Dikutip dari Tribunjabar.co.id, seusai menghadiri Deklarasi Universitas Padjajaran sebagai PTNBH di Jatinangor Bandung, Menristek Dikti Mohamad Nasir mengatakan, publikasi internasional dilakukan bertujuan untuk mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia di mata dunia. Banyak orang yang mengkritisi hal ini.
Doktor Moeflich Hasbullah, Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung, termasuk salah seorang yang mengkritisi. Pada artikelnya di Republika.co.id Profesor, Scopus, dan Alternatif, salah satu point pentingnya mengkonfirmasi bahwa dia meragukan pengaruh tulisan-tulisan di kanal internasional bagi masyarakat bila motif menulisnya saja hanya sebagai syarat formal untuk mengajukan jabatan profesor dengan bayangan tunjangan yang besar. Bagi dia seharusnya bergerak dari kegelisahan inteletual, keresahan pemikiran, kegalauan pengetahuan atau pencarian kebenaran. Di sinilah keprofesoran mereka yaitu pada jasa dan manfaatnya ke murid-murid, mahasiswa, perguran tinggi, perkembangan ilmu, dan bagi masyarakat. Dia mempertanyakan apakah adil jika hak keprofesoran mereka yang telah berjasa banyak, legalitas dan validitasnya tiba-tiba berada di benua Eropa melalui kanal bernama Scopus?
Menurut dia, “Tentu tujuan ilmu bukanlah untuk menjadi menara gading yang mengeksklusifkan diri dalam komunitas akademik bergengsi tapi untuk transformasi masyarakat dan pembangunan bangsa. Buat apa karya ilmiah eksklusif-bermutu semakin banyak tapi tidak menyumbangkan transformasi konkret bagi masyarakat dan bangsanya karena topik-topiknya yang tidak "ramah lingkungan" atau tidak akrab dengan persoalan-persoalan aktual masyarakat? Ukuran kemanfaatan ilmu tentu saja harus untuk transformasi masyarakat setempat dan kemajuan bangsa bukan untuk gagah-gahahan dimuat di jurnal elit-bergengsi sambil mayoritas masyarakat akademik kita tidak membacanya baik karena aksesnya yang terbatas, soal bahasa, materi yang terlalu spesifik atau tulisannya yang sangat abstrak-teoritik.”
Apa yang disampaikan oleh doktor Moeflich Hasbullah menegaskan bahwa semangat mahaguru akademis dan mahaguru hakiki adalah sama. Perbedaannya terletak pada regulasi dan terutama proses memaknai keprofesoran. Kemahaguruan Romo Mangunwijaya adalah sang profesor hakiki. Dia mahaguru yang area pengabdiannya tidak dibatasi dinding sekolah atau kampus. Mahaguru hakiki sebagaimana makna mahaguru jauh sebelum istilah mahaguru memasuki lingkungan akademis modern dan tanpa ada regulasi yang mensyaratkan menulis di jurnal internasional. ***