Berpikir dan Kehilangan
Berpikir dan rasakanlah sejenak, akan terasa betapa waktu berputar dengan cepatnya. Maka tak heran bagi para pemikir betapa yang pasti itu adalah ketidakpastian, betapa hidup adalah sesuatu yang absurd, betapa sesuatu apapun di hadapan kita adalah sesuatu yang asing yang harus kita waspadai dst.
Bahkan untuk sebuah kebenaran yang kita pegang dan yakini saat ini, belum tentu kebenaran itu absolut. Adilkah cara berpikir seperti para filsuf itu. Suka nggak suka itulah sistem berpikir.
Dalam keseharian kita meski dari sisi akademis kita iyakan, tapi dalam kehidupan nyata yang kita jalani sungguh tak mudah bagi kita untuk menepis ini salah itu benar, seharusnya begini dan bukan begitu. Masalah kita dan lingkungan kita sekarang sungguh tak mudah kita cerna.
Usia 60-an yang sudah purna waktu misalnya. Akan sulit bagi kita untuk flash back, lho koq aku begini ya nggak begitu. Kita terkejut ketika sampai pada satu aspek tertentu. Dan ini biasanya aspek ekonomi dan karier kita semasa aktif bekerja. Tapi dimana letak kegagalan kita sehingga di hari tua kita koq jadi begini begono. Yakinlah yang bakalan hadir disitu adalah pembelaan diri untuk pembenaran kebenaran yang kita yakini saat itu.
Pikiran kita masih kuat memang, tapi sudah ada yang mulai redup bahkan menghilang dari situ. Tak heran "Scapegoat" akan selalu hadir di ruang kita dan sang raja yi pembenaran diri sendiri tetap bertahta di kerajaan kecil kita yi makhluk tua yang cepat atau lambat akan menghilang dalam perjalanan waktu berikutnya.
Ada sesuatu yang sangat berharga dalam diri kita. Waktu memang membatasi kita. Dan kalau kita mulai mereka-reka koq begini begitu dengan cara berpikir filsuf. Takkan ketemu apapun. Relung terdalam kita yang sudah tertutup asam garam hidup, itulah yang harus kita buka hari demi hari sehingga tiba saatnya kita sadar bahwa ada yang lembut disitu akan menyertai kita untuk menyapa mereka yang masih eksis dan mengantarkan mereka yang mendahului kita. Itulah yang paling berharga yang menghilang dari diri kita. Selebihnya adalah kausalitas dalam hidup yang mewarnai perjalanan kita. Relakanlah itu.
Cintakasih terhadap keluarga, sahabat dan sesama. Itulah seharusnya legacy kita, bukan kita harus begini dulu atau begitu dulu.
Selamat jalan adikku terkasih O. Alana boru, Sukabumi 25 Oktober 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H