Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kasus Brigadir J. yang Berputar-putar Bak Roller-Coaster

26 Juli 2022   14:25 Diperbarui: 26 Juli 2022   14:30 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kasus Brigadir J. Yang Berputar-putar Bak Roller Coaster

Tempo.co senin 25 Juli ybl merelease berita sejumlah advokat yang tergabung dalam Tim Advokat Penegakan Hukum dan Keadilan atau TAMPAK menemui Menkopolhukam Mahfud Md terkait kasus pembunuhan Brigadir Nopryansah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Mereka menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Mahfud.

Salah satunya agar Mahfud meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal M. Fadil Imran segera memerintahkan penyidiknya untuk menghentikan proses hukum kasus pelecehan, pengancaman, serta kekerasan terhadap Isteri Kadiv Propam Polri nonaktif Ferdy Sambo. Mereka meminta penyidik mengeluarkan SP3 atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan.

Polda Metro Jaya juga dinilai membingungkan publik. Masalahnya penyidikan penganiayaan, pengancaman dan pelecehan ini paradoks, mestinya fokus pada pembunuhan. Apa motif yang melatarinya, sementara Brigadir J. sudah tiada, so bagaimana diminta kesaksiannya, kecuali  mereka yang berada di nucleus persoalan, yi Ferdi Sambo dan isteri, termasuk Bharada E. yang dinyatakan sebagai petarung wild west yang berhasil mengkanvaskan Brigadir J tanpa seupil pun luka tembak di tubuhnya.

Komnas HAM dalam kesempatan itu menyinggung sederet fakta terbaru soal kasus ini. Salah satunya soal keganjilan, dimana penyidik Polda Metro Jaya masih terus melanjutkan penanganan dugaan kasus pelecehan, pengancaman, serta kekerasan terhadap Isteri Ferdy Sambo oleh Brigadir J.

Bahkan penyidik melakukan prarekonstruksi kasus tewasnya Brigadir J. di rumah Ferdy Sambo sebanyak dua kali. Ini yang paling membingungkan publik. Why? Prarekonstruksi ini jelas tidak sesuai dengan peristiwa hukum yang dialami korban, sebab tragedi yang dialami Brigadir J adalah dugaan perencanaan pembunuhan. Ironisnya prarekonstruksi ini tidak menghadirkan saksi Irjen Ferdy Sambo dan Bharada E.

Yang diseolahkan tak ada dalam release kepolisian adalah fakta yang ditemukan keluarga korban yaitu sejumlah luka sayatan dan luka lebam di jasad Brigadir J. Artinya, tragedi kematian Brigadir J. diduga  akibat penyiksaan  dengan cara brutal, kejam dan sadis. Koq bukti forensik itu tak ada dalam release tersebut. Maka wajar apabila ada permintaan dari pihak keluarga Brigadir J. agar dilakukan autopsi ulang di Djambi. Syukurlah, permintaan ini akhirnya dipenuhi pihak kepolisian.

Juga disoroti pernyataan Bareskrim Polri yang telah menaikkan status kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap  Brigadir J. dari penyelidikan menjadi penyidikan. Naiknya status kasus ini ke penyidikan dinilai merupakan kemajuan dalam penanganan perkara pidana.

Tapi itupun masih membingungkan lantaran sampai saat ini pihak kepolisian belum mengungkap ke publik apa sebenarnya motif dari dugaan pembunuhan terhadap Brigadir J.

Mahfud Md diharapkan bisa meminta Kapolri dan kepolisian agar segera menuntaskan kasus dugaan perencanaan pembunuhan Brigadir J, seraya mengingatkan dan menegur Kapolri agar pihak kepolisian tidak mengintervensi tugas dan kerja pendampingan yang dilakukan oleh kuasa hukum korban Brigadir J, termasuk pihak-pihak lainnya yang mendukung dan mendorong penuntasan peristiwa kematian Brigadir J. secara terbuka dan terang benderang.

Mahfud juga diharapkan bisa meminta Kapolri untuk menghentikan semua pernyataan dari polisi yang menarasikan bahwa meninggalnya Brigadir J diawali oleh adanya tindakan pelecehan. Menurut Komnas HAM, narasi tersebut harus dihentikan sampai selesainya pengusutan yang dilakukan oleh tim khusus yang dibentuk Kapolri dan penyidikan yang dilakukan penyidik Bareskrim Polri.

Harapan terakhir Komnas HAM, Mahfud Md bisa meminta Kapolri dan kepolisian agar memberi jaminan rasa aman bagi keluarga korban Brigadir J.

Kehadiran Komnas HAM kali ini sungguh menenangkan. Pernyataannya yang blak-blakan setidaknya telah mengungkapkan bagaimana rakyat yang sudah lama haus akan keadilan ini tak sudi lagi mendengar pernyataan asal-asalan apalagi datang dari Polri yang merupakan ujung tombak pertama penegakan hukum yang berkeadilan di negeri ini.

