Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jurus Monsak Menabur Umpan Menuju Pemilu 2024 Baru Saja Diperagakan Nasdem

18 Juni 2022   19:01 Diperbarui: 18 Juni 2022   19:02 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jurus Monsak Menabur Umpan Menuju Pemilu 2024 Baru Saja Diperagakan Nasdem

Dengan jurus monsak Menabur Umpan Menuju Pemilu 2024 Nasdem baru saja mengumumkan tiga nama bakal capres yang akan diusung pada Pemilu Serentak 2024. Nama-nama ini dipilih berdasarkan rekomendasi pengurus wilayah Partai Nasdem.

Pengumuman tiga nama itu, disampaikan langsung Ketum Nasdem Surya Paloh dalam penutupan Rakernas Nasdem di JCC, Senayan, Jakarta, Jumat 17 Juni ybl.

Dari belasan nama yang masuk seperti Airlangga, Erick Thohir, Khofifah, Ridwan Kamil  dll, dalam ayakan terakhir di tangan Paloh, muncul hanya tiga nama saja yi Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Nama Wowok atau Prabowo Subianto. Nehi.

Menurut Paloh ketiga nama itu memiliki kualitas yang sama. Dia pun berkomitmen, memegang teguh tiga nama yang dipilih berdasarkan rekomendasi DPW Nasdem.

"Ketiga nama itu adalah pilihan saudara-saudara, pilihan rakernas, saya harus mengingatkan tidak ada yang kurang satu sama lain, nilainya sama di mata saya," demikian Paloh.

Dengan tendangan monsak Nasdem itu, jalan raya politik di tahun politik 2022 pun semakin benderang, apalagi sebelumnya Presiden Jkw telah beres melakukan reshuffle kabinet melalui tendangan politik pertama dengan jurus monsak Sorba di Banua merobek langit menatap banua ginjang.

Mengapa harus Anies, Ganjar, Andika Perkasa, tanpa Wowok. Ini tentu tak lepas dari perjalanan politik sebelumnya. Wowok sudah dianggap kedaluarsa, tidak lagi mencerminkan kebutuhan partai dan kebutuhan zaman. Sudahlah. Sedangkan Anies? Ini tentu aliansi JK dan Paloh. Disamping mengingat jasa Anies ketika Nasdem masih ormas, juga memperhitungkan elektabilitasnya yang kejar-kejaran dengan Ganjar dan Wowok. Kalau Anies bisa diunggulkan dengan memacu elektabilitasnya via dana besar dari kedua juragan besar ini, tentu imbalannya ke depan dari regime baru pasti uenak tenan. Sedangkan Andika. Itu hanya sekadar menunjukkan kepada publik bahwa TNI penting sebagai salah satu alat vital pemersatu bangsa.

Masalahnya sekarang adalah koalisi yang harus dibangun sejalan dengan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Nasdem yang hanya 59 kursi (9,05%) dan tak punya calon internal yang electable, tentu memutlakkan pilihannya pada Anies. Dan sisa 11% lagi parpol mana itu. Kalau Golkar dan Gerindra yang peringkat kedua dan ketiga setelah PDIP, jelas tak mudah termakan umpan, karena masing-masing bisa menggandeng cukup 1 parpol saja ntah itu peringkat kelima, bahkan menggandeng peringkat 9 terakhir yang diduduki PAN saja, keduanya sudah dapat mengajukan capres. Apalagi Nasdem tak menjagokan Wowok dan Airlangga.

Ok Nasdem, silakan cari jurus tercanggihlah dari khasanah parmonsakan Datu Nabolon Japikkir Sigodanghata, apalagi tambahan somba-somba atau angpao dari JK kan lumayan guede tuh, belum lagi dari oligarki bisnis keduanya. Simbolisasi Paloh sebagai juragan besar dalam Nasdem Tower sudah cukup sebagai tool of analysis untuk menunjukkan itu. He He ..

Beberapa saat sebelumnya KIB sudah terbentuk. Koalisi ini terdiri dari Golkar, PAN dan PPP. Dengan masuknya Zulhas dalam Kabinet Jkw, koalisi ini perlu menjajaki parpol pengganti. Sedangkan Koalisi Semut Merah adalah koalisi PKB dan PKS. Kekurangan sedikit lagi persentase threshold, palingan gandeng PPP atau Demokrat, meski cak Imin banyak disindir kaum nahdliyin sebagai tak tahu malu berkoalisi disitu.

PDIP dan Gerindra sama sekali tak bergeming sejauh ini. Keduanya hanya butuh diisi satu parpol lagi. Koq repot. Golkar meski peringkat kedua, tapi tak mau ketinggalan kereta dan lebih tak mau lagi kalau disebut sebagai parpol legacy Soeharto. Maka tak heran langsung marmonsak KIBria. Nah lo.

Menilik hasil survei Charta Politika dari release CNN Indonesia belum lama ini, terlihat tingkat keterpilihan Anies sebagai capres di wilayah Sumatera tertinggi dibandingkan sembilan nama lainnya.

Hasil itu diperoleh berdasarkan survei Charta Politika dengan metode wawancara tatap muka terhadap 1.200 responden di seluruh wilayah tingkat kelurahan atau desa pada 25 Mei hingga 2 Juni. Survei ini menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error 2,83 persen.

Dari hasil itu, 28,8 persen masyarakat di wilayah Sumatera menyatakan memilih Anies. Di bawah Anies, mengikuti Wowok dan Ganjar Pranowo. Anies 28,8 persen, Ganjar 21,6 persen, Wowok 25,6 persen, demikian hasil survei Charta Politika yang direlease 13 Juni ybl..

Tingkat keterpilihan Anies juga menjadi yang tertinggi di wilayah DKI Jakarta dan Banten, yaitu 38 persen.

Sementara, Wowok unggul di Jabar (33,3 persen), Kalimantan (40 persen) dan Sulawesi (37,6 persen).

Sedangkan, Ganjar unggul di Jateng dan DIY (69,5 persen), Jatim (35,3 persen) dan Bali, NTB dan NTT (48,3 persen).

Terkait elektabilitas, Ganjar berada di peringkat pertama (36,5 persen), diikuti Wowok (26,7 persen) dan Anies (24,9 persen).

Sebelumnya, hasil survei Poltracking Indonesia menyatakan pasangan Ganjar dan Menteri BUMN Erick Thohir memiliki elektabilitas sebagai capres-cawapres paling tinggi dibanding pasangan lainnya.

Berdasarkan hasil survei, Ganjar-Erick memiliki elektabilitas 27,6 persen. Mengungguli Wowok-Puan Maharani dengan elektabilitas sebesar 20,7 persen dan Anies-AHY 17,9 persen, demikian Hanta Yudha dari Poltracking Indonesia belum lama ini kepada CNN Indonesia.

Pada April lalu, hasil survei Indikator Politik Indonesia menyatakan Ganjar berada di puncak elektabilitas dengan raihan suara 26,7 persen.

Elektabilitas politikus PDIP itu terus menunjukkan tren kenaikan dalam tiga survei terakhir. Pada Desember 2021, elektabilitas Ganjar 20,8 persen, lalu naik menjadi 22,4 persen pada Pebruari 2022.

Lembaga survei Charta Politika Indonesia merilis hasil survei nasional terkait dengan Capres 2024 dengan elektabilitas tertinggi pasca Rakernas Projo di Jateng. Dalam survei tsb, elektabilitas Ganjar semakin melesat naik dan unggul jauh atas nama lainnya.

Dalam simulasi 3 nama, Ganjar meraih elektabilitas tertinggi (36,5 persen). Kemudian diikuti Wowok (26,7 persen) dan Anies (24,9 persen). Sedangkan yang tidak menjawab dan tidak tahu sebesar 11,9 persen.

Dalam hasil survei Charta sebelumnya, bulan April 2022, Ganjar mendapatkan elektabilitas sebesar 29,2 persen. Sedangkan sekarang mencapai 36,5 persen. Survei ini menunjukkan elektabilitas Ganjar semakin melesat. Sejumlah lembaga survei juga merilis elektabilitas Ganjar sebagai yang tertinggi dan elektabilitasnya terus naik.

Kalau dilihat boleh jadi Ganjarlah the rising star itu. Apalagi pasca Rakernas Projo di Jateng belum lama ini. Jkw yang hadir pada kesempatan itulah yang meroketkannya. Kehadiran itu ditafsirkan publik sebagai dukungan Jkw terhadap Ganjar.

Tapi itu ternyata berkorelasi linier dengan naiknya elektabilitas Ganjar, baik pada simulasi 10 nama dan 3 nama pada momen yang sama, dimana Ganjar menjadi yang teratas dalam simulasi 10 nama. Elektabilitas Ganjar mendapatkan 31,2 persen, kemudian Wowok sebesar 23,4 persen, Anies sebesar 20 persen, Ridwan Kamil sebesar 4,6 persen, Sandiaga Uno sebesar 3,6 persen.

Pada beberapa tokoh yang diuji sebagai bakal capres, Ganjar menjadi nama yang paling tinggi mendapatkan elektabilitas dari publik. Diikuti oleh Wowok yang terlihat cukup ketat bersaing dengan Anies dalam simulasi pengujian yang dilakukan.

Lalu, AHY (3,3 persen), Khofifah Indar Parawansa (2,9 persen), Erick Thohir (2 persen), Puan Maharani (1,8 persen) dan Airlangga Hartarto (1,2 persen). Sedangkan yang tidak menjawab atau tidak tahu sebesar 6,1 persen.

