Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran Tradisi Islam, tapi Tidak untuk Mudik

2 Mei 2022   16:12 Diperbarui: 2 Mei 2022   17:06 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut sejarawan Medan Dr. Ichwan Azhari mudik itu tidak ada dalam sejarah Islam di Sumatera. Lebaran betul tradisi Islam yang berkembang di Indonesia sejak akhir abad 19 dan awal abad 20. Yang khas Indonesia adalah mudik. Di negara lain seperti Timur Tengah, kegiatan seperti itu tidak ditemukan, demikian Dr. Azhari dalam risalahsumatera.com.

Puisi redaksi suratkabar Deli tempo doeloe tentang perayaan lebaran di kota Medan. Foto: risalahsumatera.com
Puisi redaksi suratkabar Deli tempo doeloe tentang perayaan lebaran di kota Medan. Foto: risalahsumatera.com

Dalam kajiannya di rumah sejarah medan, Ichwan telah membongkar sekian banyak arsip suratkabar tempo doeloe. Pewarta Deli edisi 1917 dan Soeara Atjeh edisi 1930 misalnya. Pewarta Deli seminggu sebelum dan sesudah lebaran hanya memberitakan sikon seputar Tapanoeli, Medan, Bukit Tinggi, Labuhan Bilik, Bindjai, berita kriminal seperti pencurian, berita ekonomi di Sumatera Timur, berita internasional seperti Belanda, Jepang, Eropa, China, berbagai iklan produk, cerpen serta beberapa ucapan dan puisi hari lebaran. 

Lebaran di media itu  hanya diisi dengan ucapan sederhana selamat lebaran, puisi  lebaran dan beberapa iklan produk yang berkaitan dengan hari lebaran. Samasekali tidak ada berita mudik, meski Deli pada masa itu merupakan kota yang banyak dihuni oleh migran dan perantauan.

Pada suratkabar Soeara Atjeh edisi Maret 1930 ada berita dan tulisan yang mengisi suasana menjelang dan sesudah hari lebaran. Beberapa tulisan bernuansa Islam nampak terbaca seperti "Intelectueel Islam Haroes Insjaf", "Pers Kolonial dan Journalistennja", "Agama Islam Dalam Pimpinan Allah", berita pendidikan, iklan seputaran puasa dan hari lebaran, serta ucapan dan puisi hari lebaran. Juga disini tidak ditemukan berita berkaitan dengan mudik, meskipun suratkabar ini sangat kental dengan nuansa Islam.

Maka jelas mudik tidak ada kaitannya dengan perayaan lebaran. Mudik juga belum tentu berkaitan dengan banyaknya kaum migran atau perantau. Deli dan Sumatera Timur merupakan tempat bersesak kaum migran dari Jawa dan perantau dari Minang dan Mandailing sejak akhir abad 19. Tapi tidak ada kegelisahan harus mudik atau semacamnya yang a-historis, meski kenderaan ketika itu sudah banyak ntah itu bus, KA, kapal laut, sepeda dan sado.

Mudik dapat dipastikan adalah fenomena sosial modern yang boleh jadi berkaitan dengan ketidaknyamanan dunia rantau, kota atau industrialisasi yang membuat hidup manusia modern itu hampa, sehingga merasa perlu pulang kampung.

Sebagaimana telah disinggung di muka, mudik juga penanda pembangunan yang terkonsentrasi di kota besar, yang dalam hal ini telah banyak ditelaah para Sosiolog dan Antropolog. Mereka membahas dehumanisasi kehidupan kota dalam teori kebudayaan.

Momen yang dipilih dalam mudik adalah lebaran. Kita patut curiga,  jangan-jangan substansinya bukan untuk merayakan lebaran, tapi kampung-kampung sasaran mudik itu menjadi tempat pulangnya sosok kesepian yang gelisah diperantauan. Dulu tidak ada kegelisahan seperti itu. Dan lebih jauh lagi ke belakang itu kan strata bangsawan yang mudik di zaman Majapahit karena alasan spirit leluhur, begitu pula orang Batak dan Bali untuk spirit yang sama. Singkatnya tak ada kegelisahan disitu.

Jiwa-jiwa yang pulang kampung itu tak semuanya hampa tentu. Tapi simbol-simbol baru yang mereka bawa ke kampung sebagian besarnya justeru merunyamkan mentalitas anak kampung yang planga-plongo melihat penampilan mereka yang serba ngejreng, nggak mobilnya, nggak busananya, nggak bagi-bagi duitnya dst. Nah kalau ini drama pelampiasan dari kejamnya dampak dunia modern terhadap mereka. 

Inilah yang kita soal. Apakah itu nyata atau hanya sekadar jaim tanpa memikirkan hari depan yang lebih baik ketimbang memberondong kampung halaman mereka dengan katakanlah "pleonoxia" atau keserakahan radikal dalam kehidupan modern yang belum kunjung mereka tuntaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun