Menurut laporan eksklusif Reuters, pihak bea cukai India mengungkapkan perusahaan-perusahaan di India dengan cepat mengganti dolar AS untuk menghindari sanksi dan membeli pasokan energi Rusia.Â
Pada bulan Juni saja, India mengimpor sekitar 44% dari 1,7 juta ton batubara Rusia melalui transaksi non-dolar, baik dalam yuan atau dolar Hong Kong. Pada bulan Juli, jumlah itu meningkat lima kali lipat ke rekor tertinggi 2,06 juta ton.
Sebagaimana diketahui, sejak awal China telah menjadi kekuatan utama penentang tekanan Barat terhadap Rusia, meskipun tidak langsung mendukung Putin, dengan menyebut sanksi terhadap Rusia sebagai "ilegal" dan "tidak bermoral".
China juga telah menjadi pendongkrak ekonomi yang penting bagi Rusia, baik secara simbolis maupun praktis. Menurut pihak Bea Cukai China, perdagangan bilateral dengan Rusia meningkat sebesar 29% YoY (tahun ke tahun) selama tujuh bulan pertama tahun ini.
Komoditas yang paling banyak diperdagangkan adalah minyak mentah Rusia.Â
Beijing mengimpor sekitar 55% lebih banyak minyak Rusia pada Mei dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ini justeru telah mendorong Rusia menggantikan Arab Saudi sebagai pemasok minyak terbesar ke China.Â
Dengan demikian, China dan India telah mengimbangi kekurangan pendapatan Rusia dengan impor energi sebesar US $ 24 miliar dari Rusia.Â
Tak heran, pendapatan Rusia lebih dari US $ 13 miliar dibandingkan dengan tahun 2021. AS sekarang harus berhitung lebih cermat : bagaimana tepatnya batasan harga minyak dapat bekerja dalam skenario ini?
Menurut sumber resmi, koalisi G7 sedang mempertimbangkan untuk menempatkan batas pada US $ 40-60 per barel minyak Rusia. Namun, mekanisme pelaksanaannya masih kabur.Â
Sampai sekarang, rencana ambisius untuk membatasi pendapatan minyak Rusia masih merupakan ambisi tanpa struktur konkret atau konsensus yang lebih luas. Di satu sisi, G7 sedang mempertimbangkan untuk membatasi pendapatan minyak Rusia.Â
Di sisi lain, UE melonggarkan pembatasan pembayaran untuk pasokan minyak dari Rusia melalui Gazprom Neft dan Rosneft. Banyak ahli mempertanyakan kelayakan kebijakan teoretis dan kontradiktif semacam itu.