Mohon tunggu...
Parhorasan Situmorang
Parhorasan Situmorang Mohon Tunggu... Penulis - Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Petualang waktu yang selalu memberi waktunya untuk menginspirasi generasi muda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Romo Mangun Tertidur Didongengi Muridnya yang “Jenius”

6 Oktober 2016   10:26 Diperbarui: 7 Oktober 2016   07:12 678
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sore begini, mbok kamu cerita-cerita Bin. Saya tak mendengarkan saja, siapa tahu bisa menghibur saya, supaya kamu terbiasa jadi orang tukang dongeng, he he…” Tawa khas Romo. Ado Bintoro muridnya yang ‘jenius’ pun ikut terkekeh. Bintoro duduk di kursi rodanya bersebelahan dengan kursi Romo Mangun. Mereka berdua berada di teras berlantai kayu  di samping kolam yang ada di halaman depan rumah Romo Mangun.

“Baik Romo," ujar Bintoro. Bintoro melihat Romo Mangun sepertinya kecapaian karena barusan membersihkan kolam “ikan miskin”. Romo Mangun memang biasa turun tangan sendiri membersihkan kolam ikannya. Beliau masih belepotan air lumpur kolam. “Saya coba, tapi jangan tertawakan bila kurang berkenan Mo.”

“Ho… ya.. tidaklah.” Romo mengkonfirmasi seraya memperbaiki duduknya menjadi lebih rileks. Tubuhnya diposisikan agak rebahan. Kepalanya menyandar di kursi. Bersiap didongengi.

“Tapi saya paling cerita tentang pengalaman saya selama ini.”

“Yah….bolehlah.”

“Begini Mo, waktu saya pulang kampung, sangat banyak yang berubah. Sarana jalan maupun rumah-rumah yang dulunya gedek atau papan, sudah berganti batu bata. Hebatkan? Begitu juga gaya hidup orang-orang di desa itu, juga berobah di mana dulu yang sangat sederhana, karena betul-betul tak punya. Tapi sekarang pun walaupun tak punya, tapi memaksakan harus punya. Yang dulunya kalau cari rumput pakai keranjang dan jalan kaki, sekarang pakai bagor dan sepeda motor. Bisa dibilang maju dan moderen. Begitu juga para wanitanya, juga tak ketinggalan jaman. Dulu kalau masak pakai kayu, sekarang maunya pakai kompor gas atau kompor minyak.”

Romo Mangun sesekali terdengar menimpali. Bintoro terus melanjutkan mendongeng. Pandangannya  tetap lurus memperhatikan pagar. Bintoro memang memiliki kemampuan “mengingat” peristiwa masa lalu yang mumpuni. Mendengarnya bercerita seperti mendengar radio tanpa buffering. Itulah mengapa dia disebut “jenius”. Bintoro secara de jure cuma lulusan kelas 6 sekolah dasar. Tetapi de facto-nya bisa disebut setara sarjana.

“Padahal dulu orang-orang di sekitar saya, setiap pagi jam 4 atau 5 pagi, sudah pergi ke pasar jual kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari. Kayu yang agak bagus dijual, kalau yang jelek dibakar sendiri.” Bintoro terus menyampaikan dongengnya dengan runtut. “Pada siang hari saya sedang santai-santai di bawah pohon jambu. Saya didekati seorang pemuda desa tempat saya tinggal. Namanya Trimo. ‘Sedang apa Mas?’ tanya Trimo. ‘Eh… ini sedang ngisis, angin-angin, dari mana sampean? Mau ke mana, Mo?’ Saya ganti bertanya.Lalu Trimo menjawab, ‘Mau cari rumput, Mas Bin.’ Saya pun tanya lagi, ‘Wong panas-panas begini kok mau ke sawah lagi to?’ 

'Lhaa gimana kalau tidak sekarang, nanti sebentar lagi nyangkul. Malam nanti latianreog, wah sibuk je Mas.’ Memang di desa itu, menurut saya, Trimo ini pemuda yang rajin ulet dan ramah santun, tak banyak berkeluh kesah. Kalau berpakaian pun, selalu parlente dan rapi. Kadang membuat pemuda lain cemburu, karena gayanya yang selalu jadi perhatian gadis-gadis desa setempat, apa lagi penampilannya tidak terlalu jelek dan selalu berpenampilan rapi, dan pintar ngomong bergaya orang berpendidikan. Sebenarnya ia hanya tamatan SD. Tapi ia rajin datang ke tempat-tempat pertemuan, seperti bila ada pertemuan di kampungnya, bila ada rapat RT atau rapat RW, dan sebagainya. 

Kalau ada pertemuan di balai desa, ia selalu dapat undangan yang mewakili pemuda di desanya, karena kepala desanya selalu mempercayainya, karena dianggap cakap di segala urusan yang dibebankan kepadanya. Jadilah si Trimo menjadi perhatian para petinggi desa, karena Trimo kerjanya selalu cepat dan beres, tepat waktu hampir tak pernah salah. Sewaktu ketika ia main reog atau kuda lumping, ia berdandan dengan apik dan luwes, di antara pemuda yang lain dia sangat apik. 

Cara menarinya pun dengan gaya yang lain pula, apa lagi tukang kendangnya saja memperhatikan dengan seksama, dan sangat menikmati gayanya yang bisa dibilang sangat aduhai. Ke mana gerakan Trimo, mata si tukang kendang hanya tertuju kepadanya. Karena saking asiknya tarian atau jogetnya, ditambah gamelan atau bende. Semakin seru. Jadilah Trimo lupa diri alias kesurupan. Neng-nong…. neng-gong, neng-gong.. gong.. ia mulai mendekati meja tempat sesaji yang sudah dipersiapkan bagi yang sudah lupa diri, kesurupan. Ia diberi seuntai padi, tak mau. Ia diberi daun pepaya tak mau juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun