Kalau dikecilkan dengan harga tetap, konsumen nggak bakalan mau membelinya. Inilah dilemanya yang membuat 3 hari terjadi demo dimana-mana, kecuali Malang yang terkenal sebagai kota penghasil Tahu Tempe terbaik di Jatim dan Indonesia, termasuk keripik tempe khas Malang yang terkenal karena aroma daun jeruknya itu. Tapi kemarin ketika beli rokok di Toko Maya di kompleks Joyogrand, aku lihat ada potongan kecil tempe yang dibandrol Rp 2.500. Dan kelihatannya meski mengecil tapi tak ada yang protes tuh. He He ..
Tahu Tempe Langka, Minyak Goreng pun Langka hingga sekarang. Agak sulit membayangkan di negara penghasil sawit terbesar di dunia, minyak goreng bisa bernasib seperti ini. Yang jelas manusia Indonesia tak ada yang suka rebus-rebusan. Mereka suka yang digoreng-goreng, sekalipun sudah banyak hasil sains yang mengatakan terlalu banyak gorengan di tubuh kita, maka tak ada lagi jaminan bagi kita untuk hidup sehat.Â
Tapi apa bedanya dengan rokok ntah rokok putih atau kretek. Manusia Indonesia juga suka rokok-rokok-an. Persetan dengan segala iklan kesehatan termasuk di rokok Dji Sam Soe yang baru dibelinya. Lihat tuh Professor Soemitro ayahandanya Prabowo kan seorang perokok berat sampai di ujung hidupnya. 80 tahun lebih tuh usianya. He He ..
Saya hanya berpikir begini bagaimana kalau Bulog tidak lagi sekadar BUMN seperti sekarang ini. Tapi untuk kebutuhan pokok khusus seperti Tahu Tempe dan Minyak Goreng, mengapa tidak kalau Bulog diberi katakanlah Inpres khusus untuk menyangga komoditas sangat penting buat manusia Indonesia itu. Lihatlah beberapa hari Tahu Tempe Langka dan maraknya aksi demo hingga hari ini belum juga membuahkan hasil.
Kapitalisme adalah sebuah keserakahan radikal, mengutip Ivan Illich. Sepertinya tak ada yang tak berambisi untuk punya lahan sawit mulai dari 3 Ha sampai tak terbatas. Mengapa? Mereka berharap itu semua dapat menopang kesejahteraan mereka hari demi hari hingga di penghujung hidupnya.
Pemerintah benar telah mendiversifikasi hasil sawit untuk aneka macam produk mulai dari Bio Diesel hingga sabun dan alat-alat kosmetik. Kemana arus sawit dibutuhkan, maka kesitulah penjualan dilakukan para pemain sawit. Yang penting sawitku laku. Banting harga pun jadi. Sekali lagi yang penting sawitku laku. Persetan dengan urusan pembuat minyak goreng.
Juga karena keserakahan radikal ini pulalah kedelai bisa langka. Bayangkan kl 90% diimpor. Begitu ada gejolak dunia harga pun meroket dengan segala kambing hitam diangkat sebagai pesakitan mulai dari perbabian china, hingga anjloknya produksi kedelai di Brazil.
Lalu bagaimana di dalam negeri? Repot. Lahan kedelai terbatas sekali. Apalagi ongkos produksi per Kg melampaui harga jual. Tapi apabila harga jual Rp 12.000 sekarang ini diterapkan, petani kedelai akan bersukacita. Masalahnya kita belum punya bibit unggul seperti di AS dan Brazil yang bisa menghasilkan 4 ton per Ha. Di dalam negeri hasil per Ha hanya 2 ton.Â
Berdasarkan data BPS, luas panen kedelai sejak 1998 hingga 2015 menurun hampir setengahnya semula 1 juta hektar, menjadi 614.095 hektar. Meski demikian apabila harga Rp 12.000 per Kg ditetapkan, maka dengan ongkos produksi per Kg Rp 6000-7000, para petani akan termotivasi. Tapi masalahnya apakah masyarakat siap dengan kenaikan drastis bahan baku Tahu Tempe itu. Bagaimana tempe mini di Malang yang dibandrol Rp 2.500 per potong kalau sampai nanti berharga jual Rp 10.000 dan yang ukuran besar berharga jual Rp 15 ribu -- Rp Rp 25 ribu.