Lebaran adalah nama lain dari hari raya umat Islam, baik idulfitri maupun iduladha yang dirayakan setiap tahun atau setiap bulan syawal setelah sebulan umat Islam melaksanakan puasa di bulan ramadan.
Lebaran dalam bahasa Jawa artinya "sudahan" atau "setelahnya". Istilah ini sudah biasa digunakan dalam Islam ketika umat Islam telah menyelesaikan kewajiban berpuasa. Untuk mudahnya, lebaran dalam Islam yaitu sesudah/setelah melakukan kewajiban berpuasa dalam bulan ramadan. Umat Islam di Indonesia lebih familiar dengan istilah Lebaran dalam merayakan "Hari Kemenangan".
Simbol kemenangan ini baru semalam 1 Mei 2022 ybl kembali berkumandang melalui takbir dan suara beduk bertalu-talu. Saya kebetulan sudah kl 4 bulan ini di kota Malang dalam rangka menemani si bungsu Adrian Aurelius Pakpahan anak lelaki semata wayang saya.Â
Bagi saya, kota Malang adalah  kampung halaman keempat setelah Pangaribuan, Toba, Sumatera Utara; Sukabumi tanah Pasundan Jawa Barat dan Dili, Timtim (sekarang Timor Leste). Suara kemenangan yang berkumandang di seputaran Joyogrand, Malang, rumah tinggal saya sejak akhir 1998, terasa merdu bagi saya, meski saya seorang Kristen. Maklum Indonesianis. Allah Mahabesar!
Sebelum lebih jauh, mari kita resapi arti dan makna lebaran dalam puisi Ajip Rosidi Sasterawan Besar Angkatan 66Â yang adalah putera Majalengka Jawa Barat.
Hari ini hari hati percaya akan arti hidup dan mati, yang cuma sempat
Direnungkan setahun sekali
Sungguh besar maknanya jalan panjang menuju liang lahat
Â
Hari ini hari kesadaran akan tradisi
Menyempatkan umat sejenak bersama-sama
Menghirup udara lega dalam kepungan derita sehari-hari
yang bikin orang jauh-menjauhi
Â
Hari ini hariku pertama 'kan menjalani hidup antara manusia
Sedangkan diriku sendiri makin sepi dan terasing
Lantaran mengerti kelengangan elang di langit tinggi
Puisi religius yang indah dari putera Sunda ini pada baris pertama bait kedua menandaskan lebaran adalah murni tradisi Islam. Betapa derita sehari-hari yang kita alami dalam proses alienasi dalam kehidupan modern ini dapat kita lihat secara benderang dalam pemaknaan lebaran.Â
Kita perlu memutihkannya saat itu, karena kita adalah anak manusia yang tak pernah luput dari kesalahan. Dan di tangan Ajip pemahaman eksistensial seorang anak manusia sungguh menggetarkan sebagaimana dua baris terakhir dari bait ketiga puisi lebaran yang ditulisnya pada 1970.
Lebaran dapat dipastikan adalah sebuah tradisi Islam yang sangat kuat. Lain halnya dengan mudik atau pulang kampung. Itu adalah sebuah istilah bagi pekerja migran kembali ke kampung halaman atau desa mereka selama atau sebelum hari libur besar, terutama lebaran. Mudik adalah akronim dari "Mulih Dilik" atau pulang dulu. Istilah tersebut dari kosa kata Jawa.
Mudik jelas bukan tradisi Islam. Yang menjadi sorotan utama kita, perjalanan mudik di sebagian besar pusat kota di Indonesia di zaman modern sekarang, adalah  pada kegelisahan dan aglomerasi atau penumpukan para pemudik di perkotaan terbesar di negeri ini yi Jabodetabek, saat jutaan warga Jakarta keluar kota dengan berbagai sarana transportasi, membanjiri setasiun KA dan bandara, juga menyumpal jalan raya tol trans jawa dan jalan pantai utara Jawa.
Â
Motivasi utama dari para pemudik ini adalah untuk mengunjungi keluarga, terutama ortu. Mereka berusaha dengan segala cara untuk pulang kampung beberapa saat sebelum dan sesudah lebaran untuk menghadiri kesempatan langka yi pertemuan keluarga besar, kunjungan kerabat yang jarang terlihat yang tersebar di kota lain, propinsi lain, bahkan di luar negeri.
Kebiasaan mudik diperkirakan mulai berkembang pada 1970-an ketika regime orba memusatkan pembangunan di pulau Jawa, khususnya Jakarta. Jakarta boleh dibilang adalah sentral Indonesia yang serba ada ketika itu. Jakarta bisa juga disebut Paris van Indonesia. Karenanya ibukota negara ini telah mengundang banyak migran dari seluruh nusantara untuk mengadu nasib.Â
Banyak yang sukses dan banyak pula yang gagal. Ingat sineas Wim Umboh dalam The Big Village yang menggambarkan Jakarta sebagai kampung besar tempat orang "mandi dalam kolam  susu" sekaligus "mandi dalam lumpur". Tapi ini tak menyurutkan langkah pendatang baru. Mereka berdatangan gelombang demi gelombang tiada henti, bahkan hingga sekarang.
Apakah betul 1970-an itu starting point kebiasaan mudik. Ternyata tidak. Naskah jawa kuno mengungkapkan di era Majapahit para bangsawan sering mudik dari ibukota Trowulan ke rumah leluhur mereka untuk menghormati dan menenangkan roh leluhur.Â
Dalam tradisi Bali, orang Hindu Bali mudik sebelum hari raya galungan. Itu adalah pertanda waktu arwah leluhur mengunjungi keturunan mereka di dunia. Orang Madura diketahui melakukan tradisi mudik menjelang Idul Adha. Umat Kristen terutama Orang Toba beralaskan spirit leluhur masih banyak yang melakukan mudik beberapa saat jelang Natal dan Tahun Baru.
Kalau dilihat sikon dan latarbelakang mereka mudik. Itu semua beralaskan spirit leluhur. Di kalangan Majapahit tempo doeloe dalam strata terbatas yi kaum bangsawan dan rohaniawan. Begitu juga Bali terbatas di kalangan rohaniawan. Jadi tidak massif.Â
Lain halnya pada zaman modern sekarang, dimana Indonesia meski sejauh ini masih tetap dalam pusaran perubahan yang turbulentif, ditambah ada krisis pandemi Covid-19, menyusul krisis Ukraina dan krisis CPO dan minyak goreng di dalam negeri, tapi fenomena mudik ini justeru semakin menggetarkan. Dua tahun tak pulang kampung gegara pandemi, tahun 2022 ini para pemudik seakan balas dendam. Maka menumpuklah antrian yang melelahkan dan menjengkelkan di semua akses ntah itu tol, pelabuhan, bandara dst.
Menurut sejarawan Medan Dr. Ichwan Azhari mudik itu tidak ada dalam sejarah Islam di Sumatera. Lebaran betul tradisi Islam yang berkembang di Indonesia sejak akhir abad 19 dan awal abad 20. Yang khas Indonesia adalah mudik. Di negara lain seperti Timur Tengah, kegiatan seperti itu tidak ditemukan, demikian Dr. Azhari dalam risalahsumatera.com.
Dalam kajiannya di rumah sejarah medan, Ichwan telah membongkar sekian banyak arsip suratkabar tempo doeloe. Pewarta Deli edisi 1917 dan Soeara Atjeh edisi 1930 misalnya. Pewarta Deli seminggu sebelum dan sesudah lebaran hanya memberitakan sikon seputar Tapanoeli, Medan, Bukit Tinggi, Labuhan Bilik, Bindjai, berita kriminal seperti pencurian, berita ekonomi di Sumatera Timur, berita internasional seperti Belanda, Jepang, Eropa, China, berbagai iklan produk, cerpen serta beberapa ucapan dan puisi hari lebaran.Â
Lebaran di media itu  hanya diisi dengan ucapan sederhana selamat lebaran, puisi  lebaran dan beberapa iklan produk yang berkaitan dengan hari lebaran. Samasekali tidak ada berita mudik, meski Deli pada masa itu merupakan kota yang banyak dihuni oleh migran dan perantauan.
Pada suratkabar Soeara Atjeh edisi Maret 1930 ada berita dan tulisan yang mengisi suasana menjelang dan sesudah hari lebaran. Beberapa tulisan bernuansa Islam nampak terbaca seperti "Intelectueel Islam Haroes Insjaf", "Pers Kolonial dan Journalistennja", "Agama Islam Dalam Pimpinan Allah", berita pendidikan, iklan seputaran puasa dan hari lebaran, serta ucapan dan puisi hari lebaran. Juga disini tidak ditemukan berita berkaitan dengan mudik, meskipun suratkabar ini sangat kental dengan nuansa Islam.
Maka jelas mudik tidak ada kaitannya dengan perayaan lebaran. Mudik juga belum tentu berkaitan dengan banyaknya kaum migran atau perantau. Deli dan Sumatera Timur merupakan tempat bersesak kaum migran dari Jawa dan perantau dari Minang dan Mandailing sejak akhir abad 19. Tapi tidak ada kegelisahan harus mudik atau semacamnya yang a-historis, meski kenderaan ketika itu sudah banyak ntah itu bus, KA, kapal laut, sepeda dan sado.
Mudik dapat dipastikan adalah fenomena sosial modern yang boleh jadi berkaitan dengan ketidaknyamanan dunia rantau, kota atau industrialisasi yang membuat hidup manusia modern itu hampa, sehingga merasa perlu pulang kampung.
Sebagaimana telah disinggung di muka, mudik juga penanda pembangunan yang terkonsentrasi di kota besar, yang dalam hal ini telah banyak ditelaah para Sosiolog dan Antropolog. Mereka membahas dehumanisasi kehidupan kota dalam teori kebudayaan.
Momen yang dipilih dalam mudik adalah lebaran. Kita patut curiga, Â jangan-jangan substansinya bukan untuk merayakan lebaran, tapi kampung-kampung sasaran mudik itu menjadi tempat pulangnya sosok kesepian yang gelisah diperantauan. Dulu tidak ada kegelisahan seperti itu. Dan lebih jauh lagi ke belakang itu kan strata bangsawan yang mudik di zaman Majapahit karena alasan spirit leluhur, begitu pula orang Batak dan Bali untuk spirit yang sama. Singkatnya tak ada kegelisahan disitu.
Jiwa-jiwa yang pulang kampung itu tak semuanya hampa tentu. Tapi simbol-simbol baru yang mereka bawa ke kampung sebagian besarnya justeru merunyamkan mentalitas anak kampung yang planga-plongo melihat penampilan mereka yang serba ngejreng, nggak mobilnya, nggak busananya, nggak bagi-bagi duitnya dst. Nah kalau ini drama pelampiasan dari kejamnya dampak dunia modern terhadap mereka.Â
Inilah yang kita soal. Apakah itu nyata atau hanya sekadar jaim tanpa memikirkan hari depan yang lebih baik ketimbang memberondong kampung halaman mereka dengan katakanlah "pleonoxia" atau keserakahan radikal dalam kehidupan modern yang belum kunjung mereka tuntaskan.
Inga inga Kang Ajip soal "kesepian" dan "keterasingan" dan cobalah tuk memahami "kelengangan elang di langit tinggi".
Bagaimanapun Selamat Lebaran 2022. Horas!
Joyogrand, Malang, Mon', May 02, 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H