Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pilihan Dilematis Kota Sukabumi: Merawat-Lestarikan Heritages atau Mengamini Modernisasi Tak Terkendali

5 Oktober 2022   20:13 Diperbarui: 12 Oktober 2022   14:43 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjid Agung Sukabumi legacy tempo doeloe di downtown Sukabumi. Foto : Parlin Pakpahan.

Irman menulis buku ini tidak secara linear historis, tapi berdasarkan kisah yang mempengaruhi sejarah, baik orang maupun peristiwa yang menjadi bahan pembicaraan. 

Juga Irman tak menyinggung tata kota dan perencanaan kota ke depan sejak kota Sukabumi formal dinakhodai GF Rambonnet pada 1920-an setelah kelahiran Sukabumi sebagai cikal bakal kota pada 1914. Rambonnetlah Walikota pertama Sukabumi.

Anak asli Cibadak ini hanya menorehkan penanya katakanlah sebatas untuk berimprovisasi sebuah musik gado-gado, sebentar terdengar seakan musik China, lalu tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong pentatonik dan angklung sunda, dan ujug-ujug ada suara melodi melengking-lengking seperti Gun N' Roses dan berakhir dengan lantunan pesinden Sunda yang tengah meratapi kepergian sang kekasih.

Lih keterangan foto. Screenshot dipetik dari PDF ANRI tentang Sukabumi.
Lih keterangan foto. Screenshot dipetik dari PDF ANRI tentang Sukabumi.

Irman memang seakan mengarahkan kita, ini lo Sukabumi. Tapi sayang kita tak kunjung memperoleh gambaran visioner tempo doeloe bagaimana para perancang kota Sukabumi melihat jauh ke depan.

Buku rintisan Irman ini anggap sajalah sebuah hiburan, karena telah menyisipkan fase mitis, ontologis dan fase fungsional dalam sebuah karya tulis.

Buku dengan tebal 300-an halaman yang dipublished penerbit indie ini bak klipingan koran. Kalau kita pembaca yang mafhum, maka jadilah penyidik. 

Ya, kitalah yang wajib menindaklanjuti semua kekurangan yang ada dalam buku ini sebagai penyidik yang seyogyanya mau lebih tekun mendalami literasi otentik Belanda tempo doeloe.

Menyeimbangkan Kembali Konservasi dan Modernisasi

Kalau kita telisik mulai dari setasiun KA Sukabumi yang sekarang sudah terlihat tampilan asli depannya setelah Pemkot Sukabumi mendepak kekumuhan Pasar Pelita dan mengubahnya jadi Pasar Pelita baru yang berpenampilan modern, lalu kita meluncur ke pendopo tempo doeloe melewati downtown Jln Achmad Yani. 

Dari pendopo kita lalu berbalik dan belok kiri, kita lihat di sebelah kiri ada Masjid Agung Sukabumi tempo doeloe dan tak jauh dari situ ada Gereja Sidang Kristus tempo doeloe dan ke utara sedikit lagi kita ketemu lapangan merdeka yang sudah dipermodern dan masuk Suryakencana, lalu belok ke kanan Jalan Martadinata melalui pemkot Sukabumi, dan di atasnya lagi memasuki kawasan Bunut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun