Saat ini, terkadang pilihan paling gampang adalah unfriend. Pilkada Jakarta baru-baru ini--mungkin akan terus berlanjut--membuat saya kehilangan (menghilangkan) banyak teman di dunia maya. Menurut saya, ini adalah pilihan terbaik. Pilkada Jakarta menolong saya mengidentifikasi teman di dunia maya, mana yang putih dan mana yang hitam.
Maafkan saya, tapi saya memang tak siap berteman dengan orang yang memandang teman sendiri seperti kotoran babi (babinya saja sudah haram, apalagi kotorannya--menjijikkan lagi). Buat saya, untuk apa berteman kalau pada akhirya kita saling melukai. Padahal berteman itu harusnya menyejukkan hati, bukan justru memanaskannya.
Saya kini masih punya teman di FB sebanyak 2.108. Buat saya itu sudah lebih dari cukup. Mungkin jumlahnya masih akan bertambah atau bahkan justru menjadi berkurang, tergantung dari sikap Anda. Tapi kalau kemudian saya yang di-unfriend, tidak masalah. Prinsip saya sederhana saja. Lebih berharga 10 teman yang benar-benar teman, daripada punya 10.000 “teman” tapi hatinya dipenuhi kebencian--melihat saudaranya seperti kotoran. Meskipun demikian, mungkin di dunia nyata kita tetap akan berteman.
Ini bukan soal beda agama, beda suku, beda pilihan politik dll. Karena berbeda pun tak selalu berujung pada kebencian, dan memang harus demikian. Ini hanya soal cara melihat & cara menempatkan teman dalam kehidupan. Yang satu agama, satu suku, satu pilihan politik pun dengan saya, bisa saja tak lagi berteman dengan saya di media sosial, karena perbedaan prinsip yang sangat mendasar.
Salah satu sebabnya yang paling dominan adalah dentuman suara pengkafiran yang selalu bergema.
Dalam KBBI, kata kafir berarti orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya. KBBI memang sangat jelas mengatakan demikian tapi mungkin kamus yang kamu pakai tak sama dengan kamusku. Jadi, wajar saja kalau defenisi kita berbeda.
KBBI juga memberi makna kata “toleran” bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.
Jadi melihat hal tersebut di atas, maka perbedaan itu sah-sah saja. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjadi teloran terhadap mereka yang berbeda.
Pilihan unfriend juga kadang menjadi pilihan saya menghargai pendirian orang lain. Saya tak terlalu suka memaksakan pendirian saya kepada orang lain, tapi tak juga suka dipaksa pindah pendirian. Saya lebih suka saling menghargai dalam perbedaan pendirian tersebut, karena kita memang plural.
Pluralisme tak berati membuat saya mengkhianati apa yang saya yakini, tapi tidak juga membuat saya membenci mereka yang punya keyakinan yang berbeda dengan saya. Karena cinta dan kasih yang saya dapatkan dalam pengajaran, tidak mengenal batas agama; suku; pilihan politik; dll. Saya akan tetap mengasihimu meskipun kita berbeda dalam banyak hal.
Tapi, kalau saat ini saya yang Kristen masih terus dikafirkan, itu tidak masalah. Label tersebut tidak akan mengikis keimanan saya kepada Tuhan. Label itu tidak akan membebani hidupku. Buat saya, label tersebut jika masih berasal dari manusia, tidak masalah, karena saya percaya yang mengurus Surga & punya kewenangan penuh pada tempat yang dirindukan semua orang itu adalah Sang Pencipta.