Selamat Hari Indah Sobat Kompasiana....
Barangkali judul ini bisa menarik minat pembaca untuk sekedar dibaca dan melupakannya...he..he...he..
Kebetulan saja penulis bertempat tinggal di sekitaran antara Kota Jogja dan Kota Solo,tepatnya di daerah Kota Klaten....kota kecil yang diapit dua kota berskala nasional dan internasional....semoga anda tahu deh kota klaten ini dimana atau malah pernah sekedar singgah atau melintasinya .
Tapi tahukah anda...dari Kota Klaten inilah yang menjadi bidan lahirnya konsep angkringan atau HIK atau wedangan...silakan Anda berkunjung ke kota saya....Anda pasti akan terkejut melihat pedagang Angkringan/HIK/Wedangan bertebaran di sepanjang jalan mulai dari perkotaan dan jalan pedesaan hingga sudut-sudut kampung.Ciri khasnya yaitu bergerobak dan kursi kayu(dingklik bahasa jawa)dengan tutup terpal tenda warna orange atau biru rata-rata.
Mungkin tulisan saya ini sudah basi untuk mengulas kuliner rakyat ini....tapi saya akan mengulasnya dari segi nilai sosial dan budayanya....oke...!
Menu Angkringan ini sebetulnya biasa-biasa saja tidak ada istimewanya,menu sego kucing(nasi bungkus paket hemat),wedang teh tiga dimensi(campuran teh istimewa rahasia)dengan gula batu,serta penganan gorengan seperti telo goreng,bakwan goreng,tahu isi,tempe goreng,sosis,intip goreng ,ceker goreng(kaki ayam),sate jerohan ayam,sate keong,jadah goreng dan penganan "ra mbejaji" (tradisional) lainnya.
Angkringan, konsep tongkrongan sederhana, tempat kongkow, melamun, ataupun dialog real masyarakat yang cerdas dengan celetuk ringan. Masakan dan aneka penganan tersaji beraneka macam khas masyarakat dengan harga yg tidak kejam. Rp 5.000 pun sudah membuat dahaga usai dan perut keroncongan anda terganjal sempurna. Sederhana, ramah, memasyarakat. Hasil cipta karya keunikan budaya kita yang mencari alternatif brillian dalam kondisi sulit kala itu sehingga terwujudlah konsep Angkringan, Hik, atau Wedangan. Lampu temaram yang meneranginya semakin menambah harmoni diaspora kehidupan masyarakat kita yang majemuk. Tak ada rasa minder disini, tukang becak, pedagang pasar, pegawai pemerintah, anak kecil atau memang penikmat militan angkringan, hik, atau wedangan dan sebutan apalah, duduk sama rata mengitari hidangan sejenis dan bebas mencomot makanan dengan harga sama tanpa membedakan member atau tidak....
Begitu sederhana,mudah,santai,tidak ribet dan merakyat,anda akan jarang menemuinya di kota-kota lainnya.Hanya ada di wilayah DIY dan Solo Raya....
Semoga saja Budaya asli kemasyarakatan ini tidak tergerus jaman dan tetap berdampingan dengan baik terhadap budaya modern yang tengah menjadi kiblat generasi sekarang dan Pemerintah hendaknya bisa bijak dengan membuat perda-perda yang melindungi dan mengatur para pedagang angkringan ini.
Dulu,generasi muda mendambakan prestise modern dengan menongkrongi mal-mall atau jajan di resto-resto merk luar dan tentunya tidak murah.Fenomena ini sangat memprihatinkan dikarenakan Indonesia itu sangat kaya akan budaya adiluhung yang bisa membalut ciri khas bangsa kita dengan santun dan ramah tamahnya.
yaaaa....tiba-tiba saja muncul konsep angkringan ......dan generasi muda kita tampaknya sudah mulai berfikir logika dan bahkan angkringan adalah tempat mereka beredukasi dengan membawa atribut widget keluaran paling baru serta cewek -cewek yang sekaliber tukang dugem pun tidak risih saat mereka jajan di angkringan .....
Angkringan....HIK....Wedangan....apapun sebutannya....janganlah usang tergerus jaman.....
Salam Indonesiaku......tetap semangat!