Ntahlah bagaimana nanti kalau ada perambah jagoan semacam Ciputra di zaman Harto yang piawai dan bisa berkolusi begitu saja dengan penguasa dan mengubah paksa daerah rawa-rawa di Kapuk Muara yang semula daerah resapan air menjadi kawasan perumahan. Akibatnya fatal, di musim penghujan rumah-rumah berkelas di Kapuk Muara, Jakarta barat dan sekitar, sibuk mengoperasikan pompa-pompa raksasa agar bebas dari banjir. Kapuk memang bebas banjir dengan instrument mahal itu, tapi air hujan dengan segala buangannya malah lari ke jalan tol Cengkareng-Bandara Soetta.
Itulah kuranglebih dampak yang akan dirasakan Depok beberapa waktu ke depan. Bagaimana tidak. Boleh dikata hampir seluruh Depok telah jadi hunian, pusat-pusat niaga dan bermacam bangunan untuk layanan sosial-kesehatan-pendidikan dll sampai ke ujung Citayam, Sawangan, Cipayung, Cilodong. Pendeknya yang bersinggungan dengan perbatasan Jakarta, Bogor dan Bekasi, except Tangerang. Depok semakin sulit bernafas.
Rotan, Palma dan Sekadar-sekadar
Cagar alam yang semakin mengerdil itu kini hanya menyisakan sedikit tanaman endemik seperti Rotan Jawa Barat dan sekelompok Palma dari puak Calameae yang memiliki ciri memanjat. Batang rotan ini terlihat langsing dengan diameter 2--5 cm, beruas-ruas panjang, tidak berongga dan banyak dilindungi oleh duri-duri panjang, keras dan tajam. Duri ini berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari Herbivora. Setidaknya bibit Rotan ini berasal dari Jawa Barat yang sekarang nyaris tak berhutan kecuali sedikit di wilayah Banten, daerah Ujungkulon khususnya. Juga terdapat rumpun bambu khas Jawa barat.Â
Tapi yang namanya fauna yang dulu digadang-gadang sebagai endemik Jawa Barat, antara lain Bajing (Collasclutus Notatus), Burung Puyuh (Cortunly SP), Burung Tekukur (Streptopely), Burung Perkutut (Geopelia Striata), Burung Kutilang (Picnonotus Aurigater), Burung Perenjak (Prinia SP), Burung Kaca Mata (Josterop SP), Burung Hantu / Celepuk (Otus Lampiji), Musang (Paradoxsurus Hermaprodithus), Biawak (Varanus SP), Kadal (Mabuya Multifasciata) dan Ular (Naja sp. p, Reticulatus). Semuanya itu sudah raib ibarat kepulan asap Dji Sam Soe ke langit biru kepunahan.
Itulah residu yang sekadar-sekadar di Cagar Alam Chastelein sekarang. Sangat merisaukan!
Dubes Belanda dan Depok Heritage
Di tengah kelimpungan betapa rawannya Depok tanpa paru-paru kota seperti Cagar Alam Chastelein, terbaca di Wartakota Depok dan Tribunnews Depok, belum lama ini, 11 Nopember ybl, Dubes Belanda untuk Indonesia, Lambert Grijns bersama Drs. Yolande Melsert Direktur Erasmus Huis melakukan kunjungan ke tiga obyek bersejarah di kawasan Depok Lama yi Gereja Immanuel di Jln. Pemuda, TPK atau Tempat Pemakaman Kristen di Jln. Kamboja, dan Jembatan Panus eks Bolanda yang bersisian dengan Jembatan Panus Baru buatan Indonesia merdeka di Jln. Siliwangi. Kedua jembatan ini menghubungkan Jln Tole Iskandar dengan Depok Lama yang dipisahkan oleh Sungai Ciliwung. Tempo doeloe jembatan ini adalah satu-satunya penghubung Depok dengan Bogor via Jln. Tole Iskandar dan terus notok sampai ke Jln. Raya Bogor sekarang.
Dengan menaiki kendaraan Oren (Odong-Odong Keren) milik Pemkot Depok, Dubes Belanda berkeliling Depok Lama. Di TPK Kamboja, Lambert sempat melihat dari dekat makam-makam orang Belanda tempo kolonial.