Dia menilai potensi terjadinya korupsi politik dalam pilkada serentak biasanya diawali saat pencalonan yang ditandai dengan adanya mahar politik, tapi sulit pembuktiannya secara hukum. Sebab, pembuktian perlu adanya dua alat bukti yang cukup. Menurutnya, rekomendasi pencalonan kepala daerah berada di pimpinan partai yang membuka ruang politik transaksional. "Rekomendasi bermula dari tingkat dewan pimpinan cabang (DPC) partai yang potensi membuka ruang korupsi politik, tapi susah dibuktikan karena harus ada dua alat bukti dan dibatasi waktu," ujarnya.
Selama ini langkah Bawaslu mencegah terjadinya korupsi jual beli suara, misalnya, institusinya menggerakan desa anti politik uang. Bahkan di sejumlah daerah masyarakatnya mulai menempelkan stiker di pintu rumah bertuliskan "tidak menerima politik uang". Menurutnya, cara-cara tersebut perlu dibangun terus menerus terkait kesadaran politik gerakan anti politik uang.
"Harus ada gerakan masyarakat anti politik uang yang bekerja sama dengan lintas agama, sosialisasi tentang aturan sanksi, dan dampak politik uang. Perlu pengawasan patroli anti politik uang yang dilakukan di masa tenang jelang pencoblosan surat suara. Dalam melakukan  patroli anti politik uang, Bawaslu menggandeng kepolisian dan sentra penegakan hukum terpadu sejak tanggal 6 sampai dengan 9 Desember.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H