Tirai senja turun, matahari baterainya melemah, digeniti mendung yang mempergegas temaram. Paijo remaja lanang 16 tahun baru saja selesai memompa lampu petromaks. Berhati-hati dia menggantungkannya di seuntai kawat berpilin yang menjulur dari langit-langit.
“Sampun Romo, nggih.” Paijo bergegas keluar. Romo Mangun memberi anggukan enerjik. Tersenyum.
“Nggiih, maturnuwun.”
Di bawah sinar petromaks itu Romo Mangun lalu asyik lagi melompat-lompatkan jemarinya di tuts mesin ketik. Taktiktuk. Tiktuktak. Kalimat-kalimat bagus berloncat-loncatan di dalam kepalanya. Kalimat-kalimat itu meronta-ronta, berlari melarikan diri. Ketukan jemarinya dengan gesit mengejar, menangkapi para kalimat itu. 3 menit kemudian 3 paragraf memenuhi satu halaman kuarto. Itu sinonim menambah tebal draf naskah novel Ikan-IkanHiu, Ido, Homa. Novel ketiganya ini sudah dia garap sejak tahun 1979. Sekarang tahun 1982, sudah 3 tahun. Belum selesai juga. Kendati demikian bukan beban bagi Romo Mangun. Bagi dia tulisan harus matang dan tidak ingin mengkarbit padahal masih mentah.
“Barangkali karena saya tidak menulis setiap hari. Jujur saja, saya juga sangat kritis terhadap diri saya sendiri. Bukan perfeksionis. Tetapi saya memang punya prinsip kalau belum puas saya tidak akan melanjutkan penulisan. Lebih baik menunggu satu atau dua tahun daripada terburu-buru menjual barang yang belum matang.” Romo Mangun bergumam.
Barangkali dia akan melakukan riset tambahan. Mungkin dia akan bepergian ke museum atau berburu literatur, membaca buku-buku kuno yang kiranya bisa mendukung novel yang sedang proses penulisan ini. Atau mungkin dia akan menemui teman karibnya mengajak ngobrol-ngobrol dan bercanda. Ini bisa memicu dan memacu lahirnya gagasan.
Sebelumnya Romo Mangun sudah melakukan riset ke sejumlah daerah yang menjadi lokasi latar kisah di novel ini, dia mengunjungi Pulau Banda. “Ketika itu saya putar-putar Maluku, ke Ambon, Saparua, Halmahera, Ternate.”
Dia di sana riset sambil jalan-jalan, senang-senang. Senang-senang yang bermutu. Menulis itu refreshing. Di mana hati diletakkan, di situlah proses menulis dimulai. Tidak terpaksa. Tidak dipaksa. Siapa yang memaksa?
Apalagi Romo Mangun juga sedang menulis buku lain. Tadi siang dia berhasil menumpahkan pemikirannya sebanyak 3 halaman kuarto untuk melengkapi buku Sastra dan Religiositas. Meskipun mulai ditulis belakangan, buku non fiksi ini sepertinya lebih dulu paripurna. Barangkali karena buku non fiksi. Tidak perlu merisaukan plot dan tidak perlu memikirkan ketegangan. Tidak terlalu perlu kalimat berpuspa-puspa. Ini sudah memasuki bagian penutup. Mungkin 1 sampai 2 halaman lagi guna mengunci pemaparannya. Lalu tahap edit. Satu dua minggu ini siap dikirim ke penerbit.
Malam dilumuri dingin, menyusup melalui lubang-lubang dinding. Dentang jam dinding antik 10 kali mengevokasi rasa ngantuk. Romo Mangun bersiap beranjak ke peraduan. Menulis novel dilanjutkan besok hari. Besok? Ah, mungkin besoknya lagi. Mungkin besok-besoknya lagi. Romo Mangun super sibuk. Sehari-hari proses kreatifnya tidak di satu bidang. Mungkin dia besok membuat desain bangunan, mungkin diminta memimpin misa, mungkin menjadi pembicara di seminar kebudayaan. Lagipula tugas utamanya di Kali Code kan bukan menulis. Dia di sini mendampingi kaum marginal, memikirkan solusi, menemani berkarya, turun langsung mengajari mereka bagaimana caranya hidup bersahabat dengan sungai. Memperlakukan sungai sebagaimana selayaknya, sebagai halaman depan yang bermartabat. Bukan sebagai halaman belakang tempat membuang kotoran.
Lampu petromaks dikempiskan. Perlahan sumbunya padam. Rumah kecil bersahaja itu tampak meremang. Rumah seukuran garasi menempel di sebuah tebing di bawah jembatan Gondolayu Kali Code. Rumah paling kecil di perkampungan ini, yang paling bersahaja. Sudut beranda menjadi ruang tamu, sempit sekali. Cuma satu meter lebarnya dan panjangnya 1,5 meter. Semisal 3 orang saja bertamu tentulah duduk berdesakan. Nihil kursi. Jadi yang mulia para tamu terhormat silahkan duduk di bangku panjang. Serupa tempat duduk di angkringan. Peti kayu difungsikan sebagai meja. Rumah berdinding anyaman bambu berlubang-lubang halus. Berjendela jungkat. Lantainya cuma tanah yang dipadatkan. Hanya kamar mandi diberi lantai semen tersusun dari pecahan sisa ubin, khas arsitektur Romo Mangun.
Romo Mangun tinggal di situ, sendirian. Dia tidak dikurung kesunyian. Dirinya menyukai tempat dekat air seperti itu, teduh dan berada di antara warga, bukan di gedung berdinding tembok tertutup. Dari jendela jungkat kadang Romo Mangun melempar pandang menyeruput permukaan air Kali Code mengalir teduh. Aliran itu lalu terjatuh ketika tiba di sebuah air terjun dangkal di dekat situ, sayup-sayup mengirimkan musik gemericik sejauh masa ke telinga.
Waktu pun mengalir apa adanya, berselang 2 bulan, buku Sastra dan Religiositas naik cetak, dan beredar. Tahun 1982 juga buku ini mendapatkan penghargaan pemenang hadiah pertama dari Dewan Kesenian Jakarta untuk kategori esai.
Lalu, pada tahun 1983, sesudah 4 tahun proses penulisannya, buku Ikan-IkanHiu, Ido, Homa mulai memasuki rak-rak toko buku di seantero nusantara. Memasuki hati, memasuki pikiran para pembaca yang menyambut antusias ceria gembira riang tiada terkira.
*
Puluhan tahun berlalu, kini zaman digital sangat canggih di bawah sang lampu neon bersinar terang benderang di temani kopi dan camilan, seharusnya generasi Y dan Z bisa berduyun-duyun melampaui atau setidaknya menyamai novel yang ditulis di bawah sinar lampu petromaks di bawah jembatan.
Bukan asyik memboroskan waktu mengetik hoax, berita mengada-ada, dan sepupu-sepupunya. Memboroskan uang. Cuma menjadi konsumen. Bukan terlena me-latte factor-kan diri, ketagihan ber-sosmed ria, bercengkerama, berleha-leha, berhela-hela, berhelo-helo, berhola-hola, tanpa sadar menjadikan teknologi sebagai berhala. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H