Jadi ada persamaan dan perbedaan antara baca puisi (poetry reading) dengan deklamasi puisi. Persamaannya adalah sama-sama menggunakan bahan baku puisi. Persamaan inilah yang berpotensi memicu salah kaprah saat mengaplikasikan di depan penonton. Persamaan yang mengaburkan dan menguburkan perbedaan signifikan di antara keduanya.Â
Di depan penonton, perbedaan dihapal, tidak perlu membaca, dan tidak membawa teks saling tertukar (bercampur aduk) dengan harus membawa teks dan membacanya. Perbedaan yang sebenarnya terang benderang tetapi remang-remang bahkan menjadi gelap gulita jika kita melihat sebagian besar penampil baca puisi di saluran youtube.
Kegagalan guru?
Boleh jadi ini kegagalan guru dan atau pembina murid. Guru dan pembina kurang antusias mendalami bidang ini. Ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah dan para stakeholder. Karena jika melihat contoh yang ditayangkan di youtube, stakeholder juga bagian dari salah kaprah. Ada dewan juri dalam lomba baca puisi memilih para juara dengan salah kaprah! Padahal sudah jelas-jelas itu tidak murni baca puisi, tampak kurang memenuhi syarat sebagai bentuk baca puisi.Â
Dari mana akumulasi nilai para juara itu diperoleh? Seharusnya juri memberi catatan jika tidak tega mendiskualifikasi peserta. Atau cara solusi yang win-win, sebaiknya dewan juri menginterupsi si anak untuk mengulangi baca puisi yang benar, tetapi tetap dengan mutu suara, ekspresi, dan nada yang sama sebelum diinterupsi.
Seperti itulah, maka sebagai bagian upaya meminimalkan salah kaprah, saran yang elegan adalah: panitia harus taat kepada syarat yang dibuatnya sendiri untuk menjaga wibawa panitia. Karena syarat dasar harus dipenuhi sebagai awal proses penjurian yang sehat, adil, dan benar. Salah kaprah memang harus diluruskan bukan dibiarkan berkembang biak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H