Pemimpin, Kepemimpinan dan Memimpin merupakan kata-kata yang sangat lekat dan dekat dengan laki-laki. Kata-kata ini seakan tabu dan tidak bisa didekatkan kepada perempuan. Padahal, kata-kata ini tidak memiliki jenis kelamin. Sudah begitu, tiga kata ini menjadi sangat relevan tatkala dipercakapkan dalam konteks pertarungan politik. Mungkinkah, perempuan akan sulit masuk dalam ranah ini? Sejarah Bangsa Indonesia telah menoreh karya dan bakti dari kaum perempuan. Ada Cut Nya Dien dan Cut Meutiah dari Negeri Serambi Mekah. Ada juga Ratu Saylendra. Tercatat juga Ken Dedes. Bahkan Raden Ajeng Kartini, selalu diingat setiap memasuki Bulan April. Saat ini, kalau tidak keliru, ada perempuan-perempuan yang memimpin suatu daerah. Ratu Atut sebagai Gubernur Banten merupakan salah satu contoh. Selain itu ada juga Wali Kota Surabaya dan Bupati Minahasa Selatan, Tetty Paruntu yang adalah Bupati Paling Cantik di Indonesia. Perempuan sebagai pemimpin politik sudah saatnya, begitulah kata-kata yang terpampang di baliho dr. Mitak salah satu bakal calon wali kota Kupang yang gugur di babak-babak awal. Alkitab mencatat banyak hal terkait dengan peran perempuan kala itu. Perjanjian Lama bahkan memberikan ruang kepada perempuan untuk menjadi nabi. Hakim pun merupakan salah satu profesi yang dipegang oleh perempuan. Miryam saudari Harun merupakan satu dari tiga pemimpin utama bersama-sama dengan Musa dan Harun saat menghantar keluar Bangsa Israel dari Mesir, (Keluaran 15:20). Perjanjian Lama juga mencatat tentang Debora sang nabiah dan seorang hakim (Hakim-Hakim 4:4). Perjanjian Baru pun memberikan ruang kepada perempuan untuk berekspresi. Hana, sang nabiah yang berdoa, bersama Simeon sang pelihat, menunjukkan bakti mereka saat didatangi oleh Yusuf dan Maria di saat Yesus berumur 8 hari (Lukas 2:36-38). Elisabeth dan Maria dalam Lukas 1 : 39-55 merupakan dua perempuan yang takut akan Tuhan. Kolaborasinya menghasilkan puji-pujian yang penuh sukacita dan bernubuat perihal tujuan kedatangan Yesus saat masih berada dalam kandungan Maria. Maria Magdelana merupakan orang pertama di dunia ini yang mendengar kata-kata "Dia Sudah Bangkit". Masih banyak nama-nama perempuan dan perannya yang dicatat dalam Perjanjian Lama maupun Baru. Peranan kaum perempuan berdasarkan rentangan sejarah dan bentangan waktu tidak bisa dielakan. Tidak ada alasan yang kuat untuk mengkerdilkan perempuan. Tidak ada argumentasi yang bisa dibangun untuk memupus kesempatan bagi kaum perempuan. Kalau toh perempuan sudah menikah itu merupakan pilihan kehidupan. Karena, pernikahan tidak pernah dirancang untuk menghalangi aktivitas perempuan. Pernikahan justru dirancang untuk mendukung perempuan dalam mengaktualisasi potensi diri dan megembangkan talenta yang ada. Karen L. King melihat peran yang sangat penting dalam sejarah kepemimpinan perempuan. Karen menulis, Maria Magdalena adalah benar-benar figur yang berpengaruh. Dia merupakan seorang murid terkemuka di salah satu sayap gerakan Kristen mula-mula yang mempromosikan kepemimÂpinÂan perempuan. Menurut Karen, beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa mayoritas orang Kristen pada abad pertama adalah perempuan. Dalam surat-surat Paulus disebut nama, Prisca, Junia, Julia, dan saudara perempuan Nereus, yang bekerja dan melakukan perjalanan misi sebagai rekan dari suami atau kakak laki lakinya (Roma 16:3, 7, 15). Euodia dan SintiÂkhe disebut pekerja Injil (Filipi 4:2-3). Beberapa pendiri jemaat rumah, sebuah strategi berhubungan peraturan di Roma yang menganggap kekristanan bukan hal yang legal. Ada Apfia di Filemon 2. Priska di I Korintus 16:19. Juga Lidia dari Tiatira (Kisah Para Rasul 16:14) dan Nimfa dari Laodikia (Kolose 4:15). Para perempuan ini tidak hanya menagani administrasi dan penyembahan. Tidak hanya melayani hal-hal yang berkaitan dengan estetika semata. Tapi perempuan-perempuan ini juga mengabdikan diri dalam pelayanan nubuatan, khotbah umum, pengajaran, pemimpin doa dan pelayanan perjamuan. Sekelompok perempuan yang tergabung dalam The Asian Pacific American Women’s Leadership Institute (APAWLI) dalam salah satu publikasinya berdasarkan hasil penelitian mengenai kepemimpinan perempuan menulis. Cara-cara yang penting bagi perempuan dalam menyikapi persoalan dan pergumulan mengenai kepemimpinan di semua ranah kehidupan adalah melalui kolaborasi dan membangun konsesus. Namun kepemimpinan sejatinya didasarkan pada prinsip-prinsip dan hubungan serta pelayanan etis. Dalam konteks kepemimpinan ini dimensi-dimensinya mencakup, Pengontrolan Diri, Visi, Belas Kasih, Empati, Kemampuan Komunikasi,  Fondasi Spiritual dan Keterbukaan Menerima Resiko. Pengontrolan diri merupakan dimensi aktual untuk semua pemimpin dalam berbagai sektor. Terhadap kecenderungan dipolitisir maupun mempolitisir orang lain. Pengontrolan diri adalah rambu yang arif. Melalui pengontrolan diri terbuka horizon untuk membaca situasi dengan bebas atau tidak terikat pada kepentingan temporer diri sendiri. Pengontrolan diri akan membuat pemimpin mempertimbangkan semua misi yang gamang terhadap hasil yang instan. Sementara visi merupakan daya yang dimiliki karena kompleksitas pengalaman dan perkembangan budi seseorang. Hal itu perlu dilanjutkan dengan kapasitas untuk menggerakkan yang lain untuk meyakini visi kita. Menciptakan inovasi baru untuk memperlihatkan berperannya dimensi-dimensi yang dianggap dan dilakukan perempuan sebagai bagian dari kepemimpinannya. Belas kasih (compassionate) diperlukan dalam setiap kepemimpinan, khususnya untuk yang takut untuk melakukan tindakan nyata. Hal ini diperlukan sehingga peluang tidak tertutup namun tanpa batas tebuka dengan sabar bagi perkembangan yang berbeda dari setiap manusia. Empati adalah pengembangan dari sensitifitas, yakni untuk mengambil beban orang yang dipimpin dan dalam suasana itu memikirkan jalan keluar dengan tidak menjadikan kesulitan orang yang dipimpin sebagai alasan menjadikannya obyek atau orang yang terikat dalam ketergantungan dengan pemimpin. Kemampuan komunikasi dipelajari dari pengalaman dan pengetahuan. Pengalaman berkomunikasi dari kebanyakan orang yang bukan memimpin tidak berarti lebih rendah kualitasnya dengan kelompok dominan. Variasi bentuk komunikasi dapat bermanfaat untuk dipilih dalam konteks yang khusus. Sementara Fondasi spiritual merupakan daya untuk memaknai berbagai proses dalam kehidupan dengan sudut pandang etis dan kreatif bahkan teologis. Sehingga muncul berbagai kemampuan termasuk kemampuan bertahan (survive) maupun menjadi agen perubahan. Sementara keterbukaan menerima resiko adalah bagian komitmen untuk menerima diri sebagaimana adanya termasuk yang dapat melakukan kekeliruan maupun kesalahan dan menerima kecenderungan tantangan yang berubah menjadi ancaman. Pemimpin yang terbuka menerima resiko adalah yang konsisten terhadap komitmen maupun integritas dirinya. Sampai di sini, mungkin kita sepakat, tidak ada alasan dan argumentasi yang bisa dipakai untuk mengkerdilkan peran perempuan. Dalam dunia politik, perempuan pun memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk mengaktualisasi dirinya. Dengan demikian, sudah saatnya perempuan maju dan bertarung dalam kancah pertarungan politik. (*) [caption id="attachment_184216" align="aligncenter" width="300" caption="Tetty Paruntu Bupati Minahasa Selatan (Google)"][/caption] Salam Perempuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H