Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Scapegoat di Dunia Kita Now

9 April 2022   18:19 Diperbarui: 9 April 2022   19:03 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang terbaik dari pengorbanan diri dalam krisis Ukraina adalah ketika ketika sejumlah relawan kemanusiaan memberikan hidup mereka untuk menyelamatkan anak manusia yang terperangkap dalam perang Ukraina. Bermodalkan bendera putih mereka bergerak di antara desingan peluru, dentuman bom dan gelegar roket untuk menyelamatkan anak-anak manusia yang terperangkap disitu. Tapi tak urung inipun dimanipulasi tanpa malu oleh pihak yang harus memainkan playing victim yi pemerintah Ukraina. 

Sadar bahwa mereka hanya tinggal tunggu waktu untuk dikalahkan secara militer, tapi Zelenskyy dkk tak mau dikalahkan secara politis, karena masih menaruh harapan pada selingkuhannya yi Nato dan barat yang jauh sebelumnya telah menawarkan angin surga kepada mereka. Tak heran Zelenskyy mengangkat kasus Boucha tak jauh dari Kyiv dimana Russia dituduh telah melakukan kejahatan kemanusiaan dengan meninggalkan kl 300 korban jiwa yang bergeletakan di jalanan yang katanya dieksekusi ketika Russia mundur dari sana. Russia kemudian mengambil video penyangkalan dan ternyata mayat-mayat bergelimpangan itu terlihat bangkit lagi. Mirip playing victim Hamas di Gaza.

Ya, di samping yang terbaik, kita menemukan yang terburuk dari anak manusia, dorongan untuk mengorbankan orang lain. Gagasan ini tampaknya menjadi ciri spesies unggul itu. Tidak ada makhluk diluar primata ini yang melakukan hal seperti itu. Butuh kedatangan "Homo Sapiens" atau primata cerdas di planet bumi ini untuk menghasilkan gagasan bahwa kita dapat mengambil kembali kendali atas apa yang tampaknya jatuh dari langit, katakanlah cuaca, melalui pengorbanan sesuatu yang berharga, tetapi lebih lemah dari kita, katakanlah seekor lembu, atau seorang perawan, atau seorang puteri.

Kompromi akan selalu menguntungkan kita : kita menukar penderitaan makhluk lain untuk keuntungan kita sendiri - makanan, obat, cuaca yang tepat, belas kasihan para Dewa.

Sekarang, kita, Homo Deus (Manusia), mungkin telah bernurani lain untuk percaya bahwa praktik kuno itu adalah milik masa lalu. Kita mungkin mencari yang bersalah, tapi tidak lagi membakar kambing hitam itu di altar korban.

Batas psikologis

Sebenarnya, setiap wabah baru, setiap  krisis kemanusiaan seperti perang Ukraina sekarang, mengingatkan kita hal sebaliknya. Retorika menyalahkan yang tak terelakkan adalah korban dari sebuah pengorbanan.

Delapan ratus tahun lalu, filsuf Sephardic Maimonides berpendapat dalam kata bijak terbesarnya bahwa keputusan Tuhan untuk mengizinkan pengorbanan adalah konsesi untuk batasan psikologis umat manusia : rasa ketidakberdayaan, takhayul, kepicikan, kebodohan, iri hati, ketakutan ... semua pengaruh buruk yang mempengaruhi kita itu yang tidak bisa kita kelola dan itulah yang membuat kita mencari korban yang bisa diatur.

Bagi filsuf besar itu, berjuang untuk mengatasi keterbatasan ini berarti menyingkirkan pola pikir pengorbanan.

Banyak komentator Kristen, Yahudi dan Muslim melihat kisah Abraham dan Ishak sebagai sentilan yang menentang pengorbanan manusia. Jangan mengorbankan puteramu!

Keseluruhan karya Homerus dalam Odyssey dapat dibaca sebagai kisah balas dendam atas bagaimana orang Yunani pada era "pseudo civilized" (peradaban tak berbasic sains) mengorbankan korban yang tak terhitung jumlahnya untuk tujuan mereka, dimulai dengan puteri Raja Agamemnon, Iphigenia, yang dibawa ke tumpukan kayu untuk dibakar pada awal Iliad sehingga pasukan yang berlayar ke Troya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun