Pasal berlapis di atas hanya sebagai contoh saja, sebab secara material sejauh kesaksian yang seharusnya ada selama ini, pasal-pasal tudingan itu sesungguhnya akan lebih berlapis lagi dan mereka para saksi itu seharusnya terlindungi aparat.
Mari berakal sehat, kita tahu Munarman adalah seorang sarjana hukum, dia adalah sekretaris sebuah ormas besar FPI yang meski sudah resmi dibubarkan pemerintah tapi masih juga bergentayangan dimana-mana, juga kita tahu FPI ini banyak diboncengi kekuatan-kekuatan politik oportunis termasuk yang nasionalis sekalipun seperti Gerindra. Jangan lagi ditanya oknum poliyo dan parpol yang total menjadikan agama sebagi tool. Total football semacam ini lih pada sosok PKS, PAN dan sebangsanya.
Pada persidangan yang seharusnya sidang perdana pada 1 Desember lalu Munarman dan pembelanya menolak hadir di persidangan karena belum dapat BAP. Bagaimana kami mau membela diri. Siapa saja saksi dalam BAP kami belum tahu.Tudingan terhadap Munarman dalam kaitan dengan terorisme adalah sebuah fitnah besar, kilah mereka. Masalahnya BAP itu berisi berbagai kesaksian dari para saksi yang harus dilindungi polisi, tangkis pihak pengadilan.
Kita hanya bisa tersenyum melihat betapa takutnya orang berkesaksian terhadap kasus-kasus hatred dan fundamentalistik seperti ini. Tak heran penuntutan terhadap obyek-obyek hukum seperti ini jadi melandai dan berakhir kacangan. Coba, betapa Yahya Waloni dilepas begitu saja, lih juga Rizieq dituntut hanya sebatas masalah rame-rame di masa pandemi sepulangnya dari pelarian di Arab Saudi. Padahal tuntutan terhadap Rizieq seharusnya berlapis-lapis karena tuduhan hatred dan sara yang memancing kericuhan massal dimana-mana. Tuduhan terhadap Rizieq datang dari berbagai arah nusantara, mulai dari Pemuda Katholik, Sampurasun tanah Pasundan yang dikonversi menjadi Campur Racun, ultimatum terhadap kalangan Hindu, sampai tuntutan Sukmawati yang mempersoalkan harassing Pancasila menjadi Pantatsila. Jejak digital kasus-kasus semacam ini saya pikir sangatlah lengkap. Hanya bergantung bagaimana aparat hukum kita memanage-nya dan berkemampuan menyodorkannya dalam bab tuntutan dan diperagakan di pentas pengadilan yang terbuka dan termanage rapi keamanannya.
Akar terdekat yang mudah kita peragakan kausalitasnya disini adalah soal pemilihan, pengangkatan dan penabalan seorang pemimpin. Moment ini langsung disambar ketika Ahok Gubernur DKI Jakarta nyeplos di kepulauan seribu bahwa jangan percaya sama orang-orang yang menggunakan ayat tertentu yang mengatakan bahwa pemimpin itu harus dari kalangan dan agama tertentu. Ini langsung disambar sebagai pelecehan agama karena terang-terangan merujuk pada surat al Maidah  ayat 51 : Jangan Memilih Pemimpin Non Muslim! Ahok nyeplos seperti itu karena parpol-parpol dan poliyo-poliyo tertentu sudah mulai bergerlya menggerayangi Jakarta untuk Pilgub DKI yang sudah mendekat. Sebagaimana diketahui, Ahok yang Wagub ketika itu otomatis menjabat Gubernur selepas Jkw melenggang ke kursi RI 1 pada 2014.
Setelah kelompok oposisi brutal yang menamakan dirinya sebagai Gerakan 212 ini berhasil menumbangkan Ahok, mereka tak juga mengendurkan manuvernya. Posisi tawar yang naik karena seakan Aksi Bela Islam membuat kelompok ini menjadi dirijen gerakan massa anti rezim Jokowi. Gerakan 212 ini juga jadi organisasi di balik beberapa reuni 212 pada 2017 dan 2018, aksi tolak Facebook, dan aksi menuntut penangkapan Sukmawati Soekarnoputri. Organisasi ini sempat pecah di awal 2018. Tak ada lagi musuh bersama setelah Ahok tumbang dan suasana di tahun politik itu membuat pucuk pimpinan Gerakan 212 berpencar.
Ansufri Idris Sambo dan barisannya memisahkan diri dan membentuk Garda 212. Sambo sempat menyebut pembentukan Garda 212 tak terlepas dari politik praktis. Kemudian Aminudin dkk tetap bersikukuh bertahan dengan Presidium Alumni 212. Ia mengklaim gerakan ini sebagai wadah yang direstui Rizieq Shihab yang hengkang ke Arab Saudi.
Barisan paling besar di bawah kepemimpinan Slamet Maarif, mengubah nama menjadi Persaudaraan Alumni 212. Pergantian nama dilakukan lewat Musyawarah Nasional yang digelar 25-27 Januari 2018. Dalam barisan ini, ada sejumlah tokoh yang sedari awal jadi motor gerakan 212, seperti Amien Rais, Slamet Ma'arif, Al Khaththath, Eggi Sudjana dan Bernard Abdul Jabar.
Eggi Sudjana dalam pernyataan awal 2018 mengatakan "Yang mendapat rekomendasi, atau izin, atau amanat dari Habib Rizieq, hanya Persaudaraan Alumni 212." Sejak saat itu, PA 212 di bawah kepemimpinan Slamet Maarif jadi kepanjangan tangan Rizieq. Mereka mulai menunjukkan kecondongan sikap politik mereka ke lawan-lawan Jokowi, yakni Gerindra, PKS, PAN.
GNPF MUI juga berubah nama menjadi GNPF Ulama. Bersama PA 212 dan GNPF Ulama memfasilitasi perintah Rizieq untuk menggelar Ijtimak Ulama pada 27-29 Juli 2018. Gelaran itu bertujuan menentukan sikap dukungan ulama terhadap kandidat di Pilpres 2019. Ijtimak Ulama menghasilkan rekomendasi duet Prabowo Subianto-Abdul Somad. Namun hasil itu tidak digubris. Prabowo memutuskan maju dengan menggandeng Sandiaga Uno.