Banyak kasus hukum yang gede-gede sudah selesai. Tapi kasus yang seolah adil penyelesaiannya itu ternyata tidak adil di relung terdalam masyarakat. Kita ambil contoh kasus penistaan yang didakwakan kepada Muhammad Kace. Kace dijebloskan ke penjara 10 tahun hanya karena tafsir hukum yang gegabah yang menafikan keadilan sesuai dinamika zaman. Kace hanya menarasikan tentang Yesus dalam bahasa Arab. Apa itu salah. Sedangkan manusia Arab di timur tengah sana yang percaya Yesus berdoa dalam bahasa Arab. Mana yang benar. Masak keadilan di negeri yang sudah merdeka 76 tahun ini tak bisa membedakan keadilan dalam konteks Kace dalam keberagaman masyarakat kita.

Contoh lain lagi yang juga sangat menyakitkan adalah korupsi dan koruptor besar. Banyak terjadi seorang koruptor kakap yang telah menggaruk uang rakyat milyaran rupiah, hanya divonis 2-3 tahun penjara, sementara uang rakyat yang tergaruk olehnya boro-boro dikembalikan ke kas negara. Lihat yang tetap imajiner hingga detik ini, yi harta karun Soeharto yang tersimpan di Bahama dan Swiss yang belum juga jelas juntrungannya kapan dikembalikan ke kas negara. Dalam beberapa kasus seolah ada pengembalian, yi tanah, tapi tanah taipan hitam yang disita itu nilainya boleh dibilang hanya cukup untuk membeli beberapa unit rumah sedikit di atas sederhana di pinggiran Jakarta. Di bawah 10 milyar rupiahlah. O God.

Tak heran, kita seakan tidak bisa lagi memprediksi sampai kapan kasus ketidakadilan hukum ini, besar maupun kecil, akan berakhir. Maka sudah saatnya dikemukakan disini satu istilah untuk kehausan masyarakat akan keadilan itu sebagai "ketidakadilan struktural."

Ini sebetulnya bukan fenomena baru, tapi telah dikupas oleh para akhli  sejak awal 1980-an sebagai kemiskinan struktural yang tak mesti masalah ekonomi, tapi juga soal keadilan hukum secara struktural. Ingat kasus buruh Marsinah yang dibunuh secara sadis karena menyuarakan keadilan bagi kaum kurcaci di Jatim.

Kini dalam rangka menyongsong G20 di Bali pada Nopember 2022 yad, di Danau Toba malah sudah diselenggarakan temu wicara kaum perempuan tentang apa dan bagaimana pemikiran kalangan perempuan dunia, termasuk Indonesia, dalam menyuarakan kepentingannya di forum G20 itu nanti.

Di forum yang dipenuhi perempuan hebat ini lagi-lagi kita temukan ada sebuah kejanggalan dimana thema umumnya adalah soal perempuan dan keperempuanan dengan segala haknya, tapi mereka lupa bahwa di kaldera Toba sendiri ada yang dilupakan yi kemiskinan struktural karena adanya kebijakan yang menggerus hak-hak rakyat atas tanahnya sendiri seperti kasus TPL atau Toba Pulp Lestari yang telah banyak memakan tanah rakyat dengan menghancurkan tanaman haminjon atau kemenyan atau styrax sumatrana hanya karena pembuatan pulp atau bubur kertas, belum lagi pengusiran rakyat yang berladang ikan di Danau Toba tanpa alternatif mau dikemanakan mereka. 

Dan semua itu tak lepas dari gender di tanah Batak sendiri dimana kesetaraan gender itu sudah lama ada. Kita lihat mayoritas yang menjadi korban disini adalah kaum perempuan Toba. Perempuan Toba sudah lama kesohor sebagai pekerja keras untuk hari depan keluarganya dan hari depan bangsanya sendiri, sebagaimana yang disenandungkan Nahum Situmorang di masa lalu.

Di bagian Brigadir J, kita jadi tahu persis bahwa rakyat tak lagi sudi melihat adegan sinetron untuk menutupi kalangan atas ntah itu militer, sipil, apalagilah polisi yang semua orang tahu bahwa ia adalah ujung tombak penegakan hukum dan keadilan.

Bisa saja Brigadir J. dituding A, B dan C dst. Tapi adalah hal yang sangat lucu sekaligus memalukan apabila tudingan itu bersifat sepihak kalangan atas tanpa mengupayakan bagaimana agar ada keseimbangan.

Coba, pada detik pertama kejadian, Brigadir J. sudah dituding miring dan release-release selanjutnya semakin miring sehingga wajarlah apabila Komnas HAM segera maju untuk coba mengembalikan perkara itu ke proporsi yang sebenarnya. Hentikan pelecehan Brigadir J dan mari kita cari pembuktian secara seimbang, demikian Komnas HAM.

Presiden kita Jkw pasti sadar sepenuhnya aspirasi publik tentang keadilan struktural dimaksud. Posisi di strata atas tidak lagi bisa diartikan sebagai pemilik hukum sehingga bisa seenak udelnya memainkan bahkan me-roller-coaster-kan hukum.

Posisi di strata atas justeru haruslah jadi panutan, sehingga wibawa hukum bisa tegakberdiri karena kepastian hukum yang tak lagi tersekat-sekat seperti fenomena ketidakadilan struktural sekarang.

Depok Bolanda, Tue', July 26, 2022.

Jasad Brigadir J, AKP Rita Julana dan Ferdi Sambo. Foto : bandarlampungpost.com
Jasad Brigadir J, AKP Rita Julana dan Ferdi Sambo. Foto : bandarlampungpost.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun