Tak heran pengorganisasiannya pun semakin rumit disamping tentu banyak cuan yang bisa diraup disitu, katakanlah dari PKPA dan dari setoran-setoran alumni Peradi yang sukses di lapangan. Dari starting point organisasi demokratis, kemudian Peradi menjadi organisasi oligarkis. Sains mengatakan demokrasi one man one vote, pada akhirnya tidaklah cukup.Â
Sekalipun demokrasi itulah titik kulminasi perkembangan peradaban manusia sebagaimana dikatakan Francis Fukuyama, fakta tetap menunjuk pada oligarki yang sarat dengan kepentingan penguasa dan para pengusaha.
Belum lagi bagian yang dominan dalam proses demokrasi di komunitas hukum negeri ini adalah anak-anak Toba seperti Hotman, Otto, Luhut dll. Mereka ini membawa perilaku konflik yang tak mudah berkonsensus sebagaimana tatanan demokrasi dari tempat asal mereka. Akulah sang raja. Semuanya berkecenderungan kuat seperti itu, maka tak heran oligarki saja pun tak lagi cukup. Pecahlah dia dan menghablur menjadi A, E, I, O, U.
Lalu bagaimana persoalan Peradi ini bisa diselesaikan? Akan banyak temuan dan tafsir hukum disini. Legal standing Luhut sudah ok sekarang, karena itulah yang terdaftar di Kemenkumham. Tapi untuk menutup Peradi Otto dan Fauzie. Itu juga tak mudah.Â
Tafsir yang sudah dipertajam adalah sahnya rapat pleno bagi pimpinan untuk memutuskan menunda munas karena sikon, lalu menyelenggarakan munas berikutnya tanpa mengajakserta mereka yang telah menyempal dari Peradi, Tafsir hukum untuk kepastian hukum dan rasa keadilan, Indonesia memang jagonya. Jadi teringat Hakim Agung Bismar Siregar.Â
Ketika bertugas di sumatera utara, hakim Bismar diberitakan punya temuan hukum yi "bonda" (bahasa Toba) atau benda atau materi untuk kemaluan perempuan maupun lelaki. Dalam sebuah kasus ada pasangan di Medan kepergok berasyikmasyuk dan dituding salah satunya memperkosa.Â
Faktanya ternyata bukanlah perkosaan, melainkan suka sama suka karena yang diperjualbelikan disitu adalah bonda. Maka gugurlah tudingan sengit dari ortu yang tak terima lahir-bathin calon mantunya.
UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat dalam pasal 28 ayat 1, bentuk organisai advokat di Indonesia seharusnya single bar yi Peradi yang dibentuk tak lama setelah UU itu diberlakukan. Yang bergabung di Peradi ketika itu ada kl 8 organisasi advokat.Â
Tapi dalam perjalanan waktu bermunculan oraganisasi-organisasi baru, terlebih setelah kegagalan munas pertama di Makassar, dimana Peradi pecah menjadi tiga dengan super egonya masing-masing. Bahkan, mengutip hukumonline.com, organisasi advokat kini telah mencapai angka 40-an.
DPN misalnya, dimana Hotman Paris bergabung sekarang, itu adalah salah satu organisasi advokat terbaru di Indonesia dengan pengurus yang muda-muda dan energik. Maka sebagai wadah tunggal dalam model single bar Peradi sesungguhnya sudah tidak relevan lagi.
Yang perlu sekarang adalah membiarkan organisasi advokat di negeri ini berkembang dengan model multi bar. Tapi legalitas tentu harus diberikan pemerintah kepada organisasi advokat yang benar-benar professional.Â