst. Itu semua disebut FB Watch. Ada pesohor yang mentautkannya ke Youtube.
Tapi ngerinya selingan iklannya luarbiasa bejibunnya. Maklum FB Watch yang menggelar celoteh para patron, tampilan musik dan musisi legendaris seperti Queen dll pasti banyak ditonton orang. Nah mainlah dunia iklan disini dengan segala bagi hasilnya dengan facebook. Alhasil semakin kayalah Mark Zueckerberg, Elon Musk pemilik Twitter sekarang, demikian juga the owner mesin pencari Google dan Youtube.
Pesaing facebook adalah twitter. Tidak seperti facebook, twitter hanya menyediakan layanan bercuit paling tinggi 140 kata. Meski pengguna dibatasi cukup 140 kata dalam membuat sebuah status, twitter cukup banyak penggunanya. Tak heran iklan pun cukup banyak. Pengguna twitter banyak didominasi figur-figur publik yang kuat pengaruhnya seperti Trump, Biden, Elon Musk dll di AS dan Jokowi, Esbeye, Fadli Zon, Fahri Hamzah dll di Indonesia.
Bagaimana dengan status yang kita posting ntah itu di Facebook atau Twitter? Kalau kita bukan seorang patron dengan latar belakang yang wow wow, ya sepi tentu, except orang-orang terdekat kita. Semua pada lari ke tontonan dan lari ke patronase, ntah pun sang patron itu plus atau minus. Yang penting kita semua terdorong kekuatan mimetik kita untuk me-watching kiprah mereka ntah di facebook atau twitter.
Lain halnya dengan pegiat medsos yang telah melewati semacam halang rintang seperti Denny Siregar, atau pandai nyinyir politik anti kemapanan seperti Fadli Zon, Fahri Hamzah dll, pasti lumayan yang nge-like atau ngerespon dengan cuitan serta mentautkan link disitu.
Mereka para pesohor itu selalu berburu sesuatu yang lagi trending yang biasanya langsung dihashtagg pihak twitter seperti #Jokowiturun atau #Aniesjatuh atau #RockygerungKO #Ausiemencuripulaupasir dst. Nah, ini agak ramai, karena para pengekor akan membaca cuitan dan link-link yang ada di situ. Tak ayal akan semakin panjanglah adu waw waw dari para followers disitu.
Bagaimana medsos dapat mempengaruhi demokrasi, kesehatan mental dan hubungan di antara kita, kita belum melihat adanya perhatian serius dari para akhli.
Adu politik, adu kekayaan, adu ketenaran dan sebangsanya. Itu yang selalu trending di medsos kita kini. Kita seharusnya lebih intensif sekaligus ekstensif mempelajari dampak "big-tech" berskala besar terhadap masyarakat sebagai krisis disiplin, yi dimana para ilmuwan multi disiplin seharusnya bekerja dengan cepat untuk mengatasi masalah sosial yang mendesak, seperti bagaimana biologi konservasi mencoba melindungi spesies yang terancam punah atau penelitian ilmu iklim yang bertujuan menghentikan pemanasan global. Hal-hal seperti ini tak terlihat sama sekali di dunia medsos kita. Masih agak lumayan di UE.
Kurangnya pemahaman kita tentang efek perilaku kolektif dari teknologi baru adalah bahaya bagi demokrasi dan kemajuan sains. Misalnya perusahaan teknologi telah meraba-raba jalan mereka melalui pandemi Covid-19 sejak awal 2020 hingga sekarang.Â
Tak heran banyak dari kita yang tidak dapat membendung infodemik atau mis-informasi yang telah menghambat penerimaan masker dan vaksin secara luas, menghambat laju informasi tentang pemilu serentak 2024, IKN di Pasir Penajam Kalimantan timur, membuat rancu bantuan bencana alam baru-baru ini di Cianjur dst.
Jika kesalahpahaman ini dibiarkan dan tidak terkendali, akan timbul konsekuensi yang tidak diinginkan dari teknologi yang berkontribusi pada fenomena seperti pelanggaran pemilu, penyakit, ekstrimisme yang penuh kekerasan, kelaparan, rasisme dan perang.
Medsos serta berbagai teknologi internet yang lebih luas, termasuk pencarian secara algoritmik dan iklan berbasis klik, semuanya itu telah mengubah cara orang mendapatkan informasi dan membentuk opini tentang dunia. Dan mereka tampaknya melakukannya dengan cara yang membuat orang sangat rentan terhadap penyebaran mis-informasi dan dis-informasi. Contoh nyata sebuah kertas kerja -- makalah penelitian kesehatan yang dibuat asal-asalan -- dapat muncul tiba-tiba dan mensugesti "hydroxychloroquine" dapat mengobati Covid-19.Â
Tak lama setelah itu ada pemimpin dunia yang mempromosikannya, dan orang-orang pun berjuang untuk mendapatkannya, dan selanjutnya obat itu tidak tersedia bagi orang-orang yang membutuhkannya untuk pengobatan dalam kondisi lain. Ini adalah masalah serius di dunia medsos sekarang.
Kita dapat saja memiliki keping-keping informasi yang salah yang meledak dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan cara yang tidak pernah ada sebelumnya dalam ekosistem informasi kita.
Sekarang kita bisa saja membangun komunitas besar dengan orang-orang di dalamnya yang berpegang pada konstelasi keyakinan yang tidak didasarkan pada kenyataan seperi teori konspirasi. Ide anti Jokowi misalnya yang menyebar dengan cara baru.Â
Gagasan membangun kembali politik identitas pasca Ahok. Kita bisa saja membuat polarisasi dengan cara baru. Atau kita bisa menciptakan lingkungan informasi dimana mis-informasi dapat menyebar secara organik. Komunitas kita sekarang sangat rentan terhadap disinformasi yang ditargetkan. Kita bahkan belum tahu ruang lingkupnya.
Apa yang dapat kita simpulkan tentang keadaan masyarakat yang dapat memberi pengetahuan kepada kita tentang sistem yang kompleks yang kita hadapi sekarang.
Ini berpulang kepada kita untuk memahami perilaku kolektif umum masyarakat kita, termasuk sistem yang kompleks di dalamnya. Lihatlah masyarakat kita sekarang dengan perspektif itu. Sementara sistem yang kompleks adalah sistem yang memiliki batas tertentu untuk gangguan. Jika sistem sangat terganggu, itu akan berubah. Bahkan sistem seringkali kolaps secara serempak, tiba-tiba, tanpa peringatan. Kita lihat pasar keuangan misalnya, bisa tiba-tiba ambruk tanpa peringatan.
Dalam dunia medsos kita kini, sudah saatnya disosialisasikan tentang perlunya semacam kolaborasi transdisipliner. Dengan kata lain, perlu pendekatan multidisiplin untuk mengkaji krisis informasi sekarang. Banyak hal yang masih belum kita mengerti disini. Kita tidak punya teori tentang bagaimana semua perubahan ini mempengaruhi cara orang membentuk keyakinan dan pendapat mereka dan kemudian menggunakannya untuk mengambil keputusan. Itu semua sedang berubah dan sedang berlangsung.Â
Sementara kita lebih banyak dicekoki patronase dari budaya kita yang tak banyak berubah sejauh menyangkut mentalitas. Mentalitas yang dimaksud disini adalah cara seseorang atau sekelompok orang untuk merespons sesuatu.
Kita khawatir sistem informasi sekarang telah berkembang untuk mengoptimalkan sesuatu yang ortogonal (sesuatu yang dianggap benar dalam teori substitusi) dengan hal-hal yang sangat penting, seperti keperdulian terhadap kebenaran informasi atau efek informasi terhadap kesejahteraan manusia, terhadap demokrasi dan terhadap kesehatan pada ekosistem kita.
Bagaimana dengan WhatsApp? Keqnya medsos satu ini semakin fokus ke gathering antar keluarga, antar teman, antar rekan-rekan seprofesi, antar teman-teman jadul, antar teman-teman eks apalah gitu dst.
Kalau kita posting sesuatu yang dikira perlu diforward, maka anggota disitu akan memforwardnya ke arah lain dimana ybs adalah anggota WAG tsb.
So tak perlu khawatir medsos terbuka seperti facebook dan twitter yang beberapa tahun terakhir ini banyak bergeser ke jurang pertikaian antar kelompok dengan segala macam trick playing game dalam rangka membabat lawan, kini orang waras maupun gokil bisa beralih aman ke WAG persaudaraan dan pertemanan.
Tapi ini pun bisa ricuh kalau ada yang berdelusi, tampil melebihi katakanlah Bill Gates : Ni gue taipan, atau tampil bak Agnes Mo : Nih gue sudah go international dst. Atau malah lebih banyak memforward mis-informasi yang banyak terjadi sekarang. Ntah itu gunakanlah bawang putih untuk pengobatan Covid-19 yang ampuh, ntah itu Jokowi China atau PKI, ntah itu Anies Bapak Politik Identitas, ntah itu martabak pecenongan super Rp 250 ribu per loyang besar dst.
Maka lanjutkan WAG anda ntahpun itu hal-hal serius, tawa ria, tangisan, asal jangan super lebay.
Depok Bolanda, Tue', Nov' 29, 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H