Mengutip Kementerian Sosial RI, hingga Nopember 2020 terdapat 191 tokoh yang dianugerahi gelar pahlawan nasional, belum lagi dengan tambahan baru sekarang ini yi pahlawan yang biasa dimunculkan dalam ritual Istana tahunan.
Bung Karno melengkapi kalender nasional ini dari inspirasi medan laga Surabaya. Terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (Komandan Tentara Inggeris untuk Jawa Timur) pada 30 Oktober 1945 adalah gegara utama pecahnya konflik bersenjata 10 Nopember 1945. Pengganti Mallaby yi Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan Ultimatum 10 Nopember 1945 agar milisi bersenjata dengan para pimpinannya beserta warga Surabaya segera menyerahkan senjata kepada pihak Inggeris.Â
Karena tak digubris, Inggeris dengan pembonceng NICA (tentara Bolanda yang ditugaskan di Indonesia pasca jatuhnya Jerman dan Axis) menggempur Surabaya dari darat laut dan udara. Konflik 10 Nopember 1945 tersebut mengakibatkan sekitar 20.000 rakyat Surabaya menjadi korban, sebagian besar adalah warga sipil. Diperkirakan 150.000 orang terpaksa meninggalkan kota Surabaya dan tercatat sekitar 1.600 orang prajurit Inggeris tewas, hilang dan luka-luka.
14 tahun setelah proklamasi, Bung Karno sang proklamator dan pengobar solidaritas nasional itu terinspirasi penuh kisah heroik rakyat Surabaya. Tak heran dari kekuasaannya pada 1959 Â lahir Hari Pahlawan 10 Nopember.
Itulah starting point hari pahlawan 10 Nopember yang ritualnya akan dilaksanakan beberapa saat lagi. Pihak Istana tak mungkin melewatkannya, ntahlah di 34 propinsi (34 gubernur), 416 kabupaten (416 bupati) dan 98 kota (98 walikota). Wilayah bawahan itu total meliputi 7.094 Kecamatan (7.094 Camat), 74.957 desa (74.957 Kepala Desa) dan 8.490 kelurahan (8.490 Lurah). Semuanya seharusnya simultan melaksanakan ritus hari pahlawan 10 Nopember secara digital atau tepat waktu sesuai time table yang telah ditetapkan secara nasional.
Menuju cakrawala baru
Kalau dilihat pengertian pahlawan yang dikukuhkan KBBI yi orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Juga diwanti-wanti sebagai pejuang yang gagah berani.Â
Definisi itu pas-pas saja di masa Bung Karno dan Soeharto. Masa 1960-an misalnya, setiap anak sekolah di level apapun sejak dini sudah mempersiapkan ritual 10 Nopember dengan semangat yang wah.Â
Apapun yang dipidatokan Bung Karno dan ditulis sejarawan Depdikbud akan diumbar semaksimalnya, ntah itu Pattimura digantung; korban kekejian Raymond Westerling; bahkan lebih mundur ke belakang seperti Sisingamangaraja XII yang setelah 30 tahun bergerilya melawan Bolanda, akhirnya tewas di tangan Marsose Bolanda di bawah Kapten Christoffel; perang Diponegoro 1825-1830 yang sudah disineaskan oleh Slamet Rahardjo dalam Nopember 1825 dst. Di masa Soeharto heroisme seperti itu pengobarannya dilanjutkan dengan tambahan 11 pahlawan baru korban peristiwa G 30 S PKI.Â
Tapi tambahan ini agak aneh karena moment itu direkayasa dengan menjadikan PKI semacam hantu gentayangan sepanjang masa yang disineaskan via Depdikbud dalam durasi 3,5 jam. Alamak! Pokoknya hantu PKI harus hadir dalam teater nasional, lengkap dengan pembacaan mantera dalam ritus Shamanisme.Â
Inilah pertamakalinya faktor penggentar digunakan untuk memaksahidupkan bulu kuduk bangsa dengan mengeksploitir kekejaman PKI dan para desertir ABRI (nama TNI ketika itu) yang mendarderdorkan peluru tajamnya pada masa akhir Bung Karno.Â