Para Negative Thinker, termasuk Abbas MUI selalu mengatasnamakan pengutukan terhadap Israel, karena Israel dilihat sebagai penjajah yang bertentangan dengan pembukaan UUD 1945 dan oleh karena itu Indonesia menolak untuk membuka hubungan diplomatik dengannya.
Saya pikir ada sejumlah masalah dengan argumen ini. Terlepas dari kenyataan baik PBB, Liga Arab, Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau organisasi multilateral lainnya tidak secara resmi menggambarkan Gaza dan Tepi Barat Israel sebagai koloni, hanya pembukaan UUD 1945 saja yang menyatakan hal itu, so tidak menghalangi Jakarta untuk melakukan hubungan diplomatik formal dengan negara lain yang dituduh melakukan penjajahan.Â
Masalah kedua dengan argumen ini adalah bahwa kecaman MUI misalnya atau argumen kedua pejabat Deplu sebagaimana disinggung di muka mengabaikan fakta bahwa Istibsyaroh dkk tidak hanya bertemu dengan otoritas Arab Palestina dan para pemimpin Muslim dalam perjalanannya, tetapi mereka juga berusaha memperagakan langsung kepada Israel tentang negaranya selama pertemuan dengan Presiden Israel Reuben Rivlin.
Masalah lain yang dihadapi Indonesia dengan mengutuk dan menstigma setiap kunjungan ke Israel "atas nama apa pun" justeru semakin memperjelas banyak peluang untuk membangun perdamaian yang hilang. Dan itu akan terus terjadi jika Indonesia dan Israel tidak berinteraksi satu sama lain.
Reaksi negatif dari siapapun itu terhadap kunjungan delegasi Indonesia ke Israel belum lama ini menimbulkan pertanyaan yang relevan tentang apakah - dalam retrospeksi - kurangnya hubungan diplomatik Indonesia-Israel telah benar-benar membantu Arab Palestina.Â
Kenyataan setelah beberapa dekade ini, meskipun Jakarta telah mendirikan kedutaan di tepi barat, rumah sakit, memberikan dukungan terhadap OKI dan meluncurkan sejumlah proyek atas nama bantuan kemanusiaan di Gaza, pendekatan Indonesia terhadap solusi dua negara ternyata tidak berhasil.
Solusi dua negara tidak dapat dinegosiasikan hanya dengan salah satu pihak. Sebaliknya, mungkin akan efektif jika Indonesia secara pragmatis membuka hubungan diplomatik dengan Israel.Â
Pemerintahan Donald Trump yang pro-Israel dan kini pemerintahan Biden yang tetap harus melanjutkan Abraham Accord legacy Trump, pastinya menginginkan Jakarta mengubah cara pandangnya, terlebih pasca keluarnya AS dari Afghanistan dan di tengah kecamuk perang Russia Vs Ukraina yang terjadi di mandala Eropa sekarang.
Kebijakan Myopia Indonesia terhadap Israel seperti yang dianut dan diyakini selama ini bukanlah kebijakan luar negeri yang radikal. Turki, Yordania dan Mesir-lah yang radikal.Â
Mereka telah cukup lama menjalin hubungan diplomatik dengan Israel yang memungkinkan ketiga negara tsb lebih berpengaruh dalam proses perdamaian Timur Tengah ketimbang negara-negara lain seperti Indonesia dan Pakistan. Mesir misalnya selalu efektif melakukan advokasi atas nama Arab Palestina. Juga, Mesir selalu berhasil memediasi konflik Gaza.
Dalam wadah internasional, tercatat 157 dari 192 negara anggota PBB menjalii hubungan bilateral normal dengan Israel, termasuk negara-negara mayoritas Muslim di Kazakhstan, Kirgistan, Maladewa, Tajikistan, Turkmenistan dan Uzbekistan.Â