Jan-Karel Kwisthout Dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok : Sebuah Review
Buku ini memang sudah cukup lama dipublished. Cetakan pertama pada 2015 dengan penerbit BPK Gunung Mulia. Dicetak edisi lux dengan kertas kunstdruuk, penerjemahan oleh Hallie Jonathans dan Corry Longdong. Tebal 398 halaman plus 11 halaman ekstra mulai dari daftar isi hingga kata pengantar. Total 409 halaman. Itulah buku Jejak-Jejak Masa Lalu Depok buah karya Jan-Karel Kwisthout.
Saya sudah lama tahu buku bagus ini. Apalagi kaki ini pernah berpijak di bumi Depok saat kedua anak perempuan saya studi di UI hingga selesai beberapa waktu lalu, juga pada 2017 pernah berkenalan dengan pengurus YLCC (Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein) yang ketika itu Chairman-nya dipegang oleh Eduard G.Jonathans, Sekretaris Benyamin A. Laurens dan Ketua Bidang Sejarah dan Kebudayaan Jozua Dolph Jonathans.
Dengan pepatah "Dimana Kaki Berpijak Disitu Langit Dijunjung", saya sejak awal sudah mengidap rasa khawatir tentang Depok. Coba buka dan googling kata Depok. Kita akan terkesima betapa seenak udelnya orang berpendapat tentang asal-usul dan nama Depok itu sendiri.
Semuanya ngaco dan tambah ngaco memasuki 2021-2022 ini. Ada yang bilang Depok dari kata deprok atau ngedeprok yang artinya duduk santai ala melayu, dan ha ha saking indahnya pemandangan alam di Depok, Prabu Siliwangi konon ngedeprok begitu sampai di Beji, sok teu emangnya di Beji ada apa; ada yang bilang Depok dari kata padepokan jawara-jawara pencak Banten dan Preanger dst. Haddoohh ..
Walikota Depok Idris bahkan tak pernah menyebut orang asli Depok (keturunan dari 12 marga eks budak Belanda yang dibebaskan Chastelein pada awal abad 18), ia hanya menyebut suku Betawi 37%, suku Jawa 35,9%, suku Sunda 19% dan sisanya 8,1% berbagai suku yang merantau dan terdampar di Depok.
Tiadanya penyebutan nama orang asli Depok oleh Idris hanya menggambarkan betapa dominasi PKS sejak Nurmachmudi sudah kebangetan. Boleh dibilang secara hidden PKS bertekad mengeliminasi orang asli Depok ini dari bumi Depok. Kalaupun Idris menyebutkan orang Betawi adalah majority di Depok, tapi Betawi juga bukan nama suku melainkan sebutan yang menjadi slank dan akhirnya disepakati dari nama Batavialah nama Betawi itu berasal.
Sudahlah Depok tak usah lagi diplesetin macem-macem. Depok pastinya adalah singkatan dari "de Eerste Protestante Organisatie van Christenen" ("the First Protestant Organization of Christians"), dimana tempo doeloe Cornelis Chastelein menjadi tuan tanahnya dengan otoritas yang mandiri dari otoritas pemerintah Hindia Belanda yang kemudian menjadikan daerah Depok sebagai "het gemeente bestuur van het particuliere land" (the municipal administration of the private land), sebagai pengakuan atas otoritas Cornelis Chastelein di daerah Depok (lih https://bityl.co/DINJ).
Maka menimbang kembali buku Kwisthout yang telah begitu repot diterjemahkan oleh Hallie Jonathans dan Corry Longdong dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia ini, saya akhirnya mafhum bahwa Depok at now sudah berkembang sangat-sangat jauh dari bayangan pendirinya semula yi Cornelis Chastelein.
Kwisthout memang bukan sejarawan, tapi ia adalah seorang keturunan Depok Bolanda yang sangat terpelajar yang telah lama bermukim di Belanda. Yang patut disyukuri bahasa Belandanya yang benar-benar Belanda totok itu jatuh ke tangan penerjemah ulung seperti Jonathans dan Corry, maka segala idiom atau jalan bahasa yang beratpun dapat mereka atasi dengan baik.