Di awal pekerjaannya di VOC, Chastelein yang mulai bersinar di perusahaan, berimprovisasi dalam pemikiran baru yang tak  lazim dan pemikirannya nyambung dengan Gubernur Jenderal Johannes van Camphuijs yang pro politik etis ketimbang gubernur-gubernur sebelumnya yang cenderung hanya ingin mengeksploitasi lebih jauh bagaimana agar daerah koloni bisa mendatangkan keuntungan berlipatganda bagi perusahaan yang bergabung dalam VOC.
Di bagian inilah buku Kwisthout akan menghanyutkan kita betapa Chastelein adalah seorang pemimpi yang tak sudi selesai hanya sampai di mimpi saja. Tapi bagaimana ia akan mewujudkan mimpi itu dalam etos kristiani yang menghormati kerja keras sebagai sesuatu yang mulia dan di atas segalanya sangat menentang perbudakan.
Persahabatan mereka tak lama, Camphuijs yang dipandang tak tegas dan gagal memberantas korupsi di internal VOC, akhirnya digantikan oleh gubernur jenderal baru yang kembali ke irama jadul VOC yi bagaimana mengeksploitasi tanah koloni secara maksimal untuk melipatgandakan keuntungan VOC.
Cornelis Chastelein akhirnya matang dalam berpolitik etis, sekalipun Camphuijs sudah tiada. Menjelang kearifannya yang kesohor itu sebagai pembebas budak, Chastelein sudah kaya-raya. Di Batavia ia memiliki sebuah rumah di Kali Besar, disamping rumah besar Abraham Douglas yang adalah anggota Raad van Indie. Di luar Batavia ia memiliki gedung Weltevreden yang mewah, yang kemudian menjadi kediaman Gubernur Jenderal Albertus van der Parra. Ia juga membeli tanah di selatan Batavia, yakni tanah Seringsing (sekarang Serengseng, Lenteng Agung), dimana ia memiliki sebuah perkebunan.
Seringsing berada jauh di udik, sehingga tidak seorang pun percaya bahwa Chastelein berani tinggal disana. Lebih ke selatan, antara Batavia dan Buitenzorg (Bogor), ia mengakuisisi berbagai persil yang letaknya bersebelahan, yang keseluruhannya kemudian dinamakan Depok. Disana kemudian berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan olehnya dan menurut pandangannya sendiri, ia membangun suatu kantong masyarakat budak Kristen yang dibebaskannya.
Selama pemerintahan Camphuijs, Chastelein memanfaatkan keterbukaan Camphuijs dalam mengembangkan ide-ide inovatif di daerah koloni. Pada tahun 1686, sebagai saudagar muda yang baru berusia 29 tahun, Chastelein menulis "Pemikiran dan pertimbanganku yang jernih tentang perkara-perkara usaha dari Hindia Belanda." Ia memetik nasehat dari van Hoorn kepada Gubernur Jenderal Maetsuijker sebagai titik awal pemikirannya untuk masalah pertanian, khususnya beras.
Chastelein memiliki minat khusus pada bidang pertanian, tanaman dan metode pertanian. Tanahnya di Weltevreden dikelilingi banyak pabrik gula, dan ia mencoba membudidayakan tanaman kopi, salah satu yang pertama di Batavia. Tanaman kopi hasil semaian pertama Chastelein dibagikan kepada para pecinta kopi di Batavia maupun beberapa pemimpin bumiputera. Budidaya kopi di sekitar Batavia kemudian berkembang pesat, seperti yang terjadi pada tahun 1711, dimana seribu pon biji kopi pertama dapat dipanen. Perkembangan berikut sungguh luarbiasa, yi ekspansi besar-besaran budidaya kopi, terutama di daerah Priangan, Jawa barat. Dengan demikian, dasar-dasar "preangerstelsel" pun diletakkan, dimana penduduk dipaksa menanam kopi di Priangan.
Selain perkebunan kopi di Weltevreden, Chastelein memiliki tanah luas di Seringsing yang ditanami tebu. Di Depok,ia membudidayakan tanaman lada yang berasal dari stek-stek yang pernah diterimanya dari Camphuijs, juga menanam indigo, kakao, jeruk sitrun, nangka, sirsak, belimbing dan buah arak.
Setelah menggabungkan semua tanah yang dimilikinya di Batavia, Seringsing dan Depok, mulailah Chastelein mengelola tanah dan membudidayakannya. Tanah kering yang terletak di ketinggian baiklah itu untuk merumputnya kerbau-kerbau dan pengembangan perkebunan, sedangkan lahan basah dikembangkannya menjadi daerah persawahan.
Chastelein menyewakan sebagian tanahnya kepada orang-orang China agar ditanami tebu. Chastelein memiliki pandangan yang negatif tentang orang China. Hal ini terbukti dari wasiat dan pamflet yang ditinggalkannya. Suatu ketentuan pun dibuat, dimana orang China dilarang berurusan dengan para penanam padi asal Bali yang bekerja aktif di lahan persawahannya. Juga Chastelein tak pernah menyukai orang Jawa yang selalu dianggapnya licik dan akan membodoh-bodohi komunitasnya di Batavia dan Depok.