Meriset sebagai bagian upaya mereaktualisasi nilai-nilai dan inspirasi dari Romo Mangun, merupakan tamasya asyik menyenangkan menjenguk masa lalu dengan menelusuri banyak literatur, membolak-balik puluhan referensi, perlahan-lahan menghantar ke sebuah penemuan realitas mengejutkan. Realitas yang barangkali belum pernah disadari oleh oranglain.
Sudah sedemikian banyak yang diperbincangkan orang perihal Mangunwijaya. Baik dalam obrolan santai, berupa diskusi serius, menulis artikel lepas, dan sampai sejumlah buku membahas sosok Mangunwijaya. Tetapi tetap saja ada sebuah fakta lama yang baru disadari dan itu membuat kepala menggeleng-geleng. Penemuan yang sejenak menghanyutkan akal sehat ke dalam arus wouwefect lautan raya kekaguman. Perlahan-lahan meski susah kita bisa mengakui memang seperti itulah hadirnya.
Kesadaran ini kita awali dari jejak langkah Sang Burung Manyar sepulang berkuliah di Jerman. Romo Mangun mendarat di Bandara Kemayoran tahun 1966. Dia tangkas bergegas memulai pengabdian. Tahun 1967 dia menghadirkan karya arsitektur pertamanya, sebuah gereja Santa Maria Sragen. Di waktu ini dia juga mulai mengajar sebagai dosen luarbiasa Fakultas Teknik Universitas Gajahmada Yogyakarta. Dia juga melayani umatnya di Paroki Santa Theresia Salam. Tahun 1968 artikelnya mulai memasuki halaman suratkabar dan majalah.
Sejak tahun 1967 Romo Mangunwijaya memproduksi karya dalam berbagai bidang. Dia terus berkarya sampai tahun 1999 tahun wafatnya, bahkan di hari wafatnya dia sedang berkarya sebagai pembicara di seminar di Jakarta. Dalam rentang 32 tahun tangannya tiada hentinya berkarya. Kita pun berlomba-lomba mengagumi karya-karyanya yang memang bermutu. Bagus. Tidak ada yang mengganjal, tidak ada yang aneh. Semua mengalir biasa-biasa saja. Seluruhnya tampak lumrah.
Pikiran menjadi terusik tatkala kita menyadari bahwa rentang 32 tahun itu bukanlah waktu riil berkarya. Rentang 32 tahun itu adalah waktu yang belum dikurangi waktu privasi seorang manusia. Romo Mangun juga manusia biasa. Kita mengasumsikan 8 jam dalam sehari digunakan untuk keperluan rutinitas manusiawi sebagai manusia, mencakup waktu untuk tidur, makan, minum, istirahat, dan mandi. Artinya dari 24 jam sehari, manusia secara normal dapat menggunakan 16 jam waktu riil untuk berkarya. Maka selama 32 tahun masa berkarya Romo Mangun menggunakan 16 jam x 365 x 32=186.880 jam. 186880:24=7786,6667 hari. 7786:365=21 tahun.
Di rentang 21 tahun itu Romo Mangun menghasilkan puluhan buku novel dan non fiksi dan puluhan karya arsitektur. Padahal untuk menghasilkan novel tidak cukup sebulan dua bulan. Kita mengambil contoh, novel Burung-BurungManyar. Pada wawancara dengan majalah Matra tahun 1988 Romo Mangun mengakui membutuhkan waktu 7 tahun menyelesaikan novel Burung-BurungManyar. Novel ini terbit 1981. Artinya sejak tahun 1974 Romo Mangun sudah mengawali penulisan.Â
Dia juga mengakui, novel RomoRahadi dituntaskan perlu waktu 4 tahun. Novel yang juga terbit tahun 1981 itu berarti mulai ditulis sejak tahun 1977. Berdekatan ada novel  Ikan-IkanHiu, Homa, Ido yang membutuhkan  4 tahun. Terbit tahun 1983. Artinya sejak tahun 1979 sudah dimulai. Arti lainnya adalah dalam satu tahun yang sama Romo Mangun menulis beberapa novel berbarengan. Ketika sebuah novel belum selesai dia sudah membuat proyek novel lainnya. Perlu dicatat bahwa berdekatan waktu dia juga sedang mempersiapkan sejumlah buku non fiksi, seperti Ragawidya (ReligiositasHal-HalSehari-Hari) yang terbit tahun 1975, Pengantar Fisika Bangunan yang terbit 1980 serta SastradanReligiositas 1982. Fisika bangunan juga bukan buku yang simsalabim langsung bisa jadi sebulan. Buku wastu citra itu bukan buku main-main.
Demikian juga perihal karya arsitekturnya. Karya-karyanya serius dan bermutu, bukan karya main-main. Buktinya sejumlah karya arsitekturnya mendapat apresiasi memukau dan penghargaan dari dalam dan luar negeri. Semisal, permukiman tepian Kali Code, tahun 1992 mendapat TheAgaKhanAwardforArchitecture dan 3 tahun kemudian karya yang sama meraih TheRuthandRalphErskineFellowshipAward dari Stockholm Swedia. Mewujudkan karya hebat kaliber internasional seperti itu tidak bisa satu atau dua bulan.
Ini kita baru menghadirkan kiprah Romo Mangun dari sisi dunia menulis dan arsitektur. Karya dia bukan cuma itu. Dia juga punya karya besar, aktivitas sosial karya kemanusiaan di sejumlah tempat. Dia mealokasikan bertahun-tahun enerji waktu dan pikirannya untuk masyarakat termarginalkan di Kali Code, Kedungombo, Grigak Gunungkidul. Bertugas membina tahanan politik selama 2 tahun ke Pulau Buru. Dia mengalirkan ilmunya membantu masyarakat pasca gempa 1992 di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur.
Memimpin langsung SDKE Mangunan. Bukan cuma memimpin, dia juga yang mengkonsep yang kemudian diterbitkan sebagai cetak biru dalam buku PendidikanPemerdekaan. Dari literatur terbaca dia pernah melakukan penjelajahan ekstrim meneliti Sungai Krasak. Dia pernah memimpin tim revitalisasi Malioboro. Â Â
Jadi apabila kita mau merumuskan dalam satu paragraf seperti ini. Masa berkarya riil Romo Mangun selama 21 tahun. Dalam rentang 21 tahun dia menghasilkan karya buku fiksi dan non fiksi. Menghadirkan ratusan artikel di berbagai suratkabar dan majalah. Dia menghasilkan puluhan bangunan bermutu. Padahal di luar itu dia juga mengalokasikan waktu enerji pikirannya di berbagai aktivitas karya kemanusiaan.Â