patung yang menantang langit di tengah kampung "Sejuk" telah menebar teror dan pesona yang sama kuatnya. Warga kampung Sejuk yakin, patung yang menggambarkan sosok seorang prajurit kerajaan Belanda itu adalah patung keramat. Sebenarnya tak ada yang istimewa dengan patung lelaki yang berdiri sambil mengacungkan tongkat militer dengan tangan kirinya itu.Â
Kehadiran sebuahKata tetua kampung Sejuk, patung itu adalah peninggalan pemerintah Belanda seabad yang lalu. Wajah patung itu memang kian tergerus dan kusam, tak nampak sosok manusia lagi, sehingga tak patut jadi pajangan. Namun sorot mata patung itu masih terasa tajam, seakan mengawasi seluruh sudut kampung. Begitu pun bentuk senapan yang erat digenggam tangan kanannya masih menegaskan kegagahan patung tersebut.
Kehadiran patung "sang tentara" telah menghadirkan pertentangan hebat. Para tetua umumnya merasa bahwa kehadiran patung itu justru menentramkan hati, sebaliknya sebagian pemuda yang telah mengenyam pendidikan di luar negeri menolak keberadaan patung yang terbuat dari batu pahatan itu.
Bagaimanapun, sengit yang terukir tajam di bibir mereka tak pernah mampu mengubah posisi patung itu. Ia tetap tegak dengan angkuhnya dan setiap warga kampung lain yang datang ke situ mengenalnya sebagai bagian dari kampung Sejuk.
Kalau dicari pemuda yang paling berniat merobohkan patung kusam itu, Manus-lah orangnya; sarjana muda arsitektur tata kota lulusan salah satu universitas ternama di Belgia. Hati nuraninya serasa dipukul ketika teman kuliahnya yang berasal dari Amerika menunjukkan sosok patung Liberty kepadanya. Manus memandang bahwa lambang kebebasan itu adalah supermodel impiannya. Baginya, monumen semacam inilah yang pantas diperjuangkan untuk dibangun di kampung Sejuk.
Sekembalinya ke kampung, Manus menceritakan kehebatan patung Liberty. Rupanya patung kesohor itu masih kedengaran asing bagi telinga penduduk dari desa yang terletak di tengah hamparan ladang teh itu. "Patung kita itu ketinggalan zaman, kusam pula, apalagi peninggalan penjajah. Sungguh tak nasionalistis. Lihatlah patung Liberty ini, nampak gagah, sungguh mengambarkan semangat perjuangan bangsa Amerika."
Manus berusaha meyakinkan beberapa orang temannya yang sedang duduk bersantai siang itu, sambil menunjukkan sebuah foto patung Liberty berukuran besar.
Teman-teman Manus yang duduk dibawah rindangnya pohon pinus di atas bukit kecil itu manggut-manggut. Manus berusaha mengguncang kekaguman kolot yang selama ini ditujukan para pemuda kampung Sejuk kepada patung sang tentara.
"Kami yakin Nus, tapi bagaimana pun, patung ini  takan pernah boleh disingkirkan. Kata tetua kampung, patung ini telah melindungi kita dari berbagai kengerian dan mempersatukan warga kampung kita sejak dulu, sejak kau dan kami belum memiliki tempat di bawah kolong langit ini." Beto, pemuda berbadan kurus itu nampak tak mendukung ide Manus.
"Omong kosong macam apa itu? Kalian tak pernah kenal demokrasi yang keluar dari hati nurani rakyat. Aku yakin itu. Bukankah kalian tak pernah sampai kelas satu SMA? Coba pikir, apakah kalian masih ingin tirani ini? Ataukah mendambakan kebebasan budi dan hati?" Manus menegaskan idenya itu dengan nada yang agak meninggi. Sesaat kemudian ia bersidekap, membelakangi kawan-kawannya dan mamandangi gunung-gemunung. Ia seakan mencari sebuah mimpi yang masih bersembunyi dibalik kebiruan semu itu.
Sebaliknya para pemuda itu tertegun dan memilih tetap duduk di tanah. Mereka tak mampu membenarkan ataupun menyalahkan semua perkataan Manus yang serba baru itu. Kebebasan budi dan hati? Demokrasi? Sesungguhnya sebagian besar pemuda kampung Sejuk telah merasa berkecukupan dengan kepatuhan. Bagi mereka, kepatuhan adalah kepatutan. Dan kepatutan membawa harmoni. Maka sebenarnya mereka ingin menolak saja ide Manus. Mereka menganggap Manus telah termakan konsep yang berbahaya.