Mohon tunggu...
Asnawi Rizal
Asnawi Rizal Mohon Tunggu... -

Lahir dan Besar di Bulukumba SUL-SEL, 24 Maret 1984.. Suka baca novel, puisi, dan buku sejarah.. Prinsip hidup '' Belajar dan terus Belajar""

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sepenggal Kata untuk Dunia

24 April 2010   15:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepenggal kata puitis, saya hamparkan sejenak untuk berkaca pada permadani kehidupan, dalam merasakan hidup ini. Waktu seakan berbaik hati, udara malam masih kurasakan, dentuman lagu masih terngiang di telingaku, kehalusan kasih masih terasa diujung jariku dan khayalan-khayalan masih bertengkar dalam pikiranku.

Pena mimpi kembali tergores, hari itu aku duduk seorang diri mengenang kembali sebanyak mungkin yang bisa aku ingat, sekelilingku masih tampak samara-samar walau matahari telah mengembang di ufuk timur. Ayam jantang telah turun dari singgasana pembaringan untuk mengadu nasib di dunia manusia. Mataku seakan telah jenuh tapi pikiranku seakan tidak berhenti untuk berpikir. Kemudian terlintaslah sedikit cahaya dibalik pikiranku, waktu seakan memberikannya ruang kosong untuk hadir, walau sejenak. Tapi untuk apa aku pikirkan ini semua, akh bukan ini yang menggagu pikiranku. Ayo berpikirlah dan jangan pernah berhenti untuk berpikir. Walau hatimu seakan sesak, karena ketidaksabaranmu untuk menggoreskan pena-pena kaligrafimu. Kesabaran akan memberikan engkau mimpi yang selama ini membayangimu. Untuk sekedar bernyanyi dalam keriangan dan menepis keraguan, karena hari esok adalah mentari yang harus dikejar walau kesendirian menyertai dan gelombang masalah datang bertubi-tubi. Tapi yang mana, harus dikejar secepatnya, sambil menari-menari diatas awan khayalan dan menerka setiap angin yang lewat, dimana kabar-kabar berpencar diatas hamparan pelangi yang hampir hilang.

Perjalananku seakan telah berhenti karena nafsu yang membendungnya, nafsu telah membawa aku melayang dalam ketidaktahuan untuk sekedar merasa dan bercengkrama dibalik cahaya iman yang masih ada. Dimanakah aku harus mengeluarkan keluh kesahku pada dunia ini, agar anak-anakku nanti tidak menyesal atau mengingkari bapaknya yang malang ini. Tapi kenyataan harus dihadapi dengan jiwa yang besar, sepahit apapun yang menimpa, karena semua itu hanyalah bayangan belaka.

Hari telah berlabuh pada ufuk barat, hati masih bimbang karena aku tidak punya pilihan yang lain, karena pilihan terlanjur melekat pada diriku dan mungkin telah ada sejak aku belum lahir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun