Mohon tunggu...
Parlin Pakpahan
Parlin Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Keluarga saya tidak besar. Saya dan isteri dengan 4 orang anak yi 3 perempuan dan 1 lelaki. Kami terpencar di 2 kota yi Malang, Jawa timur dan Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya WC dan Sampah

18 September 2010   16:47 Diperbarui: 29 November 2021   11:31 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Budaya WC dan Sampah

Kalau di Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya dan Makasar. Kita barangkali sudah terbiasa melihat tumpukan sampah di TPS dan tumpukan sampah yang tersangkut di pintu-pintu air kota.

Karena sudah terbiasa, maka kita pun tidak merasa perlu lagi menutup hidung kita yang pesek atau yang mancung itu.

Begitu pula di WC-WC Umum Kota. Betapa terbiasanya kita dengan bau busuk WC-WC Umum kita. Bahkan di kantor-kantor pemerintah sendiri dan yang sangat keterlaluan di sejumlah tempat ibadah. Betapa pesing dan busuknya WC-WC kita disana. Tempat publik selalu begitu di negeri ini. Yang terbilang bersih hanya bilangan jari saja dibandingkan begitu luasnya ruang publik di negeri ini.

Kita? O sudah sangat terbiasa dengan semua itu dan sepertinya tidak perduli lagi dengan semua  aroma pesing dan busuk di sekeliling kita. Ah, itu kan wilayah publik. Emang gue pikirin.

Kita memang sudah lama familiar dengan segala aroma busuk seiring dengan merosotnya disiplin nasional dan terdegradasinya moral bangsa selama 3 dekade regime Soeharto, bahkan hingga kini di zaman pandemi-nya  Jkw.

Kita hanya pandai meneriakkan tegakkan hukum dan keadilan serta berantas korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa pernah tahu bagaimana caranya mengawal ketat agar keharusan seperti  itu bisa menjadi praxis dalam kehidupan sehari-hari. Karena kita adalah bangsa berpatron, maka ini tentu masalah patronase bangsa di semua level.

Kita selalu terlambat dalam segala hal. Kita terlambat menyadari Global Warming dan malah  nekad menggunduli hutan-hutan kita tanpa kenal ampun.

Di masa Jkw sekarang? Sang presiden malah dibully  dengan kata Jokodok atau Jokodol. Urusin saja tol lautmu itu dol, kilah sejumlah oposan yang berkepentingan dengan penggundulan hutan demi si ratu sawit. Global warming? Itu kan hanya isu dari negara-negara kaya di dunia barat sana, apa urusannya dengan kita. Lagi-lagi, emang gue pikirin.

Dirty Toilet. Dok : flickr.com
Dirty Toilet. Dok : flickr.com

Dengan segala ketidakperdulian terhadap norma-norma yang sepatutnya kita patuhi , maka kita pun terlambat menyadari hal yang kita sepelekan selama ini bahwa WC dan Sampah di negeri ini bukan lagi hanya sekadar masalah teknis-kebersihan, tetapi WC dan Sampah benar-benar telah menjadi masalah nasional yang erat kaitannya dengan hari depan bangsa di negeri ini. Lho? Ya terbangunnya sikap mental kita. Bukankah mental itu adalah cara kita merespon lingkungan. Nah, kalau sudah kronis  akhirnya sikap mental seperti itu menggelusur jadi budaya kita. Ini kan lampu merah nasional.

Disiplin nasional yang tak pernah kunjung terwujud dan terdegradasinya mental anakbangsa sebagai imbas dari degradasi moral para patron yang menghalalkan segala cara dalam urusan Uang dan Kekuasaan dengan menafikan hukum membuat kita semakin akrab dan akrab dengan segala macam jalan Pintas.

Kita sangat akrab mengkorup apa saja. Kita sangat memuja penampilan ketimbang isi. Kita tak pernah lagi bisa jujur terhadap diri sendiri. Kita dan Kita benar-benar  hidup dalam ketidakdisiplinan dan ketidakpatuhan terhadap hukum yang telah menghancurkan semua aroma kebersihan diri dan lingkungan kita.

Tak heran Welfare States tak juga kunjung terwujud hingga sekarang. WC dan Sampah di kota-kota besar maupun kecil bahkan hingga ke pelosok pedesaan adalah bau busuk dan bau pesing yang telah menjadi pemandangan sehari-hari dan kita telah kebal tanpa perlu menutup hidung lagi setiap kita mampir ke WC Umum atau setiap kita berada di tempat umum dimana onggokan sampah menggunung bisa di tepi rel KA, bisa di TPS sebuah perumahan, bisa dan bisa bahkan di halaman rumah kita sendiri tanpa secuil pun rasa bersalah.

Mental anti kebersihan seperti inilah sekarang yang menjadi masalah budaya bagi kita. Tak heran di mana pun kita berada kita takkan jauh dari aroma pesing dan busuk. Dan kita ternyata sangat akrab dengan itu semua. Di sebuah kota kecil sekalipun WC dan Sampah yang kita lihat  sama saja pesing dan busuknya dengan yang  terdapat di kota-kota besar. WC dan Sampah seakan telah menjadi parfum budaya kita.

Bahkan Danau Toba karunia alam yang megah dan indah untuk Indonesia itu tak luput dari persoalan ini. Danau Toba sebenarnya sudah lama menjadi TPA Sampah oleh 7 kabupaten yang melingkarinya. Tak pernah sekalipun dipikirkan filterisasi untuk semua DAS yang mengalir ke Danau Toba. Maka di tengah hiruk-pikuk BODT dalam mengembangkannya menjadi destinasi utama kepariwisataan nasional,  jadilah - dalam hening terbungkam rasa - Danau Raksasa itu TPS Sampah terbesar di Indonesia.

Mari kita sadari bersama bahwa WC dan Sampah adalah masalah kita karena terkait dengan kepribadian kita sebagai sebuah bangsa dan terkait dengan hari depan negeri ini sebagai rumah hari depan generasi mendatang.

Mari hubaya-hubaya sekalian kita cek kebersihan WC dan TPS Sampah di lingkungan kita masing-masing.

Depok Bolanda,  Mon’, Nov’ 29, 2021


HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun