Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Masalah Kebersamaan Kita yang Tak Kunjung Beres

24 Maret 2022   16:01 Diperbarui: 24 Maret 2022   16:03 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendeta Syaifuddin Ibrahim. Foto : kristiani.news

Kita kembali ke pendeta yang satu ini. Semula Syaifuddin yang asal Bima Sumbawa ini adalah seorang penganut Islam yang belajar agama di Fakultas Ushuluddin jurusan perbandingan agama di Universitas Muhammadiyah, Solo dan selepas itu sempat mengajar di salah satu Ponpes di Depok dan Kuningan. Kemudian ybs beralih ke agama Kristen pada 2006 dan dalam perjalanan waktu malah jadi seorang pendeta Kristen. 

Ia pertamakali berhadapan dengan hukum negeri ini pada 2017 ketika dituduh menghina Nabi Muhammad. Ia pun divonis 4 tahun penjara pada Mei 2018. Dan Maret 2022 ini adalah yang kedua kalinya dia dituding menghina Nabi Muhammad dan Islam. Kalau posisinya di tanah air, boleh jadi pendeta yang sesungguhnya kalem ini bakal diciduk bareskrim untuk dimintai keterangan sebagaimana biasanya. 

Menurutnya ia memang sedang di AS dan salah satu misinya ialah ke divisi hukum internasional di PBB untuk melaporkan soal tidak fairnya pengadilan di negeri ini dalam memutus banyak kasus dalam interaksi antar agama. 

Kasus yang dibawanya adalah kasus MKC yang divonis 10 tahun penjara hanya karena menerjemahkan salah satu ucapan Nabi Muhammad sesuai aslinya, bahkan MKC sempat divermak secara keji oleh seorang perwira polisi bernama Napoleon Bonaparte yang telah melepaskan independensinya selaku penegak hukum. 

Dalam tempo dekat ini keputusan pengadilan akan ditetapkan terhadap MKC. Kita akan melihat apakah pengadilan terkait interaksi beragama di Indonesia itu Adil atau Biadab, cetus Syaifuddin lagi.

Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Menkopolhukam Mahfud MD. Foto : bicaraberita.com
Pendeta Syaifuddin Ibrahim dan Menkopolhukam Mahfud MD. Foto : bicaraberita.com

Seorang dirikah Syaifuddin yang katakanlah sang penantang soal kebersamaan bernegara berbangsa dan bermasyarakat ini? Bisakah kita mencapnya semena-mena sebagai orang gila? Atau menyamakannya dengan para teroris yang selama ini ditangkap Densus 88? Dan masih banyak pertanyaan lain yang tentu akan panjang sekali tak ada habisnya. 

Tapi satu yang terpenting dalam penampilan videonya yang terkini itu bahwa Syaifuddin terlihat tenang dengan narasi yang sangat logis, tapi ada beberapa intonasi yang prinsipil seperti koreksinya terhadap kegegabahan Menkopolhukam Mahfud yang langsung meresponnya sebagai segera diusut karena menista agama untuk merevisi ajaran pokok dan membuat gaduh; juga ada tekanan untuk melihat kembali peradilan mulai dari kasus Meliana di Tg Balai Sumut; kasus Yahya Waloni si penista Yesus dan Kristen yang hanya dihukum 4 bulan penjara, kasus Rizieq, kasus Abdul Somad, kasus Nandar, kasus Kaimana, kasus Irene Handoko dan banyak lagi lainnya.

Mungkin ada sosok lain seperti Paul Zhang. Tapi Zhang yang kini adalah warga Jerman jauh berbeda dengan  Syaifuddin. Zhang kelihatan membawa soal interaksi beragama dalam kebersamaan Indonesia ini sebagai persoalan pribadi. Ia mengajak duel udara melalui zoom-zoom-an. Lalu mendungu-dungukan orang yang tak sependapat dengannya tak ubahnya Rocky Gerung dan Fadli Zon di zona perpolitikan buzzers. Kalaupun ada YouTuber lainnya seperti Bambang Rooseno dan Ezra Soru. Keduanya hanyalah apologet yang berusaha menjelaskan keimanannya tanpa harus duel udara dengan lawan bicara. Sependapat monggo, tak sependapat ya ora opo-opo. Titik!

Lalu dari pihak lain. Ya tak terhitung. Dan benar tak lama setelah regime Soeharto hengkang dari sistem. Semuanya berubah. Arak-arakan agama tak pernah berhenti bahkan hingga saat ini. Belum lagi bom-bom bunuh diri yang meledak dimana-mana nggak di gereja nggak di tempat umum, tempat wisata dst.

Media Online pun berkembang seiring dengan dengan kebebasan yang menggila itu. Dakwah-dakwah meluncur seenak beronya tanpa melihat lagi rambu-rambu kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Dan ini sangat menonjol pada sosok Abdul Somad Batubara, Rizieq, Felix Siauw dan sebangsanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun