Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Simus, Murid Romo Mangun Mengasuh SD Republik Anak Kenalan

29 Mei 2019   02:46 Diperbarui: 29 Mei 2019   03:08 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu orang laki-laki muda sore hari itu datang ke rumah Romo Mangunwijaya di jalan Gejayan, gang Batara Kuwera nomor 14, Mrican, Yogyakarta. Dia menuliskan memo di secarik kertas lalu meletakkan di meja. Isi memo memberitahu pengunduran waktu kegiatan sarasehan di desa kecil, di pegunungan Menoreh. Desa yang lumayan jauh dari kediaman Romo Mangun.

Laki-laki itu sebenarnya berharap bisa bertemu langsung Romo Mangun untuk menjelaskan duduk soal pengunduran waktu. Tetapi Romo Mangun sedang tidak berada di rumah. Sesudah meletakkan memo dia hanya berharap Romo Mangun tetap dapat menghadiri. Dua hari sebelumnya dia bertemu langsung Romo Mangun menyampaikan undangan. Untuk jadwal semula Romo Mangun sudah mengonfirmasi bisa dan berkenan datang sebagai narasumber.

Laki-laki itu mengenal Romo Mangun sebagai sosok yang sangat baik. Kendati demikian sebuah pemikiran pelan-pelan menyelusup berkecamuk di benaknya. Ada kekuatiran apakah memo itu cukup sopan sebagai media pemberitahuan untuk tokoh sekelas Romo Mangun? Apakah Romo Mangun tidak tersinggung cuma diberitahu sekedar via secarik kertas sobekan buku? Apakah Romo Mangun menjadi murka?

Terutama yang menjadi pertimbangan adalah Romo Mangun bukanlah romo biasa. Dia super sibuk. Apakah pengunduran waktu menjadi lebih malam bisa menyesuaikan dengan waktu senggang Romo Mangun. Apalagi kegiatan ini di desa terpencil di pegunungan Menoreh.

Di luar dugaan, Romo Mangun datang mengendarai vespa putih, vespa kesayangannya. Luarbiasa! Seorang Romo Mangun sebenarnya punya segudang alasan untuk tidak datang. Tentu si pengundang pun bakal memaklumi karena merekalah yang mengundurkan waktu kegiatan. Mereka juga memahami bahwa Romo Mangun adalah tokoh kelas Negara. Tepuk tangan untuk Yang Mulia Romo Mangun.

*

Laki-laki yang datang sore dan meletakkan memo di meja Romo Mangun itu adalah Simus Maryono. Kini dia kepala sekolah SD Kanisius Kenalan.

Bertahun kemudian, sesudah Romo Mangun wafat, Simus kembali mendatangi Kuwera nomor 14. Kali ini tidak sendiri, dia datang membawa sekelompok murid kelas enam bersama guru kelas. Mereka menginap di rumah Romo Mangun. Anak-anak itu turun gunung, mengunjungi kota istimewa Yogyakarta meluaskan cakrawala membebaskan diri dari tempurung yang membosankan. Simus bersama rekan-rekan guru mendesain kegiatan siswa untuk belajar sebagai pembelajar.

"Para murid SD Kanisius Kenalan ke Yogyakarta tidak dalam rangka liburan. Tetapi ini merupakan hari efektif belajar namun berpindah ruang belajar selama 2 hari. Mereka kita ajak fokus dalam suasana berbeda dengan keseharian. Mereka murid yang jauh dari kota kita ajak ke kota Yogyakarta untuk menerapkan pelajaran yang diperoleh di kelas dan di luar sekolah. Misalnya terkait mata pelajaran IPA dan IPS," ujar Simus.

Itulah sebabnya mereka mengunjungi tempat bersejarah dan mengandung pendidikan. Benteng Vredeburg, Taman Pintar, Taman Margasatwa Gembira Loka, Tugu Yogyakarta, Gedung Agung, Stasiun Tugu, Taman Sari, Pemukiman Kali Code yang dirancang Romo Mangunwijaya.

"Secara personal dengan belajar bersama dalam lingkup luas mereka menjadi mampu mandiri sesudah lulus dari SD," Simus menegaskan.

Pak Guru Simus sosok "guru gila" yang saya kenal. Dia mengagumi Romo Mangun dan banyak mempelajari konsep pendidikan Romo Mangun. Berkediaman di kawasan pedesaan tidak membuat dia meringkuk di keterbatasan. Fasilitas adalah wahana. Sosok guru adalah pembuat pembeda. Kehadiran mereka benar-benar mengoptimalkan potensi murid-murid. Turun tangan dengan segenap gagasan dan bertipe guru arsitek mendesain beragam aktivitas belajar mengajar yang kontekstual menggegap-gempitakan suasana jiwa murid-murid untuk berlomba meminimalkan ketidak percayaan diri.

 

Republik Anak Kenalan

Resminya SD ini bernama SD Kanisius Kenalan berada di pegunungan Menoreh, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Uniknya di sekolah ini sehari-hari murid-murid membiasakan prinsip-prinsip demokrasi (simulasi reguler). Siswa berdemokrasi merupakan suasana sehari-hari. Setiap murid memiliki peran sendiri sesuai hasil 'pimilu raya' sekolah. Ada yang menjadi presiden, wakil presiden, dan dibantu menteri-menteri. Salah satunya adalah menteri peternakan. Memang sekolah ini memiliki peternakan kambing yang dikelola siswa. Selama satu tahun periode kerja masing-masing melakoni tugas bersama tanggungjawab. 

Ini bukan simulasi satu dua hari melainkan diperankan dalam keseharian menyerupai sebuah republik. Membiasakan aura demokrasi menempah jatidiri mereka untuk memahami keaneka ragaman manusia dan perbedaan pendapat. Ini bagian dari kegiatan siswa semacam OSIS, mereka menyebutnya Republik Anak Kenalan (RAK).

Di sekolah ini guru menjadi fasilator dan katalisator. Itu perlu kesabaran yang riang. Lokasi di desa kecil terpencil tidak membuat murid-murid menjadi mengecil pikiran. Para guru menghadirkan diri tidak sekedar artifisial menjalani tugas karena SK. Mereka ekstra kreatif untuk mengimbangi situasi kondisi yang berbeda dari sekolah di kota. Menyadari sekelilingnya adalah daerah pertanian maka murid-murid dievokasi mengenal dan mengenali seluk beluk pertanian.

Dibutuhkan lebih banyak lagi guru-guru seperti Simus untuk mengelola potensi anak dengan penuh antusias melebihi kewajiban mereka sebagai guru umumnya. Diperlukan desain suasana sekolah seperti ini untuk lebih banyak sekolah. Ini mendidik murid menjadi manusia pembelajar tangguh yang santun dan tidak mudah membuli.

Saya yakin murid-murid di SD Republik Anak Kenalan berbeda dengan 'sekolah kaku' yang datang ke sekolah untuk melakoni duduk di kelas dengan aktivitas satu rupa.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun