Sehubungan dengan ini Mangunwijaya saat itu menyampaikan kritikan, “Tetapi tiba-tiba saja bangunan air mancur dalam desain segitiga dimunculkan mengganti bangunan air mancur lama. Konsep segitiga tidak pernah ada dalam tradisi Jawa. Selain menyalahi konsepsi tradisionil, bangunan air mancur merusak pemandangan keliling yang penuh bangunan kuno.’’
Dari pihak Kraton Yogya ada suara yang menolak bangunan air mancur di ujung Malioboro. Ini dihubungkan dengan konsepsi dasar pembangunan Malioboro pertama kali. Karena adanya bangunan di tengah jalan, Sultan pasti terganggu jika Beliau hendak mengheningkan cipta seraya memandang puncaknya Tugu Yogya jauh di utara.
(Memanjang ke arah utara, Malioboro dibangun sekitar tahun 1757 bersamaan dengan pembangunan Kraton Yogya. Oleh Pangeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengku Buwono I) jalan tersebut dibuat lurus. Dengan harapan jika Sultan duduk bersemedi di Siti Hinggil Kraton, Beliau mampu memusatkan pandangan dengan memandang puncak tugu yang terletak tepat di batas utara dalam jarak 3 kilometer.)
Pemerintah kota harus memiliki sense of culture
Mangunwijaya mendukung pemugaran Malioboro. “Yang sulit sekarang bagaimana menyampaikan gagasan pembaharuan tersebut kepada penduduk. Pemerintah kota harus memiliki sense of culture. Pendekatan harus dilakukan sebaik mungkin. Sehingga penduduk bisa merasakan pembangunan tidak acak-acakan tetapi memang ditujukan guna membahagiakan mereka.”
Maka Mangunwijaya mengingatkan, “Pedagang kaki lima tidak hanya harus ditolerir, tetapi bahkan harus dipertahankan di jalan tersebut.” Mangunwijaya menolak tuduhan bahwa pedagang tersebut menyebabkan kotornya pemandangan dan suasana. Tentu saja pedagang kaki lima harus diatur dan diberi petunjuk di mana mereka boleh berjualan dan di mana mereka dilarang. “Ini mutlak. Sebab bagaimanapun juga mereka memiliki ikatan tersendiri dengan konsepsi dasar Malioboro di masa lalu."
Malioboro adalah citra kota
Sebagai arsitek mumpuni yang humanis Mangunwijaya memaparkan pemikirannya, “Malioboro dan perpanjangannya ke jalan Mangkubumi dan A.M. Sangaji merupakan jalan raya tingkat wahid dalam penghayatan citra kota (image of town). Kota-kota tingkat internasional dan di negara-negara berkebudayaan tinggi, baik di barat atau di timur, orang mempertahankan dan memperjuangkan mati-matian citranya, kekhususannya, suasana khasnya, spesialita, dan keunggulan kepribadian dalam beberapa hal yang mungkin kota lain tidak punya. Orang pergi ke Paris atau ke Amsterdam karena dirasakan di sana ada sesuatu suasana dan ada apa-apanya yang tidak mungkin terdapat di mana-mana. Begitu pula Wina, Roma, dan Kyoto dicari karena citra dan suasana khas yang memancar di situ. Strategi pariwisata dan kebudayaan yang tidak tahu menahu akan citra kota atau daerah, sebelum mulai sudah gagal dalam tugasnya. Yogya harus yakin bahwa ada inti kebijaksanaan masa silam yang zeitlos (bahasa Jerman) yang berarti tahan zaman, tidak akan usang, tidak terikat zaman, universal.”
Sungguh bijaksanalah apabila pemerintah kota Yogyakarta mendengar kembali, merenungkan pesan dan pemikiran Mangunwijaya yang bijak. Nasehat yang bisa menjadi rujukan untuk mengoptimalkan penataan Malioboro.
“Pelebaran jalan dalam kota belum tentu pemecahan soal yang paling tepat untuk mengatasi lalulintas dan banyak soal lain. Tetapi dalam beberapa keadaan demi kepentingan umum hal tersebut harus dilakukan. Pelebaran harus diartikan integral, menyeluruh, baik dalam arti ukuran, kuantitatif panjang, lebar, tinggi maupun fungsi serta arti kualitatif dengan ukuran-ukuran nilai ekonomi, sosial, politik, pedagogi, psikologi, dan peradaban kebudayaan seutuhnya.” ***
Daftar bacaan: Harian Kompas, Jumat, 31 Agustus 1973