Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Proses Kreatif Dua Penulis Hebat, Romo Mangunwijaya & Eka Kurniawan

29 November 2016   08:39 Diperbarui: 30 November 2016   01:22 841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Eka Kurniawan pernah ‘mengeluh positif’ dalam kata pengantarnya di sebuah antologi cerpen mahasiswa. Menurutnya, tugas yang paling membosankan adalah tatkala menjadi juri lomba cerpen mahasiswa. Keluhannya positif, jika dicerna sebagai sebuah kritik putih, di satu sisi Eka dihidangkan kata-kata yang sebagian besar kering kerontang membosankan dengan tema yang biasa-biasa saja dan penyajian yang juga membosankan khas karya mahasiswa penulis pemula.

Pada sisi lain, sebagai juri yang berkomitmen dia ‘mengharuskan’ sepasang matanya melakukan perjalanan sejak kata pertama alinea pertama sampai kata terakhir di alinea terakhir masing-masing karya. Dia harus membaca seluruh kalimat dari setiap karya yang membosankan tanpa menunjukkan rasa bosan. Antologi cerpen yang diterbitkan Lembaga Pers Mahasiswa Balairung ini merupakan hasil lomba cerpen mahasiswa.

Saat itu Eka Kurniawan belum termasyur. Dia baru menghasilkan sedikit buku. Salah satunya adalah skripsinya yang diterbitkan sebagai buku Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Ini fenomenal karena di Indonesia masih jarang skripsi yang bermetamorfosa menjadi buku. Itu menunjukkan kualitas skripsi tersebut dan mengkonfirmasi kualitas sipemilik skripsi.

Kelak beberapa tahun kemudian Eka Kurniawan sudah melesat menempati orbit kemasyuran sebagaimana mestinya. Salah satunya melalui novel Cantik Itu Luka yang sebelumnya ditolak banyak penerbit. Konon karena terlalu tebal, dan (barangkali) karena saat itu nama Eka Kurniawan belum dasyat terdengar. (Mungkin) penerbit berhitung modal menyikapi novel setebal bantal sofa karya penulis yang belum sekelas Pramoedya. Meski ditolak dia tidak bersedih. “Soal itu saya tak terlalu peduli, dan di masa itu saya masih cukup punya kepercayaan diri anak muda bahwa cepat atau lambat saya akan menemukan satu cara untuk menerbitkannya.”

Tetapi itulah perjalanan proses seseorang, semua indah pada waktunya, tetap konsisten berproses kreatif, kesabarannya berbuah: novel perdananya itu diterbitkan oleh Jendela dan Akademi Kebudayaan Yogyakarta tahun 2002, kemudian oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2004.

Sesudah sempat tidak bersedih, penolakan atas buku Cantik Itu Luka berhasil juga membuat Eka bersedih, beberapa tahun kemudian. “Akhirnya saya bertemu dengan satu editor yang pernah menolak novel tersebut (nama dan tandatangannya memang tertulis di nota kecil penolakan itu), dan dia secara terus-terang bilang membaca novel saya dan menolaknya, salah satu alasannya: novel itu tidak masuk kriteria/preferensi dia mengenai novel sastra yang bagus.

Menurutnya, novel sastra yang bagus mestinya seperti novel-novel Mangunwijaya, Kuntowijoyo, Ahmad Tohari. Tentu saja saya kemudian membaca beberapa karya mereka, dan saat itulah saya merasa sangat sedih. Saya sedih karena saya tahu persis: 1) saya tak ingin menulis novel seperti mereka, 2) jika ukuran kesusastraan (Indonesia) yang bagus diukur dengan karya-karya mereka, saya merasa tak memiliki tempat di peta kesusastraan dan kemungkinan besar saya tak ingin menjadi penulis.”

Sekarang sang editor itu mungkin menyesal dengan hati agak terluka, karena si Cantik Itu Luka mendapat penghargaan World Reader's Award pada 22 Maret 2016 lalu di Hongkong. Bendera Eka Kurniawan kian berkibar gemilang, novelnya yang lain Lelaki Harimau berhasil masuk dalam 13 nominator novel fiksi terbaik versi The Man Booker International Prize 2016.

Kedua novel ini sudah diterjemahkan ke beragam bahasa asing. Dia mengikuti jejak sang idola Pramoedya Ananta Toer yang karya-karyanya telah diterjemahkan sejak tahun 60an sampai sekarang. Eka memang mengagumi dan dipengaruhi sosok Pramoedya. Bahkan Benedict Anderson menyatakan bahwa setengah abad setelah Pramoedya telah lahir penerusnya.

Sejumlah tahun yang lalu, dalam sebuah perbincangan sekilas di teras sebuah penerbitan di Yogyakarta, siang hari, Eka Kurniawan mengujarkan, justru lebih senang menggunakan mesin ketik manual daripada komputer. Karena bunyi ketukan tak tik tuk yang dihasilkan menjadi musik magis mengiringi imajinasi yang berlompatan di pikiran. Tak tik tuk itu tidak hadir ketika memencet keyboard komputer. Saya tidak tahu apakah Eka Kurniawan sekarang masih tetap menggunakan mesin ketik tak tik tuk dalam menghasilkan karya-karya masterpiecenya.

Eka Kurniawan | GOH CHAI HIN / AFP
Eka Kurniawan | GOH CHAI HIN / AFP
Di siang itu juga, Eka Kurniawan dengan nada canda dengan senyum khasnya menjawab, “Itulah aku mengapusi kau.” Jawaban untuk pertanyaan saya yang memprotes, “Mengapa setelah menjadi buku, novel Cantik Itu Luka agak berbeda dengan draf naskah sebelum terbit yang pernah dibedah di pengadilan karya di INSIST?” Namun Eka melanjutkan jawabannya dengan merujuk kepada seorang penyair luar negeri yang saya lupa siapa namanya, bahwa si penyair membongkar pasang puisinya sampai 90 kali, baru menjadi puisi. Novel juga boleh dibongkar pasang bahkan menjadi sangat berbeda dengan naskah awal. Eka menerangkan dengan ramah. Eka memang seorang yang ramah tamah.

Cantik Itu Luka memang pernah dibedah dalam kegiatan yang didesain seperti pengadilan. Si pemilik naskah layaknya seorang terdakwa di pengadilan harus bersedia dihujani kritik dan masukan untuk karya. Tentu tujuannya agar karya itu kekuatannya menjadi semakin kuat, dan jika masih ada kelemahannya bisa diperbaiki, sehingga benar-benar hebat ketika diterbitkan sebagai sebuah buku.

Eka Kurniawan melesat terbang masyur tidak terlepas dari INSIST yang ikut memberinya sayap. INSIST (Indonesian Society for Social Transformation) yang saat itu masih bermarkas besar di daerah Blimbingsari Yogyakarta menghadirkan komunitas yang memberi ruang dan menyediakan ‘pupuk organik’ bagi penulis-penulis muda untuk tumbuh berkembang subur. Termasuk di antaranya adalah Puthut EA dan Astrid Reza.

Eka menyadari keberadaan sebuah komunitas, pergaulan, dan ‘kami’ adalah penting. Dalam blognya Eka Kurniawan menukaskan, “Saya katakan begitu, karena manifesto itu tak pernah dituliskan. Juga karena manifesto itu bisa ditambah-kurangkan sesuka hati kami sendiri. Tapi kurang-lebih manifesto itu berbunyi: 1) Kami ingin menjadi penulis, jika tak ada yang menerbitkan, kami akan menerbitkannya sendiri. Kami belajar bagaimana memproduksi buku, bagaimana menjualnya. Bahkan belajar melayoutdan mendesain sampul. 2) Kalau media besar tak menerima karya kami, kami akan membuat media sendiri. Ya, meskipun kecil. Puthut membuat On/Off, sebelumnya jika ada yang iseng mau mencari, ia satu-satunya orang di belakang “jurnal” Ajaib. Ugo dan beberapa temannya menerbitkan Konblok. 3) Kalau komunitas kesusastraan tak ada yang menerima kami, kami akan buat komunitas sendiri.

Kami membuatnya. Beberapa berumur pendek, beberapa berumur pendek sekali. Yang penting kami membuatnya untuk mendukung diri kami sendiri. Saya selalu percaya komunitas seharusnya dibangun untuk mendukung anggotanya, dan bukan sebaliknya. Seperti negara ada untuk rakyat, dan bukan sebaliknya. 4) Jika para kritikus tak ada yang peduli kepada karya kami, atau menghina-dina, kami akan menjadi kritikus untuk karya teman-teman sendiri.”

Eka Kurniawan kelahiran Tasikmalaya adalah generasi emas penerus penulis Indonesia. Bersama rombongannya mereka berkembang sesudah Romo Mangunwijaya wafat. Sang Burung Manyar termasuk sosok unik dan nyeleneh dalam peta sastra Indonesia. Ada karyanya yang tidak diapresiasi di negerinya sendiri bukan karena tidak bermutu, namun hanya karena berseberangan rezim orde baru yang sedang berkuasa saat itu. Ironisnya karya yang sama mendapat penghargaan dari negeri jiran.

Eka Kurniawan dan Romo Mangunwijaya memiliki banyak kemiripan. Keduanya sama-sama pengagum Pramoedya Ananta Toer. Mereka mengikuti prestasi orang yang dikagumi memiliki novel yang diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Sama-sama pernah mendapatkan penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri, keduanya menyukai filsafat. Keduanya adalah desainer. Eka desainer sampul buku, bahkan mendesain beberapa sampul bukunya sendiri. Romo Mangun mendesain rumah dan bangunan artistik.

Sama-sama punya cerita berhubungan dengan komputer. Eka yang lahir dan tumbuh di era komputer malah merindukan mesin ketik manual tak tik tuk. Sedangkan Romo Mangun bagian generasi mesin ketik manual pernah gagap teknologi di awal-awal menggunakan komputer. Seperti diceritakan di buku Menjadi Manusiawi: The Daily Wisdom of Mangunwijayaseorang stafnya bingung tatkala menjumpai Romo Mangun sedang menggunakan kaca pembesar agar bisa membaca artikel di monitor.

Romo Mangun termasuk percaya diri dan jarang bertanya meskipun belum terlalu mahir mengoperasikan komputer, dan ternyata dia belum tahu jika ada program untuk memperbesar huruf-huruf di monitor komputer. Kesamaan lainnya, keduanya hadir di media massa nasional, Eka Kurniawan sudah memproklamirkan karya di media massa nasional pada umur muda belia, sedangkan Romo Mangunwijaya di umur relatif tidak muda lagi.

Romo Mangunwijaya (Foto: Dokumen pribadi)
Romo Mangunwijaya (Foto: Dokumen pribadi)
Meskipun kemunculannya di jagad kepenulisan nasional relatif terlambat, Romo Mangun sudah menulis sejak belia. “Mula-mula majalah dinding, lalu majalah anak-anak, meningkat majalah kecil-kecil di Yogyakarta. Tetapi setelah saya belajar di ITB, kemudian meneruskan ke Jerman, saya berhenti menulis. Kemudian, pulang ke tanah air, saya menulis lagi. Kebetulan Harian Indonesia Raya, lalu Jakob Utama, dari Kompas, meminta esai-esai saya. Setelah saya pikir-pikir, menulis esai itu, kok bagus juga.”

Menulis esai bermutu secara reguler di koran-koran besar tidak meredam kegelisahan Romo Mangun. Merambah dunia fiksi, Romo Mangun mulai menulis novel. Alasannya, “Setelah saya berpikir, jangan-jangan yang membaca esai saya hanya kelompok inteletual, dan hanya kaum lelaki. Kan ndak lucu. Bagaimanapun, setiap penulis ingin pembaca yang luas. Saya merasa harus juga meraih ibu-ibu, dan sebagainya. Lalu saya mencoba ke arah novel, karena rasanya lebih komunikatif. Kemudian, ternyata, novel saya memang dibaca para ibu. Sampai Bu Astrid, Bu Sadli.. weee.. ikut baca. Wah, di luar dugaan sayalah. Ya, maturnuwun, syukurlah.”

Tentang proses kreatifnya menulis novel, dalam sebuah wawancara, Romo Mangun bercerita, “Pertama, memilih dan menentukan tema dan message. Kemudian membangun plotting. Ketegangan, dan yang semacamnya. Yang juga membutuhkan banyak waktu ialah riset. Saya riset ke museum, membaca buku-buku kuno, atau langsung ke setting cerita. Menulis novel, tetapi belum pernah mengunjungi lokasinya, kan malu juga. Ketika saya menulis Ikan-Ikan Hiu, misalnya, saya mengunjungi Pulau Banda. Ketika itu saya putar-putar Maluku, ke Ambon, Saparua, Halmahera, Ternate.”

“Saya juga tidak mau hanya bercerita. Harus ada katakanlah, filsafatnya, dan sebagainya. Apalagi, filsafat memang salah satu kegemaran saya. Kemudian, harus ada kekhasannya. Dalam Burung-Burung Manyar, misalnya, karena saya orang Jawa, saya berpaling ke wayang. Harus ada unsur wayang, katakanlah, sebagai kerangka filsafatnya.

Saya juga ingin karya saya dibaca orang di luar Indonesia. Dan dalam membaca itu, saya ingin mereka mendapat masukan baru tetang sebuah dunia di luar dunia mereka. Kalau saya mengambil kerangka filsafat Sartre, misalnya, atau Nietzsche, kan tidak baru lagi buat mereka. Wayang juga, saya harus memilih episode yang mempunyai bobot universal, tetapi dengan konteks lokal. Akhirnya saya ketemu episode Baladewa, masih saudara dengan Kresna. Nama-nama yang saya gunakan juga nama wayang, meski agak terselubung.”

Ketika ditanya mengapa bahasa novelnya terasa rumit dan sulit dicerna, dia menjawab dengan gaya seniman, “Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi, canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga.” Dia melanjutkan dengan kritik putih, “Kalau Anda membaca karya sastra saya yang kompleks, memang Anda harus punya waktu, punya energi, dan punya niat untuk membaca karya sastra. Kalau tidak, ya jangan membaca buku saya. Kalau bodoh, ya, sori, ini bukan untuk Anda. Jangan menyalahkan kalimat yang kompleks. Baca buku dongeng saja.”

Romo Mangun menganut filosofi kendi, ketika seseorang ingin menjadi kendi yang bisa mengisi cangkir-cangkir, maka kendi perlu diisi terlebih dahulu. Ketika seseorang ingin menulis maka dia harus mengisi diri terlebih dahulu dengan banyak membaca. Bagi Romo Mangun mengkonsumsi karya-karya masterpiece penulis besar dalam dan luar negeri merupakan proses mengisi ‘kendi’. Sejumlah penulis besar menjadi “gurunya’’.

“Penulis favorit saya Pramoedya Ananta Toer. Tapi guru saya yang pertama sebetulnya Multatuli. Max Havelaar. Kalau pengarang asing, yang pertama saya cari karya-karya pemenang Nobel. Sebutlah misalnya Asturias dari Amerika Latin. Yang klasik.. Dostoyevsky, itu jelas. Dari yang modern, saya sedang mempelajari Peter Handke, dari Jerman. Wah, sulit sekali. Ya, saya membaca dalam bahasa aslinya. Itu ada satu kalimat yang panjangnya sehalaman penuh. Wah wah wah, saya sudah ndak tahu lagi, ini namanya gaya apa. Juga sangat njlimet. Konon genre yang baru memang begitu.”

Mengarungi luasnya samudera imajinasi, pada satu titik Romo Mangun harus cerdas bijak berstrategi. Sebagai pastor, Romo Mangun ada mengalami beban ketika menuliskan adegan-adegan romantis di dalam novelnya. “Ya ada. Misalnya ketika menulis Romo Rahadi, saya kantidak berani menggunakan nama Y. B. Mangunwijaya. Saya pakai nama samaran, Wastuwijaya. Baru pada cetakan kedua saya pakai nama Mangunwijaya. Sebenarnya tokoh utama dalam novel ini bukan saya sendiri. Memang banyak yang mengatakan ini otobiografi. Ndak, ini bukan semacam otobiografi.”

Itulah pengakuan Romo Mangun. Sedangkan pengakuannya perihal waktu yang diperlukan untuk menuntaskan sebuah novel, Romo Mangun menuturkan penuh rendah hati, “Umumnya lama. Sebab, terus terang saja, saya kan amatir. Saya pemula. Burung-Burung Manyar, misalnya, saya tulis dalam waktu tujuh tahun. Romo Rahadi kira-kira empat tahun. Roro Mendut relatif lebih cepat, karena masalahya sudah jelas. Lusi Lindri sekitar dua-tiga tahun Ikan-Ikan Hiu kira-kira empat tahun.

Mungkin juga karena saya tidak menulis setiap hari. Tapi, boleh jadi, karena saya kritis sekali terhadap diri saya sendiri. Kalau saya belum puas, saya tidak akan melanjutkan penulisan. Lebih baik menunggu satu atau dua tahun daripada buru-buru menjual barang yang belum matang.”

Romo Mangun sungguh rendah hati, mengaku cuma amatir, mengaku sebagai pemula, novel-novelnya menunjukkan hakekat kualitas masterpiece Romo Mangun. Burung-Burung Manyar novel perdananya, misalnya, mendapat penghargaan The South East Asia Write Award of the Queen Sirikit.S ementaranovel-novelnya yang lain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing.

Romo Mangun berproses kreatif menulis di antara kesibukan sebagai arsitek, rohaniawan, pembicara, dan aktivis kemanusiaan. Keinginannya untuk selalu menjadi kendi yang berisi, menuntutnya bijak mengelola waktu, agar bisa banyak membaca, supaya bisa banyak menulis.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun