Meski PDIP telah jauh terkonsolidasi di bawah Mega, Tapi PDIP masih belum berhasil sepenuhnya mengkonversi seluruh ajaran Bung Karno, mulai dari Indonesia Menggugat, sebuah pleidoi di Pengadilan Bandung di masa muda Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, 7 Pokok Indoktrinasi, Otobiografinya yang ditulis Cindy Adam dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat dan ribuan lembar pemikiran besar lainnya di bidang politik.
Tak heran Mega lebih memilih darah dagingnya sendiri yi Puan Maharani sebagai pewaris utama PDIP. Tak heran pula kader-kader utamanya kebanyakan arek jatim khususnya Blitar yang dalam hal ini adalah loyalis ajaran Bung Karno.
Ajaran Bung Karno yang selama ini banyak diplintir orang berbau PKI, karena salah satu pemikiran besar Bung Karno disitu adalah Nasakom atau Nasionalis, Agamis dan Komunis. Term komunis yang sejak kejatuhan Bung Karno  diplesetkan lawan-lawan politiknya sebagai ajaran Atheis dengan menghadirkan hantu PKI setiap akhir September dan awal Oktober setiap tahunnya. Itu adalah sebuah laknat bagi PDIP yang belum juga berhasil mendestigmatisasinya sampai sejauh ini.
Maka capres ke depan pada Pemilu 2024 maupun 2029, tidak bisa tidak tetaplah harus darah dagingnya dulu agar ke depan setelah konversi dimaksud menemukan momentumnya bisa dilegacykan kepada kader-kader terbaik PDIP, baik loyalitasnya terhadap ideologi dan terhadap partai tentunya.
Kalaupun Puan digadang-gadang sekarang ini sebagai Bacapres PDIP, bahkan sejak bencana Semeru beberapa waktu lalu di Jatim. Itu ibarat jurus silat menunggu rembulan purnama. Kalau purnama tak juga muncul, tiba waktunya nanti kader yang meraih nilai poling tertinggilah yang bakal dicapreskan. Semua tahu, siapapun yang meminang Ganjar, ybs takkan terpinang partai lain, sebab Ganjar adalah seorang loyalis sejati yang akan tegak lurus kepada Mega dan PDIP, sebagaimana Sandiaga Uno yang akan tegak lurus kepada Gerindra dan Prabowo.
Kecenderungan Dinasti Dan Oligarki
Perkembangan politik di negeri +62 sejauh ini sudah on the track. Memang terlihat seakan demokrasi yang kita jalankan sekarang adalah "pseudo demokrasi". Tapi Presiden terkini Indonesia Joko Widodo telah membuktikan demokrasi kita sekarang sepenuhnya terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kalaupun ada tangkap sana tangkap sini, copot sana copot sini. Itu tentu masalah administratif sesuai hirarki administratif pemerintahan di dalamnya. Penangkapan koruptor oleh KPK, penindakan Sambo dan penanggungjawab tragedi kanjuruhan di Malang, itu tentu disesuaikan dengan kaidah yang berlaku di KPK dan kepolisian; pembubaran FPI oleh Depdagri, itu tentu sejalan dengan UU Keormasan yang berlaku; sementara unjuk rasa demokratis berlangsung bebas dan ada dimana-mana sejauh menyangkut hajat hidup orang banyak. Jadi tak ada alasan, demokrasi kita sekarang adalah pseudo demokrasi atau demokrasi semu.
Thesis kesohor Francis Fukuyama yang banyak dijadikan rujukan bahwa sistem demokrasi adalah puncak pencapaian manusia dalam berpolitik. Itu tidak salah. Yang salah besar kemudian adalah pengabaian keseimbangan kekuasaan dalam sistem politik demokrasi dengan membungkam pers dan kebebasan asasi dalam berpendapat; pembiaran kecenderungan oligarkis, tatkala kaum the haves berkepentingan bisnis dan berkoneksi penuh suap dengan penguasa bahkan menyiapkan siapa penguasa berikut yang dapat melestarikan kepentingan bisnis gurita itu.
Sedangkan politik dinasti, terkait pewarisan sebuah institusi politik bahkan menyiapkan putera dan puteri mahkota untuk memasuki the road to power. Itu sah-sah saja sejauh figur yang ditampilkan berbobot, merakyat dan paham sepenuhnya pelegacy-an berikut pasca kepemimpinannya. Rasionalitas inilah yang perlu dicermati publik luas ketika mereka sudah semakin melek politik.
Saya pikir pencapresan Anies oleh Surya Paloh Nasdem sah-sah saja, termasuk pencapresan Wowok dan ke depan ini pencapresan Puan Maharani atau Ganjar Pranowo. Mari kita lihat serasional apa para dedengkot partai disini dalam struggle for power untuk dan demi RI-1 2024 yad.