Survei Charta Politika ini dilakukan pada 23 Mei-2 Juni 202 dengan metode wawancara tatap muka. Penentuan sampel pada survei dilakukan dengan metode multistage random sampling terhadap 1.200 responden dengan margin of error sebesar 2,83% dan quality control 20 persen dari total sampel. Survei dilakukan usai Rakernas V Projo di kawasan Candi Borobudur, Magelang, Jateng, dimana Presiden Jkw dan Ganjar diketahui hadir dalam acara yang digelar Sabtu 21 Mei ybl itu.

Sampai disini kita hanya dapat mempelototi angka elektabilitas capres dan jurus-jurus monsak yang sesungguhnya gampang saja dibaca Tapi sedikitpun tak ada news tentang bagaimana konkretnya para capres dimaksud membawa negeri ini dengan segala permasalahannya menuju Indonesia yang dicita-citakan. Juga bagaimana para dinasti menggelontorkan jagonya kalau memang tidak electable. Maklumlah lembaga polling sudah cukup banyak di negeri ini. Direkturnya rata-rata tamatan terbaik dari almamaternya masing-masing, ntah itu di luar negeri atau di dalam negeri. Mbok ya kalau elektabilitasnya tetap saja recehan, mengapa nggak digeser langsung ke calon yang electable. Haduhh Puan dan AHY.

Kembali ke literasi, katakanlah Daniel Bell dalam The End of Ideology. Ia sudah lama mengingatkan bahwa ideologi politik dalam demokrasi ntah itu social Marxism, neo konservatif atau neo liberal. Itu sudah lelah. Boro-boro mau dibawa ke ideologi kuno atas nama agama yang secara historis adalah monster dan penghasut. Biarlah itu tinggal dalam diri kita saja dan tidak lagi di ruang publik. Ideologi apapun yang kita pertikaikan selama ini sudah berakhir, karena sudah menyeret kita jauh pada kelelahan utopis. Kita perlu menata ulang dan memastikan integrasi sosial dengan perintah birokrasi, teknologi yang dapat menjauhkan kita dari konflik politik, barang-barang konsumsi bagus yang memuaskan yang dapat memicu kita untuk melakukan transformasi personal.

Bell melihat Amerika secara sosiologis pada dekade 1950 dan 1960, dimana para pekerja terlihat seperti sosok Ixion dalam mitologi Junani. Mereka seakan makhluk kebal yang dapat dirantai begitu saja pada roda yang berputar tiada henti. Sementara hasilnya adalah kelelahan psikologis tiada tara dengan hasil minim. Konflik ideologis untuk kesengsaraan anak manusia seperti ini sudah cukup. Kita harus mengakhirinya kata Bell dalam menutup The End Of Ideology.

Jkw sudah memulainya memang, tapi itu baru langkah kecil dan itupun masih banyak diganggu. Apalagi kalau para pengganggu lebih memilih filosofi politik Francis Fukuyama dalam The End of History And The Last Man, dimana dikatakan bahwa dengan berakhirnya cold war dan bubarnya Soviet, sistem demokrasi liberal sekarang adalah akhir dari perjalanan sejarah manusia. Sistem demokrasi yang kita anut sekarang adalah hasil dari evolusi ideologis umat manusia dan universalisasi demokrasi liberal barat sebagai bentuk akhir dari pemerintahan manusia. Tapi sayangnya kita kurang memaknai apa yang dimaksud Fukuyama. Kita berdemokrasi memang tapi kebablasan melulu, sampai cebokpun harus diseolahkan demokrasi. Keblinger kata Bung Karno.

So what? Ya, berpolitik itu memang seharusnya dimaknai sebagai kerja keras intelektual. Kalau zaman ideologi sudah berakhir, mengapa kita harus sibuk dengan segala macam neo-lib-lah, dengan komunis-lah, dengan mundur jauh ke belakang dengan memfatwakan segala hal-lah; mengapa kita tidak sibuk dengan reformasi parlemen dan birokrasi habis-habisan, mengapa kita tidak membuat presidential  threshold 30% saja, agar jumlah capres kita tak seperti antrian BLT, malah para poliyo kita berhalusinasi Fukuyama lagi dengan menawarkan alternatif threshold 0%, agar semua warga dapat mencapreskan diri. Haduhh ..

Pengganti Jkw dalam Pemilu 2024 saya pikir tak cukup hanya Ganjar yang hanya bisa berhalusinasi Fukuyama atau Wowok yang selalu menyanyikan Old Soldier Never Die. Bosen. Dan Anies yang hanya bisa berpantun memelintir kata tanpa perlu harus ada praxis.

Apa boleh buat jurus monsak masih perlu memang untuk menyerahkan tongkat estafet dari Jkw ke tangan yang tepat yang betul-betul Intelektual berat. Siapa itu? Tanya Jkw dan jangan tanya Mega apalagi Wowok atau Anies. Ok.

Joyogrand, Malang, Sat', June 18, 2022.

Marmonsak ala Melayu. Foto : viva.co.id
Marmonsak ala Melayu. Foto : viva.co.id

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun