Banjir rob adalah banjir yang ditimbulkan akibat adanya kenaikan air laut, banjir ini melanda hampir di seluruh wilayah pantai utara Jawa, hanya intensitas dan ketinggian banjirnya saja yang berbeda.Â
Yang menyebabkan adanya perbedaan banjir itu disebabkan oleh kondisi tanah setempat, sebagian besar tanah yang terkena banjir rob besar, kondisi tanah sudah mengalami penurunan (land subsidence).Â
Penurunan ini untuk sementara dinyatakan sebagai akibat dari adanya pengambilan air tanah secara berlebihan, ini menurut sebagian besar pakar banjir dan pakar tanah, konon tanah turun (land subsidence) itu akibat air tanah yang disedot keluar secara berlebihan.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa komponen tanah itu terdiri atas bahan utama atau mineral atau batuan induknya, diperkirakan sebanyak 45%, kemudian bahan organik ada sekitar 5%, dan air serta udara masing-masing memiliki porsi 25%.Â
Kalau air banyak yang disedot keluar, maka porsi air akan berkurang dari 25%, kekosongan ini diisi oleh udara yaitu berupa rongga-rongga tanah.Â
Seandainya tanah ini kemudian menerima beban berat dari atas, sudah pasti tanah itu akan mengalami penurunan karena kurang kuat menahan beban.
Tetapi ada pula yang menyatakan bahwa beberapa pantura (pantai utara) Jawa itu tanahnya masih muda, berupa endapan sungai yang masih mengalami proses konsolidasi, sehingga masih dalam proses penyusutan, gerak ini dipercepat dengan adanya beban bangunan di atasnya.Â
Kemungkinan kedua teori itu benar semua, tinggal melihat kondisi wilayahnya, apakah yang dominan itu dari proses pengambilan air tanah, atau dari proses konsolidasi tanah. Mohon dibedakan arti konsolidai tanah dengan konsolidasi lahan, kalau konsolidasi lahan itu maknanya lebih ke pengaturan atau penataan ruang dari sisi kepemilikan lahan.
Di Semarang bagian utara yang berbatasan dengan laut Jawa, ada satu wilayah yang mengalami penurunan tanah secara cepat, yaitu sekitar 10-12 cm per tahun, wilayah itu ada di kecamatan Genuk bagian utara.Â
Masyarakat di sana sudah sangat terbiasa dengan adanya penurunan tanah ini, boleh dibilang hampir setiap lima tahun sekali mereka selalu meninggikan rumah.Â
5 tahun itu berarti rumah sudah turun sekitar 50-60 cm, bisa dibayangkan, kalau tinggi kosen pintu 200 cm maka dalam 5 tahun kemudian menjadi 150 cm, maka mau tidak mau memang harus meninggikan rumah agar bisa tetap nyaman ditempati.
Obrolan penulis dengan salah seorang penghuni, sangat menarik, yang pertama saya tanyakan adalah kenapa tidak pindah saja, jawabnya:
Kalau pindah, mau kemana? Di luar sana harga rumah sudah mahal, yang masih murah terlalu jauh dari tempat ini, pekerjaan saya, sekolah anak saya, ada di sekitar sini, rumah di sini dengan kondisi seperti ini, kalau dijual harganya murah sekali, sehingga tidak cukup untuk beli rumah baru. Yang pada bisa pindah itu kan karena mereka ikut anaknya yang sudah mapan, jadi hasil jualan rumah di sini hanya sekedar untuk tabungan bagi orang tuanya saja.
Melihat kondisi yang demikian penulis mencoba memahaminya dan menanyakan proses peninggian rumahnya.
Awalnya saya hanya membuat tanggul saja di depan pintu, tapi lama-kelamaan tanggul itu harus lebih tinggi lagi, sebab ketinggian air rob ini semakin tinggi saja pertahunnya, hal itu disebabkan tanah di sini selalu turun, akhirnya saya putuskan untuk meninggikan lantai depan, lantai ruang tamu, yang belakang tetap rendah, mengingat ketersediaan biaya. Ternyata air rob ini bisa masuk lewat kamar mandi, yah akhirnya kamar mandi saya tinggikan juga, termasuk lubang wc-nya, dan sedikit demi sedikit semua lantai harus saya tinggikan, sebab ada rembesan air dari lantai, air keluar dari sambungan (nut) keramik kalau muka air banjir rob itu sudah lebih tinggi dari lantai, meski tidak bisa masuk secara langsung karena terhalang dinding, tapi rembesannya tetap merepotkan.
Kenapa tidak dibuat rumah panggung?
Rumah panggung itu memang nyaman ketika ada banjir di bawahnya, tetapi begitu air hilang, maka yang tersisa adalah kotoran-kotoran sampah yang terbawa air tadi, malah jadi lebih susah, saat banjir kita gak nyaman untuk keluar rumah karena genangan air, dan saat banjir surut gak nyaman juga karena becek dan banyak sampah, mending kita urug sekalian saja.
Tapi pak, di luar Jawa seperti di Kalimantan yang rumahnya dekat dengan sungai itu, rumahnya pada dibikin rumah panggung dan rasanya bisa nyaman, enak dan gak ribet gitu pak.
Ini menurut saya ya..., kalau di bawah rumah kita itu selalu ada air, dibuat rumah panggung tidak masalah, malah enak, tetapi kalau kadang banjir kadang kering, seperti saya sampaikan tadi, saat kering ada sampah menumpuk di bawah rumah kita, baunya menyengat, gak nyaman pak.
Kasus ini mungkin hanya ada di Semarang, dan hanya pemikiran dari orang yang saya temui saja, tetapi satu hal yang bisa saya perhatikan, memang tidak nampak adanya rumah panggung di pantai utara Semarang ini, mungkin ada benarnya juga pendapatnya, dia tidak mau repot dengan sampah yang terbawa air banjir rob, dan akhirnya ketika kering justru menjadikan kolong rumah mereka ibarat bak sampah yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H