Mohon tunggu...
MUHAMMAD FARID AL BUCHORI
MUHAMMAD FARID AL BUCHORI Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SISWA KELAS 12 MIPA 4 SMAN 1 WALED

PELAJAR

Selanjutnya

Tutup

Politik

Politik Uang

5 Februari 2024   12:01 Diperbarui: 5 Februari 2024   12:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dampak politik uang melecehkan kecerdasan pemilih, merusak tatanan demokrasi, meruntuhkan harkat dan martabat kemanusiaan. Selain itu. politik uang bentuk pembodohan rakyat, mematikan kaderasi politik, kepemimpinan tidak berkualitas.

“Kami menyarankan agar masyarakat tidak memilih calon kepala daerah yang menawarkan janji, uang, sembako. Itu tidak pantas dipilih”. Ajakan itu disampaikan mantan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah dalam sebuah webinar bertajuk “Mencegah Korupsi Politik dalam Pilkada Serentak 2020”, Jumat (4/12/2020).

Dalam hitungan hari, pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak di 270 daerah bakal digelar. Sesuai jadwal, tahapan pilkada telah memasuki masa tenang, sebelum hari pencoblosan surat suara pada Rabu (9/12/2020). Febri mengingatkan agar masyarakat sebagai pemilih dalam menggunakan hak pilihnya tidak tergiur dengan tawaran dan iming-iming apapun terutama politik uang.

Bagi Febri, korupsi politik jelang hari pemilihan biasanya cenderung masif menjadi alternatif bagi calon kepala daerah yang tak memiliki integritas. Menurutnya, kontrol terhadap pendanaan politik menjadi “jantung” dalam pencegahan korupsi politik. Biasanya, bermula adanya cukong yang membiayai kepala daerah dalam pencalonan. Untuk itu, dalam kontestasi pemilu atau pilkada, perlunya melaporkan pendanaan politik. Selain itu, perlu memperkuat integritas penyelenggara pemilu dan lembaga pengawas pemilu untuk meminimalisir praktik politik uang.

“Mulai dari pelaporan dana kampanye, pemetaan pihak-pihak yang punya relasi potensial menjadi donatur terselubung di daerah,” ujarnya. (Baca Juga: Selain Bahayakan Keselamatan, ICW Nilai Pilkada Serentak 2020 Rawan Kecurangan)

Mantan peneliti hukum Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menilai penting memetakan berbagai hal modus korupsi politik. Penyelenggara pemilu semestinya bersikap aktif mengidentifikasi praktik politik uang dalam pelaksanaan pemilu tingkat nasional maupun lokal (pilkada). “Kemudian mengatur keterbukaan lobi politik,” ujarnya.

Berdasarkan data KPK per Juni 2020, sedikitnya terdapat 417 politisi tersandung kasus korupsi. Rinciannya, 274 anggota DPR/DPRD; 122 bupati/walikota/wakil; dan 21 gubernur. Sementara tipologi korupsi terdiri dari suap, gratifikasi, pengadaan barang/jasa, penyalahgunaan anggaran, perizinan, pemerasan, dan terkait pilkada.

Menurutnya, akar masalah korupsi politik yakni pendanaan partai politik, tak berhasilnya proses kaderisasi, dan rekrutmen yang tak maksimal. Bagi Febri, yang dapat menyelesaikan akar masalah korupsi di sektor politik adalah pimpinan partai politik. Pimpinanlah yang membuat kebijakan bagi anggotanya. Apalagi orang-orang di pemerintahan pun berasal dari partai politik.

Dia mengajak masyarakat membantu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar mensosialisasikan anti korupsi di perhelatan Pilkada Serentak 2020. Dia pun meminta publik untuk memilih pilih calon yang tidak terlibat tindak pidana korupsi. Termasuk menolak tegas sepanjang ada calon yang menawari uang atau janji.

“Begitu calon menawarkan program dengan menawari uang dan itu tidak pantas dipilih dan potensi korupsi ketika dia menjadi kepala daerah itu besar. Tak sedikit kepala daerah yang terpilih mengambil keputusan membuat anggaran yang berpotensi menimbulkan korupsi.
Senada, Ketua Bawaslu Abhan pelaksanaan pilkada di 270 daerah potensi rawan terjadinya korupsi politik. Apalagi 60 persen calon paslon kepala daerah didominasi petahana, sehingga praktik abuse of power pun mulai terlihat. Dalam praktik korupsi politik dalam Pilkada, biasanya berupa suap, jual beli suara, nepotisme, dan pengaruh politik.

Dia menilai potensi terjadinya korupsi politik dalam pilkada serentak biasanya diawali saat pencalonan yang ditandai dengan adanya mahar politik, tapi sulit pembuktiannya secara hukum. Sebab, pembuktian perlu adanya dua alat bukti yang cukup. Menurutnya, rekomendasi pencalonan kepala daerah berada di pimpinan partai yang membuka ruang politik transaksional. “Rekomendasi bermula dari tingkat dewan pimpinan cabang (DPC) partai yang potensi membuka ruang korupsi politik, tapi susah dibuktikan karena harus ada dua alat bukti dan dibatasi waktu,” ujarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun